Jun 16, 2009

Hendrik Jaenudin : Hendrik, Naikkan Gengsi Jangkrik

Hendrik, Naikkan Gengsi Jangkrik
Oleh : Lis Dhaniati

Belasan kotak tripleks berukuran 1 x 1 x 0,5 meter terletak di dalam rumah Hendrik Jaenudin (29). Kotak-kotak serupa juga bisa ditemui di bagian ruangan lainnya. Dari dalam beberapa kotak terdengar derik jangkrik yang biasanya hanya terdengar pada malam hari.

Kotak ini berisi jangkrik yang sedang bertelur, ujar Hendrik di rumahnya Blok Resi, Desa Tambi Lor, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (8/7/2006). Di Tambi Lor, nama Hendrik memang identik dengan jangkrik. Padahal, empat tahun lalu ia sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan segala sesuatu yang terkait dengan jangkrik.

Kini jangkrik adalah binatang istimewa bagi Hendrik. Sebab, binatang bersuara nyaring itu telah menyelamatkan rumah tangga Hendrik dari tubir kehancuran. Sebelum menjadi peternak jangkrik, Hendrik bekerja sebagai tukang ojek di daerah asalnya, Arjawinangun, Kabupaten Cirebon. Namun, uang pendapatannya selalu habis untuk membayar sewa motor yang dipakainya ngojek dan untuk makan sendiri. Hendrik pun kerap tak pulang ke Indramayu karena merasa belum mendapat uang.

Bisa ditebak, istri Hendrik, Taniah (27), sering uring-uringan. Terlebih mereka sudah dikaruniai dua putri, Indriyani (10) dan Nur Maulida (6). "Istri mana yang tidak marah kalau suaminya begitu?" ujar Hendrik mengenang.

Atas usul pamannya, Hendrik banting setir beternak jangkrik. Ia mengawali usahanya dengan tiga kotak tripleks saja. Modal ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari membantu bekerja di sebuah bengkel. Kotak pun ia buat dari kayu-kayu sisa.

"Telur jangkrik sangat mahal, yakni Rp 300.000 per kilogram atau Rp 5.000 per sendok kecil," ujar Hendrik. Tak kurang akal, ia membeli jangkrik dewasa lalu dipelihara sebagai induk. "Beli jangkrik dewasa lebih murah, sekitar Rp 20 per ekor," ujar Hendrik. Ia pun berupaya mencari pasar dengan menawarkan jangkrik kepada pedagang pakan di pasar-pasar burung. "Padahal, barangnya belum ada. Kalau mereka mau, jangkrik lalu saya carikan sampai luar Indramayu," kata Hendrik. Di awal usahanya, Hendrik menggunakan sepeda onthel untuk berkeliling dari pasar ke pasar.

Beri semangat

Awalnya, banyak tetangga yang menertawakan usaha Hendrik. Namun, tetangga Hendrik yang bernama Dasma tidak henti memberi semangat kepada Hendrik. Pada Hendrik, Dasma memberitahukan dua kunci kesuksesan sebuah usaha, yakni kapasitas dan kontinuitas produksi.

Akhirnya, Hendrik pun berusaha merangkul tetangga-tetangganya untuk beternak jangkrik serta membantu pengadaan kotak dan bibit. Hendrik juga terbuka pada tata cara budidaya dan potensi ekonomi jangkrik. "Sebab, pasar sudah ada. Jadi jangkrik akan selalu terjual," ujar Hendrik.

Upaya Hendrik tidak sia-sia. Para tetangga yang semula menertawakan balik tertarik untuk ikut membudidayakan jangkrik. Kini setidaknya ada 23 peternak jangkrik di Desa Tambi Lor yang kemudian bersatu dalam wadah kelompok Antena Mustika.

Dalam perkembangannya, beternak jangkrik diakui sebagai salah satu solusi masalah pengangguran terselubung yang banyak terdapat di Tambi Lor. Sebab, seorang peternak jangkrik tidak akan bisa menangani usahanya sendirian. Setidaknya, ia butuh tenaga untuk memilih jangkrik yang sudah siap panen dan yang masih harus tinggal di kotak. Bahkan, dalam kelompok Antena Mustika juga berkembang sistem pemasaran yang dilakukan oleh satuan tersendiri. "Mereka bertugas mengantar kantung-kantung jangkrik kepada para pedagang," ujar Hendrik.

Jangkrik dimasukkan ke karung yang diberi daun pisang atau daun-daunan lain sebagai pelindung, kemudian diantar kepada pembeli. Jangkrik asal Tambi Lor pun dipasarkan hingga Subang dan Bandung dengan menggunakan jasa kereta api. "Saya selalu berpesan, kalau ditanya apa isinya, katakan saja isinya uang," gurau Hendrik tertawa.

Namun, gurauan Hendrik ada benarnya. Sebab, satu karung yang berasal dari satu kotak setidaknya berisi 2,5 kilogram jangkrik. Dengan harga Rp 25.000 per kilogram, satu karung berarti uang Rp 50.000. Dikurangi biaya produksi sebesar Rp 30.000, petani mendapatkan keuntungan Rp 20.000. Jumlah ini memang kecil jika berdiri sendiri. Namun, kalikan dengan sekian kilogram jangkrik yang dihasilkan para peternak setiap minggu. Atau, kalikan dengan sekian kuintal jangkrik yang dihasilkan kelompok Antena Mustika. Jumlah yang sangat berarti untuk menopang ekonomi rumah tangga.

Sebagai ketua kelompok, Hendrik berusaha terus mengembangkan usaha ternak jangkrik. Ia tak segan-segan memberi bantuan kotak ataupun telur kepada mereka yang tertarik. Apalagi, peluang pasar jangkrik masih terbuka lebar. Saat ini produksi per minggu baru mencapai 35.000 ekor jangkrik. Padahal, permintaan mencapai 96.500 ekor per minggu. Bahkan, di luar itu masih ada peluang sebesar 200.000 ekor per minggu yang bisa digaet asal produksi bisa ditingkatkan.

"Modal memang masih menjadi kendala utama," ujar Hendrik. Bersama kelompoknya, ia berupaya mencari tambahan modal. Namun, Hendrik berniat agar kelompok tidak bergantung pada pinjaman. Sebab, perkembangan kelompok hingga seperti sekarang pun sama sekali tanpa bantuan modal dari luar.

Sumber : Kompas, Kamis, 13 Juli 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks