Jun 17, 2009

Sukamdhi : Keindahan dan Kepastian Keris Mas Kamdhi

Keindahan dan Kepastian Keris Mas Kamdhi
Oleh : Windoro Adi

Ketika lomba membuat bilah keris mulai digelar di halaman Bentara Budaya Jakarta, Minggu (18/6/2006), terjadi perdebatan kecil di antara para juri lomba. Salah satu juri lomba, Sukamdhi (57), bersikeras para peserta diperbolehkan menggunakan alat-alat ukur untuk membantu kerja mereka menyelesaikan keris karyanya.

Namun, juri lainnya mengatakan, justru kemahiran para peserta dibimbing oleh kadar kekuatan intuisinya dan bisa mengabaikan alat-alat bantu ukur. Sukamdhi yang populer dengan sapaan Mas Kamdhi itu pun menyampaikan alasannya.

Bagi dia, membuat bilah keris itu sama dengan membuat jembatan, bangunan, komputer, bahkan pesawat jet supersonic.

"Keris itu bukan barang klenik. Dia menjadi istimewa justru karena dibuat dengan perhitungan-perhitungan matang lewat proses keseimbangan fisik dan spiritual tinggi sehingga mampu menghasilkan sebuah senjata berpresisi tinggi, kuat, liat, dan indah. Untuk mencapai hal itu, si pembuat keris membutuhkan banyak alat bantu," tutur Kamdhi.

Ia kemudian menjelaskan tentang bentuk umum, ricik’an (bagian-bagian kecil bentuk bilah keris—Red), struktur, dan komponen bilah keris yang sudah baku (sudah pakem) dan tidak boleh diubah. Mengapa? "Karena sudah melalui pertimbangan cermat para empu. Untuk mengulang karya-karya mereka dengan kualitas yang sama saja, belum tentu seseorang bisa melakukannya," jawab Kamdhi.

Jadi, tidak ada ruang lagi buat kreativitas atau pembaruan bentuk bilah keris? "Tetap ada peluang, tetapi hanya sebatas bentuk bilah saja. Tapi, sekali seorang seniman keris membuat ’dapur’ baru, dia harus sudah memperhitungkan seluruh perubahan unsur lainnya sehingga karyanya tetap mencapai keseimbangan yang gilang-gemilang seperti dilakukan para empu," jelasnya.

Kamdhi kemudian menjelaskan, bukan hanya para seniman keris yang harus dihormati, tetapi juga para seniman wrangka atau busana keris. "Keris dan wrangka yang baik itu satu hati, satu jiwa. Keris yang benar dan bagus akan menunjukkan wrangka yang benar dan bagus pula," ujar Kamdhi.

Masa kecil

Ketertarikan Kamdhi pada keris diawali dengan ketertarikannya pada batu akik. Itu terjadi ketika dia berusia delapan tahun. Ketika itu, Kamdhi yang lahir di Solo, Jawa Tengah, 15 Oktober 1948, punya tempat bermain di sekitar rel kereta api di Stasiun Balapan, Solo.

Satu hari, Kamdhi mengamati tetangganya, seorang kuli panggul yang suka meniti jalan kereta api sambil mencari batu-batu bantalan kereta api yang dianggap bagus sebagai bahan batu akik. "Dulunya saya cuma mengamati saja tetangga saya. Lalu menirukan cara dia menggosok batu dengan botol yang dibilas air. Lalu saya mulai mencoba sendiri melakukan hal itu," ungkap Kamdhi.

Setiap hari, selesai sekolah, Kamdhi kecil mondar-mandir sendiri sepanjang jalan rel sambil mencari batu bantalan rel kereta untuk bahan batu akik. Dari tempat ini Kamdhi kemudian mulai gemar dengan batu akik batu gambar.

Ia mulai suka keluyuran di alun-alun utara kota Solo untuk memborong batu-batu akik setengah jadi dan menyempurnakan batu-batu tersebut di rumahnya.

Bulan Suro

Tahun 1987, Kamdhi yang sudah beberapa lama bekerja sebagai pelaksana bangunan mulai mengisi malam-malam di bulan Suro dengan diskusi kelompok, membahas banyak hal yang semuanya soal kebudayaan Jawa.

Salah satu materi diskusi adalah mengenai keris. Kamdhi paling bosan mengikuti bagian ini karena bagi dia, keris itu simbol klenik, kebodohan, dan masa lalu. Tapi, akhirnya dia mengakui, witing tresno jalaran saka kulino (keterbiasaan menjadi awal kecintaan). Kamdhi mulai mengagumi keindahan pamor.

Pemahaman keindahan pamor itu dia peroleh dari pengalamannya mengagumi batu-batu akik batu gambar, terutama pada bagian susun-susun (sap-sap)-nya. Inilah awal Kamdhi membeli bilah-bilah keris.

Karena Kamdhi memiliki latar belakang ilmu pasti yang kuat, ia pun kemudian menyandarkan pengetahuan kerisnya lewat perhitungan-perhitungan yang semuanya harus terukur. Mendiang Slamet Budi dan Hardjo Gosong dia anggap menjadi gurunya yang pertama.

Tahun 1997, dengan modal buku contoh bilah keris yang dibuat Keraton Kasunanan, Solo, berangka tahun 1920, Kamdhi yang sudah dikenal sebagai juru pangrukti tosan aji (juru reparasi dan juru taksir keris) mulai membuat bilah keris.

Pria berputri dua, Kusmarina (30) dan Kus Indah Arianata (17), ini lebih menekuni pembuatan bilah-bilah keris keleng (keris legam, tanpa pamor). "Membuat bilah keris keleng lebih sulit karena harus lebih teliti," kilah Kamdhi.

Di salah satu bagian lengan tangannya tampak tato bertulis MK, inisial mendiang istrinya, Katarina Maryati. Ada juga tato dengan angka 23. "Mendiang istri saya kan hari kelahirannya Rebo Pon sama dengan 14, sedang angka kelahiran saya Ahad Wage, sama dengan sembilan. Bila angkanya dijumlah, hasilnya 23. Lha, iya ini...," katanya.

Setelah istrinya meninggal, Kamdhi memilih menduda. Tinggal kesibukannya di jagat perkerisan yang menghabiskan sisa hidupnya.

Di sela kesibukannya, Kamdhi sering melepas penat hidupnya dengan minum ciu. "Dalam kemabukan, keindahan dan kepastian itu seperti jadi satu," katanya jujur.

Sumber : Kompas, Kamis, 22 Juni 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks