Libur Tsunami Pak Guru Sugeng
Oleh : Aufrida Wismi Warastri
Hari pertama masuk sekolah, Senin (17/7/2006) lalu benar-benar hari yang menyenangkan bagi siswa Sekolah Dasar Jarak Jauh Pesuruhan, Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Dikatakan menyenangkan, sebab setelah itu, anak-anak ketakutan masuk sekolah.
Sore hari selepas hari pertama itu, tsunami menghantam pesisir Nusakambangan yang berjarak kurang dari tiga kilometer dari sekolah mereka. Pantai Selatan Nusakambangan yang indah porak-poranda. Ribuan pohon tercerabut dan terempas ke pesisir. Belasan orang petani hilang, dan hektaran sawah penduduk di Nusakambangan puso akibat tertutup lumpur dan terendam air asin.
Meskipun sebagian besar warga tidak menyaksikan bagaimana ombak meluluhlatakkan pantai, mereka tetap ketakutan. Selama lebih dari dua hari warga tinggal di bukit-bukit Nusakambangan.
“Anak-anak dan orang tuanya masih takut," kata Sugeng (45), Jumat (21/7/2006). Satu-satunya guru di SD Pesuruhan itu mengatakan Senin depan sekolah baru akan dimulai lagi.
Jangan berpikir SD Pesuruhan seperti SD pada umumnya. Bangunan sekolah ukuran 4x7 meter itu hanyalah kayu berdinding anyaman bambu yang sobek dan bolong. Lantai tanahnya pun tidak rata.
Bangunan itu disekat papan tulis di tengah untuk membedakan siswa kelas 1 dan 2. Hanya dua bangku dan dua meja yang utuh di ruangan satu. Beberapa bangku yang lain sudah tak mampu berdiri tegak. Sementara di ruang ke dua tak ada barang apa pun. Sekilas orang tak menyangka bangunan itu adalah sekolah.
“Kami mengfungsikan bangunan ini menjadi dua, satu untuk balai RT, satu lagi untuk sekolah," kata Sugeng yang juga pemrakarsa berdirinya sekolah itu.
Bapak lima anak asal Penggalang, Adipala, Cilacap itu pindah ke Pesuruhan selepas menikahi Manisem (35), warga asli Pasuruhan.
Sugeng memang tidak memiliki latar belakang pendidikan guru. Ia hanya warga Pesuruhan biasa yang di tahun 2001 terketuk melihat begitu banyak anak usia 6-9 tahun tidak bersekolah. Tidak ada anak yang bisa membaca dan menulis waktu itu.
Sugeng hanya bertanya, dimana nanti anaknya akan sekolah. SD terdekat cukup dan jalannya sulit karena berawa-rawa.
Maka ia bicara dengan warga dan kenalannya di Dinas Pendidikan Kabupaten Cilacap. Tak ada sama sekali bantuan pemerintah di awal pendirian sekolah itu, semua melulu swadaya masyarakat, termasuk mengusahakan bangku dari hutan di Nusakambangan.
“Saya sebenarnya tidak mau jadi guru, saya hanya memprakarsai berdirinya sekolah. Tapi karena belum ada guru yang bersedia mengajar disini, terpaksa saya menerima tawaran itu," tutur Sugeng. Sebelum menjadi “guru", Sugeng pernah bekerja sebagai tukang jahit, montir, bertani, hingga supir.
Saat resmi berdiri, sekolah diakui sebagai SD Negeri I Ujungalang, kelas jarak jauh. Kala itu kelas I diisi oleh 24 anak. Usia mereka antara 6 hingga 9 tahun. Sekolah hanya menampung siswa hingga kelas 3, selepas itu siswa harus pindah ke SD Ujungalang. Kini bahkan hanya siswa kelas 1 dan 2 yang bersekolah di tempat itu.
Sebelum dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) turun, siswa dipungut Rp 6.000 per bulan. Rp 1.500 disetorkan ke sekolah, sisanya digunakan untuk honor guru.
“Banyak anak yang tidak mampu bayar, akhirnya pembayaran ke sekolah harus ditalangi. Sampai saya punya hutang ke sekolah Rp 800.000. Tapi sekarang sudah lunas," cerita bapak lima anak itu.
Setelah ada BOS, guru mendapat insentif antara Rp 200.000 hingga Rp 300.000 yang dibayarkan tiga bulan sekali. Murid yang ada pun cukup banyak. Murid kelas I berjumlah 14 anak, sedangkan murid kelas 2, sembilan anak.
Meskipun tidak berpendidikan guru, Sugeng akhirnya mampu mengajar. Berpegang kurikulum ia mengajar anak-anak membaca dan menulis.
Awalnya Sugeng mengajar seminggu penuh. Seturut waktu ia mendapat bantuan satu guru jarak jauh yakni Wartati, dan satu guru agama yang mengajar pendidikan Quran di waktu sore.
“Kadang-kadang saya beri tambahan pelajaran agar anak-anak mengenal lingkungan mereka," kata Sugeng. Sugeng berencana mengenalkan tsunami pada anak-anak.
Sebelum tsunami terjadi, Sugeng mendengar ada gempa di Pangandaran dari TV hitam putih bertenaga surya yang ia stel sore itu. Segera ia memberitahukan pada para tetangga, dan muncullah tsunami di pantai selatan. “Saya lalu lihat pantai Permisan, Nusakambangan, semua sudah porak poranda," katanya.
Meskipun tanpa bacaan yang memadahi, fasilitas yang mencukupi, dan akses informasi yang mendukung, Sugeng akan berupaya belajar banyak lagi soal alam Indonesia, bencana, termasuk tsunami. Supaya ia pun bisa menerangkan pada banyak orang dan bisa mewaspadai terjadinya bencana.
Sumber : Kompas, Senin, 24 Juli 2006
Jun 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment