Jun 16, 2009

Raden Mas Suyamto : Suyamto, Masa Lalu yang Beku

Suyamto, Masa Lalu yang Beku
Oleh : Agung Setyahadi

Awal tahun ini buku notasi gending-gending Jawa yang diambil dari kitab kuno Wiled Berdonggo mulai dicetak. Kitab kuno berhuruf Jawa dan bernotasi tangga itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan notasi angka oleh Raden Mas Suyamto (66), pakar karawitan dan bahasa Jawa yang masih tersisa di Yogyakarta.

Cucu Kanjeng Raden Tumenggung Wiroguno ini sejak kecil akrab dengan dunia karawitan dan sastra Jawa. Ia dibesarkan di lingkungan Keraton Yogyakarta, di Ndalem Wirogunan, Jalan Kadipaten Kidul 44, yang menjadi tempat kegiatan masyarakat berolah pikir dan rasa melalui sastra dan budaya Jawa.

"Sejak kecil telinga saya biasa mendengar gamelan. Pendopo di depan setiap sore hingga malam digunakan sebagai tempat latihan karawitan. Dari telinga kemudian turun ke hati, dan saya pun menyukai karawitan," kata Suyamto.

Sejak usia lima tahun Suyamto sudah bisa memainkan kendang ladrang gangsaran. Kendangan ini dikenal juga dengan sebutan kendangan dang-dang-dung-dang. Ia sering diberi kesempatan memainkan kendang itu saat para murid kakeknya istirahat latihan.

Waktu itu ia hanya menghafal ketukan dari bunyi gamelan. Notasi gamelan baru dia pelajari saat masuk sekolah dasar dan bisa membaca. Sejak itu ia tekun memperdalam pengetahuannya tentang notasi gamelan dan bahasa Jawa. Di bangku sekolah menengah atas ia pun memilih jurusan bahasa. Pelajaran bahasa dan sastra Jawa ia perdalam melalui ujian pelengkap.

Sejak bisa membaca, Suyamto semakin banyak menguasai gending Jawa. Ia pun piawai memainkan alat musik gamelan, seperti kendang, bonang, saron, kempul, gong, ketuk, dan kenong. Keterampilannya dipertajam dengan banyak membaca kitab kuno dan mendengarkan permainan penabuh gamelan kondang.

"Saya mengoleksi sekitar 300 kaset karawitan dari berbagai pakar. Saya mendengarkannya untuk memperbaiki keterampilan memainkan gamelan," tutur Suyamto.

Belum lengkap

Merasa belum lengkap dengan pengetahuannya, ia mulai membuka kitab kuno karawitan berhuruf Jawa dengan notasi tangga. Ia beruntung karena kakeknya mengoleksi banyak kitab karawitan, salah satunya Wiled Berdonggo yang menjadi salah satu babon gending Jawa.

"Di sekolah tidak diajarkan cara membaca notasi tangga, yang diajarkan hanya notasi angka. Saya belajar sendiri cara membaca notasi tangga di dalam kitab kuno itu. Kemampuan saya membaca tulisan Jawa sangat membantu," ujarnya.

Apa yang dikerjakan Suyamto tidak hanya memerlukan pengetahuan, tetapi juga ketekunan luar biasa. Bergelut dengan kitab kuno dapat dicap sebagai klangenan yang membosankan. Suyamto tak peduli itu. Ia berjalan terus, hanya dengan harapan esok lusa peradaban Jawa tidak luruh ditelan zaman.

Suami Raden Ayu Kusumohesti (62) ini pun pernah menimba ilmu di Fakultas Sastra UGM meskipun hanya bertahan satu tahun. Ia memutuskan keluar kuliah setelah menikah. Bapak empat putra ini kemudian bekerja sebagai pustakawan di Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, 1965-1997.

Di tempatnya bekerja inilah ia menerapkan ilmunya menerjemahkan berbagai kitab kuno milik Keraton Yogyakarta, mulai dari tema sejarah hingga gending gamelan. Buku Babad Tanah Jawa, Babad Diponegoro, dan Babad Mentawis yang berisi sejarah Kerajaan Mataram sudah ia alih bahasakan. Kitab pewayangan Serat Purwokondo pun diterjemahkannya.

Alih bahasa

Serat Purwokondo ini memberi pelajaran penting bagi Suyamto, yaitu menerjemahkan bukan sekadar alih bahasa, melainkan harus paham betul makna setiap kata. Artinya, penerjemah harus kaya kosakata bahasa Jawa dan memahami pesan yang tersirat di dalamnya. Buku terjemahan yang salah sangat berbahaya bagi yang membacanya karena menimbulkan distorsi pemahaman makna.

"Serat Purwokondo isinya bukan hanya cerita, tetapi juga tembang. Jika kita tidak memahami makna tembang itu, akan sangat sulit menerjemahkannya. Di sinilah bahasa Jawa dan karawitan berhubungan erat," ujar mantan pustakawan ini.

Setelah pensiun, tahun 1997 Suyamto terus bergelut dalam dunia karawitan dan penerjemahan kitab kuno. Akhir tahun 2005 ia bersama almarhum Valen Suwondo diminta menerjemahkan kitab Wiled Berdonggo oleh Taman Budaya Yogyakarta. Dalam enam bulan, kitab berisi 2.000 notasi gending untuk laras pelog dan slendro itu diselesaikan.

Buku terjemahan itu dimaksudkan untuk mempermudah pengrawit-pengrawit muda dalam mempelajarinya. Awal tahun 2006 ini buku terjemahan sudah dicetak, tetapi belum dipublikasikan karena masih ada sejumlah kesalahan cetak.

"Dalam kitab itu terdapat gending-gending khusus yang teknik memainkannya juga khusus. Misalnya, gending Layung Seto dan Jangkung Kuning Lampah Golek. Gending-gending khusus ini sudah sangat jarang yang bisa memainkannya," ujar Suyamto.

Kitab-kitab kuno yang diterjemahkan Suyamto itu merupakan jembatan bagi generasi saat ini mempelajari kesenian Jawa. Keterbatasan kemampuan membaca huruf Jawa menjadi tembok penghalang generasi muda mempelajari berbagai peninggalan kebudayaan Jawa. Bila tidak ada orang seperti Suyamto, karya besar nenek moyang hanya akan menjadi cerita masa lalu yang beku....

Sumber : Kompas, Sabtu, 15 Juli 2006

1 comments:

Sihotang Frederick said...

dimana saya bisa mendapat terjemahan kitab-kitab kuno jawa yang sudah dicetak?

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks