Jun 16, 2009

Christiaan Kuyvenhoven : Christiaan, Bintang Baru dari Belanda

Christiaan, Bintang Baru dari Belanda
Oleh : Agung Setyahadi

Saat masih berumur lima tahun, Christiaan Kuyvenhoven (21), pianis muda dari Belanda, justru menggeluti biola. Dua tahun kemudian, ia mulai belajar piano karena merasakan tantangan yang lebih besar. Setelah belajar piano selama 13 tahun, Christiaan menjadi fenomena baru karena berhasil merebut posisi ketiga dalam 7th International Franz Liszt Competition di Utrecht, Belanda, tahun 2005.

Pemuda kelahiran 1 Agustus 1985 ini sekaligus mengakhiri 16 tahun masa paceklik Negeri Kincir Angin dalam kompetisi piano bergengsi itu. Belanda terakhir memenangi Kompetisi Franz Liszt pada tahun 1989 melalui pianis berdarah Indonesia, Wibi Suryadi.

Kekosongan selama 16 tahun itu dipecahkan oleh Christiaan. Maka, tak heran ia dielu-elukan oleh publik Belanda. Ia pun disibukkan oleh berbagai wawancara di televisi dan radio.

Franz Liszt (1811-1886) adalah komponis besar asal Hongaria yang berpengaruh di daratan Eropa pada abad ke-19. Kompetisi Franz Liszt dianggap sangat penting karena merupakan salah satu kompetisi terbesar dan tersulit. Dalam kompetisi itu para peserta memainkan karya komposisi Franz Liszt.

Kompetisi ini dikuti oleh perwakilan dari Armenia, Belgia, Bulgaria, China, Kroasia, Finlandia, Perancis, Jerman, Inggris, Yunani, Hongaria, Indonesia, Israel, Italia, Jepang, Belanda, Polandia, Romania, Rusia, Serbia, Korea Selatan, Thailand, Taiwan, dan Ukraina. Wakil dari Indonesia adalah pianis muda berbakat, Levi Gunardi. Levi hanya sampai tahap pertama.

Salah satu hadiah memenangi kompetisi piano Frans Liszt adalah konser ke berbagai negara, salah satunya Indonesia, 1-10 Agustus 2006. Konser digelar di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Konser keliling dunia ini menjadi salah satu keunggulan Franz Liszt yang merancang kompetisi hingga mengorbitkan para pemenang menjadi seniman dunia. Program pengembangan karier ini dirancang oleh Quinten Peelen, Eksekutif Direktur Kompetisi Franz Liszt.

"Menjadi juara sebuah kompetisi bukan berarti memuluskan karier pemenangnya. Tetapi, dengan tur dunia ini, mental kami dilatih untuk menjadi seniman dunia. Selain itu, kami juga harus mengikuti masterclass untuk meningkatkan kemampuan," ungkap Christiaan di Yogyakarta, 4 Agustus lalu.

Kuras energi

Menjadi salah satu juara Kompetisi Franz Liszt bukan berarti pekerjaan jadi lebih mudah. Program pascakompetisi ini termasuk berat karena para juara harus mempersiapkan fisik yang prima. Christiaan menilai, program pascakompetisi sangat menguras energi. Ia mencontohkan saat tur di China, ia pentas delapan kali dalam dua pekan.

Putra keempat dari lima bersaudara ini mengaku mempersiapkan diri secara khusus selama dua tahun untuk menghadapi kompetisi Franz Liszt. Setiap hari ia menghabiskan waktu delapan jam untuk mengasah tekniknya. Berbagai kompetisi pun ia ikuti untuk melatih mental.

"Konser ini sangat menegangkan, selain saingannya berat kompetisi ini juga disiarkan langsung ke berbagai negara. Karena itu, kita serasa konser di hadapan dunia," tutur Christiaan, yang penggemar snooker.

Waktu lomba juga sangat ketat, dalam dua minggu para peserta harus mengikuti empat tahap seleksi. Tahap pertama ada 48 peserta yang kemudian disaring menjadi 18 peserta, disaring kembali lolos sembilan peserta, dan terakhir tiga pemenang kompetisi.

Dalam tahap final, Christiaan Kuyvenhoven, Anton Salnikov (Juara II dari Rusia), dan Sun Yingdi (Juara I dari China) diwajibkan membawakan Hungarian Rhapsody No 2. Pada bagian akhir repertoar, setiap finalis diwajibkan menulis dan mengaransir sendiri untuk bagian cadens. "Bagian ini sangat sulit sekaligus sangat penting dalam penilaian," kata Christiaan.

Masa kecil Christiaan juga diisi dengan bermain opera. Ia mengaku sangat menikmati akting di panggung opera. Salah satu pementasan yang berkesan baginya adalah opera Madamme Butterfly karya Puccini. Sejak usia 10 tahun Christiaan meninggalkan dunia opera dan fokus berlatih piano.

Ia kemudian masuk ke sekolah musik Twente Music School di bawah bimbingan Michail Markov, juga belajar di Van Zweden School of Music, serta di Saxion Conservatory yang akan diselesaikannya tahun ini.

Untuk meningkatkan keterampilan dan mental, semenjak kecil Christiaan rajin mengikuti berbagai kompetisi di sekolahan hingga luar negeri. Dukungan keluarganya memudahkan ia mengikuti festival musim panas di Kiev hingga konser di Amerika.

Penghargaan yang pernah diraih Christiaan antara lain Juara I dalam Princess Christina Competition di Den Haag (1998). Tahun 2000, ia dinobatkan menjadi The Young Musical Talent di Belanda. Tahun 2004, ia berhasil menjuarai The 12th Concurso Internacional de Piano Maria Campina di Faro, Portugal.

Ia suka mendengarkan jazz dan pop, meskipun tidak bersedia memainkannya untuk menjaga konsistensi pada jalur musik klasik. Di waktu senggang, ia pun dugem ke diskotek bersama teman-temannya. "Untuk karier, saya memilih musik klasik. Tetapi, saya mendengarkan berbagai jenis musik," ucap Christiaan.

Obsesi menjadi pianis musik klasik dunia terus berkobar dalam jiwanya. Ia bertekad mendedikasikan hidupnya untuk bermain musik klasik. Ke depan, ia akan terus bermain piano untuk memenuhi keinginannya menggelar konser di gedung-gedung bergengsi, yang hanya bisa dimasuki oleh pianis kelas dunia.

Sumber : Kompas, Selasa, 8 Agustus 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks