Jun 16, 2009

Surip Mawardi : Kemitraan ala "Dokter Kopi" Surip

Kemitraan ala "Dokter Kopi" Surip
Oleh : Helena F Nababan

Bahasa sebagai sarana komunikasi terkadang justru menyulitkan komunikasi yang tengah terjalin. Tepatnya ketika kedua pihak tidak bisa saling memahami apa yang diungkapkan lawan bicara.

Lantas, apabila Surip Mawardi (47), ahli kopi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Jawa Timur, ingin menyambungkan komunikasi yang kurang bagus antara petani kopi dan eksportir kopi, tentu itu bukan sekadar guyonan.

"Ada bahasa tertentu dalam sistem budidaya atau on farm, pascapanen atau off farm, dan perdagangan kopi yang belum nyambung antara petani kopi dan eksportir," papar ahli kopi ini, yang ditemui seusai melakukan pembinaan petani kopi robusta di Pekon Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, pekan lalu.

Ahli kopi berlatar belakang pendidikan agronomi dengan spesialisasi pemuliaan tanaman lulusan Universitas Gadjah Mada tahun 1977 ini merasa prihatin. Sebagai ahli pertanian, ia memprihatinkan tingkat kesejahteraan petani dan kualitas kopi yang dihasilkan petani. "Sangat tidak sesuai dengan ongkos yang dikeluarkan petani, sedangkan kualitas produksi berbeda dengan yang diharapkan pasar," ujarnya.

Untuk itulah, kata Surip, pelaksanaan kemitraan bermediasi dibutuhkan. Kemitraan bermediasi adalah kemitraan yang menyambungkan apa yang menjadi kebutuhan para petani kopi dan keinginan eksportir kopi.

"Dokter kopi"

Dalam kemitraan ala Surip, petani dibimbing untuk mendapatkan produk sesuai dengan yang diinginkan pasar, sedangkan eksportir diminta sebagai penjamin pasar dan harga. "Di sini lembaga penelitian kakao dan kopi berperan sebagai institusi yang membimbing dan mengawal kualitas produk kopi petani," ungkap Surip.

Kemitraan bermediasi pertama kali ia kerjakan di Kintamani, Bali, tahun 2001. Daerah Kintamani terkenal oleh perkebunan kopi arabika—jenis kopi yang sangat diminati kalangan pedagang dan penyuka kopi dunia.

Akan tetapi, para petani di sana selalu terbelit utang sewaktu membudidayakan kopi. Akibatnya, jangankan bisa merasakan kehidupan yang lebih baik, mereka justru selalu ditekan pengusaha yang ingin mendapatkan kopi berkualitas baik dengan harga murah.

Upaya menyambungkan komunikasi yang putus itu, mulailah Surip bekerja bersama empat kelompok yang terdiri atas 50 petani. Petani yang tergabung dalam kemitraan ia ajari budidaya kopi yang baik dan proses olah basah untuk pascapanen.

Berbeda dengan proses olah kering yang menerapkan tahapan fermentasi, olah basah tidak memakai fermentasi. Begitu biji merah dipetik, biji kopi langsung dikupas dengan mesin. Biji yang dihasilkan langsung dibersihkan dari lendir yang menempel dan dijemur selama dua hari di bawah panas terik sampai kering atau kadar air kurang dari 13 persen. Selanjutnya akan diperoleh kopi beras yang bisa langsung disangrai dan digiling sebagai bubuk kopi.

Dalam kemitraan itu Surip bekerja sama dengan PT Indocafco, sebuah perusahaan modal asing dari Lampung Timur. Perusahaan itu yang bertanggung jawab pada penyerapan pasar, sebagai penjamin harga, dan pemasaran hasil.

Pelan tetapi pasti, jumlah petani yang tergabung dalam kemitraan itu sekarang sudah berkembang menjadi 1.500 orang. Mereka tergabung dalam 36 kelompok tani.

Pada tahun 2004 ia juga mengembangkan kemitraan yang sama untuk kopi robusta di Pupuan, Tabanan, Bali, dan di Dampit, Malang, Jawa Timur. Pada tahun 2005, kemitraan kopi semakin meluas.

Berkembangnya kemitraan itu memang merupakan prestasi tersendiri. Rata-rata, setiap kabupaten sentra kopi meminta Surip mengembangkan kemitraan itu karena dinilai bisa mengangkat kesejahteraan petani kopi dan masyarakat sekitarnya.

Evaluasi di Bali bisa dipakai sebagai contoh. Pada tahun 2002, kopi arabika produksi Tabanan, Bali, dihargai kurang dari Rp 5.200 per kilogram. Sedangkan kopi robusta tak lebih dari Rp 5.500 per kilogram.

Tahun 2005, setelah kemitraan dengan olah basah, harga kopi arabika menjadi Rp 27.000 per kilogram dan kopi robusta menjadi Rp 8.000 per kilogram. "Petani memang akhirnya mendapatkan mutu kopi yang semakin bagus dan keuntungan yang lumayan," tutur Surip.

Kemitraan itu akhirnya menjadi sarana bagi Surip untuk terus belajar dan membagi pengetahuannya tentang budidaya dan pengolahan kopi. Itu sebabnya, ketika mengambil S-3 melalui Program Sandwich, sebuah program S-3 kerja sama antara UGM dan sebuah universitas di Perancis tahun 1992-1996, ia merasa tidak rugi kembali mengambil spesialisasi ilmu tanaman.

Tesis yang ia kerjakan pun tak jauh-jauh dari kopi. Ia meneliti ketahanan kopi arabika terhadap penyakit karat daun. "Tesis itu akhirnya bisa saya terapkan melalui kemitraan itu," ungkap suami dari Tutik Daryati (44) ini.

Itu sebabnya, bapak tiga anak ini menuturkan, di sentra kopi mana pun, petani-petani kopi menjulukinya sebagai "dokter kopi". Julukan itu diberikan karena Surip saat mengajari petani tentang proses olah basah, ia juga mengajari mereka menyembuhkan tanaman kopinya dari berbagai penyakit utama kopi.

Melalui kemitraan itu ia ingin memperjuangkan agar setiap sentra kopi di Indonesia bisa menjadi etalase kopi Indonesia di dunia perdagangan kopi internasional.

Sumber : Kompas, Rabu, 9 Agustus 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks