Abdul Kadir Tak Pernah Menyerah
OLeh : Benny Dwi Koestanto
Gempa bumi di Yogyakarta akhir Mei lalu telah meluluhlantakkan toko kerajinan dan produk mebel milik Abdul Kadir (40) yang berlokasi di kawasan industri kerajinan Kasongan, Bantul. Keadaan itu diperparah oleh hancurnya sepuluh rumah milik para pegawainya yang juga asal Bantul. Namun, dia tidak menyerah.
Di tengah upaya untuk segera menyingkirkan puing-puing dari ruang pamernya dan berpikir keras untuk membangunnya kembali, Kadir bersama rekan-rekannya di Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) juga mulai sibuk mendirikan "Jogja Furniture & Handicraft Centre" di Yogyakarta.
"Perajin tidak bisa menunggu, tetapi harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa perajin bisa segera bangkit. Tempat produksi kebanyakan perajin hancur oleh gempa, maka kami gandeng mal sebagai tempat pameran permanen," ungkap Kadir, yang dalam kegiatan itu menjadi ketua umum.
Desain baru
Kadir merasa beruntung karena sebuah rumah dan tempat produksinya di Sariharjo, Ngaglik, Sleman, luput dari amukan gempa. Di sanalah ia mulai berproduksi lagi serta meneruskan proses kreatifnya untuk menciptakan produk-produk mebel dan kulit yang berkualitas dan inovatif.
Dengan membaca banyak majalah serta menonton acara-acara televisi, lelaki ini mengaku selalu mendapatkan ide baru. Namun, prinsipnya desain harus fungsional, bisa diproduksi massal, dan laku di pasaran ekspor.
Dibantu istrinya, Erni MZ (39), Kadir sudah menciptakan lebih dari 1.000 desain. Mulai dari bingkai foto, tempat koran, kotak pakaian, hingga meja dan kursi. Beberapa di antara desain hasil karyanya memperoleh penghargaan dari pemerintah, menjadi salah satu unggulan Kreasi Kriya Nusantara Terbaik 2006 yang diselenggarakan oleh Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) dalam kategori kriya kreasi ekspor, lewat karya kreasi dinner set. Dua tahun sebelumnya, desain rak obatnya juga memenangi kompetisi desain dalam pameran Inacraft.
"Desain saya selalu menggunakan bahan-bahan lokal, bisa kayu, kulit, atau karton. Kadang dipadukan dengan memberi sentuhan perak dan logam mulia lain," tutur Kadir.
Sejumlah pasar luar negeri yang menjadi langganan penjualan produk Kadir antara lain Amerika Serikat, beberapa negara Eropa—seperti Spanyol, Perancis, dan Italia—Australia, Jepang, dan kawasan Timur Tengah. Dalam sebulan, dua sampai tiga kontainer barang dikirimnya ke beberapa negara itu secara bergiliran. Seringnya Kadir berpameran, serta pemanfaatan teknologi internet, memperbesar kesempatannya mendapatkan akses pasar yang lebih besar.
Mulai dari nol
Kadir adalah lulusan S-1 jurusan Teknik Industri Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 1984, dan belakangan mengambil Program S-2 di bidang hukum bisnis. Tesis yang baru disusunnya mengupas tentang upaya penanggulangan hukum barang-barang kerajinan di Yogyakarta yang tidak didaftarkan hak desainnya.
"Hak desain seorang perajin merupakan hak cipta yang sangat rentan untuk ditiru orang lain, dan memang demikianlah yang kebanyakan terjadi. Ini ironis. Makanya, saya sedang berusaha mendaftarkan desain-desain ciptaan saya secara resmi ke pemerintah," kata ayah tiga anak ini.
Pengalamannya bekerja sebagai manajer produksi sebuah usaha tas kulit ketika dia masih kuliah merupakan sejarah perkenalannya dengan kewirausahaan. Maka, empat tahun selepas menikahi Erni tahun 1996, Kadir membuka usaha pembuatan tas kulit. Bermodal Rp 18 juta, ia menyewa sebuah ruko di Jalan Parangtritis, Bantul, sebagai tempat pamer, dan bekerja sama dengan sejumlah perajin kulit di beberapa sentra kerajinan tas di Yogyakarta.
"Untuk mendapatkan pembeli, saya nekat menawarkan produk saya ke sejumlah perusahaan besar atau sekadar menempatkan brosur produk di kawasan turis di Prawirotaman, Yogyakarta. Saya pun keliling Bali, menitipkan tas-tas saya hampir ke 250 toko di sana, juga di beberapa mal di Jakarta," ungkap Kadir.
Dalam tempo dua tahun, usaha tas Kadir meraih sukses besar meski sempat terguncang oleh krisis yang terjadi tahun 1998. Bayangan kebangkrutan tak membuatnya takluk. Ia bangkit lagi waktu itu, dengan mengajak sejumlah temannya untuk membuka galeri mebel di Kasongan. Kerja sama dengan beberapa teman yang tidak terlalu mulus membawanya untuk kembali membuka usaha sendiri, yang berkembang sampai sekarang ini.
"Nama usaha kami ’tumutu’, kependekan dari istilah Jawa, tumbu ketemu tutup, yang berarti sesuatu yang pas. Setelah pas, diharapkan terus untung dan sukses," katanya.
Etos kewirausahaan dan pengalaman jatuh bangun di dunia yang sudah digelutinya lebih dari sepuluh tahun itu mengajarkan Kadir untuk tidak mudah menyerah pada takdir atau nasib. Berbekal semangat kerja tanpa lelah dan berani menanggung segala risiko usaha, Kadir terus ingin mengembangkan usahanya.
Sumber : Kompas, Kamis, 10 Agustus 2006
Jun 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment