Jamur Kardus Enjo Suharjo
Oleh : Lis Dhaniati
Jamur kardus bukan jamur mainan terbuat dari kardus, melainkan salah satu komoditas pertanian yang menggunakan kardus sebagai bahan baku utama pembuatan media. Sejatinya, jamur kardus merupakan jamur merang (Volvarielle volvaceae).
Namun, media tanam dari kardus yang membuatnya layak disebut jamur kardus. Nama yang unik karena bisa memancing keingintahuan seseorang.
Di sebidang lahan tidur milik instansi militer di Kota Cirebon, Enjo Suharjo (61) bersama kelompok taninya membudidayakan jamur kardus. Karena membutuhkan lingkungan khusus, jamur itu ditanam dalam kumbung, yakni rumah berdinding anyaman bambu berukuran 4 meter x 6 meter. Di lahan tersebut, terdapat lima kumbung yang berjajar rapi.
Berbeda dari jamur tiram yang cenderung membutuhkan suhu udara medium, jamur kardus cocok tumbuh di lingkungan panas. "Jamur ini tumbuh optimal pada suhu 28 derajat Celsius dan masih tumbuh bagus pada suhu 32 - 35 derajat Celsius," kata Enjo.
Dia mengatakan, jamur kardus bukanlah teknologi baru. Tahun 1985, ketika masih berdinas sebagai penyuluh pertanian, Enjo menemukan sekelompok petani di Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, telah membudidayakan komoditas ini. Namun mereka tidak menggunakan media kardus, melainkan kertas bekas puntung rokok.
"Karena sudah ada teknologinya, mereka tinggal diarahkan mengganti media dari kertas rokok dengan kardus," ujar Enjo. Upaya ini mempermudah pembuatan media karena kardus lebih cepat didapat daripada kertas bekas puntung rokok.
"Dahulu kardus belum banyak dicari seperti sekarang," ujar Enjo. Sayangnya, seiring dengan perjalanan waktu, usaha petani di Losari ini tidak bertahan. "Banyak yang sudah meninggal dan tidak ada yang meneruskan," ujar Enjo.
Padahal, menurut Enjo, usaha ini menjanjikan keuntungan. Dengan masa panen tiga minggu untuk satu kali pembuatan media, keuntungan bisa dipetik sejak awal minggu ketiga. "Harga di tingkat petani sekitar Rp 10.000 per kilogram. Di konsumen akhir, harga bisa mencapai Rp 20.000," ujar ayah lima anak ini.
Namun, lebih dari itu, jamur kardus merupakan salah satu upaya menanggulangi masalah sampah perkotaan. "Kota Cirebon memproduksi sampah 60-70 meter kubik per hari. Padahal, penanganan sampah masih terbatas pada pembuangan di TPA. Perlu cara-cara baru mengurangi sampah," ujar suami Yeti Mulyaningsih (54) ini.
Banyak waktu
Pensiun tahun 2001 membuat Enjo punya lebih banyak waktu membudidayakan jamur kardus. Berbekal latar belakang penyuluh pertanian, Enjo tidak bergerak seorang diri, melainkan mengajak petani lain bergabung dalam kelompok.
Salah satu kelompok yang dia bina adalah kelompok petani perempuan yang diketuai oleh istrinya, Yeti. Pada tahun 2003 keberhasilan kelompok petani perempuan dalam ikut menjaga kebersihan lingkungan seraya mendapat nilai ekonomi dari limbah itu mendapat penghargaan lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan untuk kategori daur ulang limbah.
Pada tahun yang sama Enjo meraih penghargaan lingkungan dari Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan untuk kategori peduli lingkungan. Kepedulian Enjo memang tidak hanya pada daur ulang limbah, tetapi juga perintisan pembuatan pemecah ombak di pantai utara menggunakan metode sederhana, yakni bambu dan kawat duri.
"Biayanya, salah satunya bersumber dari usaha jamur kardus," ujar Enjo. Sayangnya, upaya ini terhenti karena ada sekelompok nelayan yang menganggap pemecah gelombang model ini mengganggu mata pencaharian mereka.
Perhatiannya pada masalah sampah juga membuat dia tergerak membuat keranjang plastik berukuran 30 x 40 x 50 cm yang digunakan untuk mengolah sampah organik rumah tangga menjadi kompos. Setengah dari keranjang yang bagian dalamnya dilapis sejenis karpet itu diisi kompos sebagai pemicu proses dekomposisi sampah organik yang akan berlangsung satu bulan. Harga keranjang yang Rp 150.000 per buah itu memang masih butuh uji pasar untuk dapat diterima masyarakat.
Dari berbagai daerah
Perkembangan usaha budi daya jamur kardus Enjo menarik minat Pemerintah Kota Cirebon untuk memasukkannya sebagai salah satu program pendanaan kompetitif. Program ini bertujuan meningkatkan indeks pembangunan manusia yang sedang dikejar Provinsi Jawa Barat. "Saya menjadi narasumber bagi orangtua yang anaknya rawan drop out karena masalah ekonomi," ujar Enjo.
Ia pun aktif memberi ceramah dan praktik lapangan menanam jamur kardus kepada orangtua siswa dari enam sekolah negeri di Kota Cirebon. "Saya membuka konsultasi gratis untuk usaha ini," ujar Enjo.
Kapasitas sebagai konsultan tidaklah meragukan. Selain melalui praktik sendiri, Enjo telah berulang kali mengikuti seminar dan pelatihan tentang jamur di tingkat nasional dan internasional.
"Di China, jamur menjadi salah satu komoditas pertanian yang sudah berkembang luas," ujar Enjo yang pernah berkunjung ke sana untuk urusan jamur.
Rumah dia, yang diteduhi berbagai tanaman, terbuka untuk mereka yang ingin belajar budidaya jamur kardus. Di buku tamu yang dia sediakan tertulis nama-nama tamu yang berasal dari berbagai daerah, seperti Riau, Batam, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sumber : Kompas, Rabu, 21 Juni 2006
Jun 17, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment