Meniti Jembatan Ilmu Pengetahuan
Oleh : Maria Hartiningsih dan Ninuk M Pambudy
Perhelatan besar itu selesai sudah. Kerja keras Dr Sulistyowati Irianto (46) dan kawan-kawannya menyiapkan Konferensi Internasional Ke-15 tentang Pluralisme Hukum terjawab dengan antusiasme peserta yang tinggi sampai hari terakhir.
Namun, kerja besar itu hanya bagian kecil dari tanggung jawab dan komitmennya. Komitmen utama doktor di bidang Antropologi Hukum dari Universitas Indonesia itu adalah mengajar dan membawa hukum menjejak bumi.
Ia melanjutkan upaya beberapa seniornya untuk meyakinkan bahwa ilmu hukum tidak berada di kotak yang terpisah dari konteks masyarakat dan budaya di mana hukum itu berada.
Di banyak universitas, socio legal studies belum banyak mendapat tempat. Sampai hari ini, ilmu hukum arus utama di universitas masih mengacu pada suatu yang ajek, yang dibuat entah kapan, untuk siapa, dalam konteks apa.
"Black letter law saja tidak cukup," ujar Sulis, begitu ia biasa disapa. Menurut dia, berbagai masalah besar tidak dapat diselesaikan tuntas kalau tidak ada sumbangan interdisipliner dari ilmu pengetahuan.
Sumbangan itu juga sangat penting untuk membangun cara berpikir kritis. Misalnya tentang pandangan arus utama mengenai konsep kepastian hukum, obyektivitas-netralitas, dan equality before the law (perlakuan sama di depan hukum).
Dalam pelaksanaannya, prinsip-prinsip itu menuntut persyaratan, yakni masyarakat yang relatif tidak senjang, memiliki akses relatif sama pada sumber daya serta posisi yang relatif setara dalam hubungan sosial.
"Bagaimana semua itu berlaku bagi perempuan yang mencuri enam kantong permen di supermarket untuk ditukar susu bagi anaknya?"
"Kalau perempuan itu dipidana, apakah itu ’adil’? Mengapa hukum serupa ’tidak berlaku’ bagi koruptor besar yang justru menyebabkan jatuhnya korban-korban ketidakadilan?" tanyanya lebih jauh.
Sulis merasa beruntung karena "kakinya" yang satu lagi berpijak pada kajian feminis. "Berbeda dari ilmu-ilmu arus utama, kajian feminis berangkat dari pengalaman, bahkan secara individual. Teori dibangun dari pengalaman manusia."
Bagi Sulis, ilmu pengetahuan adalah jembatan untuk mengabdi pada kemanusiaan yang transenden. Dengan ilmu pengetahuan pula Sulis menjadi jembatan antara aktivis dan akademisi.
"Banyak aktivis menjadi scholar karena mereka terus belajar," ujar Sulis.
Bersama para aktivis dan peneliti, Sulis berusaha tidak terlepas dari fakta di lapangan. Ia juga terus bergelut dengan pemikiran-pemikiran untuk ikut mencari jalan keluar.
Sulis bertekad melanjutkan upaya para seniornya untuk membuat mahasiswa tidak terbelenggu pada romantisme mengenai hukum sebagai produk abstraksi dari kehendak, kebiasaan, nilai, dan norma dalam masyarakat yang dilembagakan oleh lembaga legislatif.
Ia ingin membuka pandangan yang luas dan kritis agar mahasiswa dapat melihat bahwa hukum adalah produk tawar- menawar kekuasaan dan dapat menjadi pedang bermata dua.
"Hukum sangat tidak bebas nilai karena bermuatan kepentingan politik dan uang. Tergantung siapa di belakangnya," ujarnya, seraya menyebut produk hukum dan kebijakan yang berpotensi menyebabkan warga kehilangan akses pada sumber daya alam esensial.
Keberagaman dan superioritas
Pluralisme hukum yang dibahas para akademisi dan aktivis dari dalam dan luar negeri dalam konferensi tanggal 29 Juni-2 Juli 2006 itu mengungkapkan kenyataan bahwa dalam realitas sosial, hukum negara bukan satu-satunya hukum yang memonopoli perilaku warga masyarakat.
Meskipun demikian, menurut Sulis, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis dan mengusulkan rekomendasi kapan masyarakat dibiarkan mengembangkan aturan hukumnya sendiri sesuai rasa keadilannya dan kapan supremasi hukum harus ditegakkan.
Dengan begitu, menjadi jelas bahwa peraturan daerah tak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya dan undang-undang tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dalam konteks ini, hukum negara memang seharusnya menjadi superior.
Ini penting karena berbagai kajian menunjukkan, dalam era otonomi daerah tidak sedikit peraturan daerah yang berdampak pada pengabaian, bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia.
Peraturan-peraturan daerah itu merugikan kelompok rentan seperti perempuan, apalagi kalau ia miskin dan berasal dari kelompok minoritas secara budaya (etnik, ras, agama).
Perjalanan Sulis memahami keberagaman sebagai hukum alam berawal dari usia yang sangat muda; di dalam keluarganya. Namun, teman hidup drh Y Rusmanto Irianto, ibu dari Sisi (13) dan Sasa (9), ini sempat mengambil bidang studi yang kaku sebelum alm Prof Kuntjaraningrat menariknya belajar antropologi.
Antropolog terkemuka itulah yang menunjukkan jalan kepada Sulis untuk mengarungi samudra ilmu pengetahuan saat menjalani sandwich program di Universitas Indonesia dan Universitas Leiden di Belanda, dan kemudian menyelesaikan doktornya di bidang yang sama dari Universitas Indonesia.
Ilmuwan lain yang menjadi guru, inspirasi, sekaligus ibu intelektualnya adalah Prof Dr Tapi Omas Ihromi, guru besar (emeritus) di bidang Hukum Adat dan founding mother Ilmu Antropologi Hukum di Indonesia.
Sekarang Sulis tidak sendiri. Banyak teman muda berjalan bersamanya di jalur yang sepi publikasi, tetapi membuatnya nyaman untuk terus bekerja dan berpikir.
Sumber : Kompas, Jumat, 14 Juli 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment