Jun 20, 2009

Sri Suci Utami Atmoko : Suci Sang Pencinta Mawas

Suci Sang Pencinta Mawas
Oleh : Subur Tjahjono

Ketika Kompas mampir di Stasiun Penelitian Orangutan Sumatera di Hutan Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara, akhir September lalu, para staf lokal langsung menyebut namanya, Dr Sri Suci Utami Atmoko (39). Ia dikenal di hutan yang penuh lintah itu sebagai perempuan peneliti orangutan sumatera (Pongo abelii) yang orang Indonesia.

Frankfurt Zoological Society Newsletter edisi 6 tahun 2004, misalnya, menyebut Suci panggilan akrabnya sebagai the first Indonesian orang-utan researcher. Namun, perempuan mungil kelahiran Jakarta, 25 November 1966, itu merendah. Ini kebetulan saja. Saya sering diminta kampanye di mana-mana karena perempuan, ujar dosen Fakultas Biologi Universitas Nasional (Unas), Jakarta, ketika ditemui di kampusnya, akhir Oktober lalu.

Sebagian besar peneliti orangutan sumatera atau penduduk setempat menyebutnya mawas adalah peneliti asing. Bahkan yang mendirikan stasiun penelitian di Ketambe pada tahun 1972 adalah primatolog dari Universiteit Utrecht, Belanda, Dr Herman D Rijksen.

Orangutan sumatera, di samping kerabat dekatnya orangutan kalimantan/borneo (Pongo pygmaeus), memang primata yang terkenal di dunia. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources pada tahun 2004 memasukkan primata ini dalam daftar merah hewan yang tinggal setahap lagi menuju punah.

Jumlahnya tinggal 7.300-an ekor tahun 2001. Padahal tahun 1920-an pernah mencapai 200.000-an ekor. Kalau tidak ada penanganan segera, dalam waktu 10 tahun primata maskot Indonesia ini akan punah.

Orangutan adalah satu-satunya kera besar yang mewakili Benua Asia. Tiga kera besar lainnya berada di Benua Afrika, yakni gorila (Gorilla gorilla, Gorilla beringei), simpanse (Pan troglodytes), dan bonobo atau simpanse pigmi (Pan paniscus). Sebanyak 90 persen orangutan berada di wilayah Indonesia dan hanya 10 persen di Malaysia.

Jatuh cinta

Dominasi peneliti asing dan orangutan sebagai satu-satunya kera besar di Asia membuat mahasiswi Fakultas Biologi Unas ini memutuskan konsisten meneliti orangutan. Padahal ketika hendak mengambil skripsi, ia sebetulnya ingin meneliti primata yang nyaris punah di Mentawai, Sumatera Barat, yakni simakobu (Simias concolor). Namun, pemerintah tak mengizinkan.

Ia langsung jatuh cinta pada orangutan sumatera ketika datang ke Ketambe sebagai mahasiswi dari peneliti Fakultas Biologi Unas, Tatang Mitrasetia kini Dekan Fakultas Biologi Unas tahun 1990. Dari situ ia menyelesaikan skripsi tentang Perilaku Orangutan Sumatera Betina dalam Berbagai Kondisi Reproduksi Berbeda.

Saya sering sendirian di hutan Ketambe bersama mereka (orangutan Red). Banyak hal baru yang tidak pernah saya baca di literatur yang saya dapati di sana, kata istri Azwar itu.

Ia lebih sering berada di hutan Ketambe untuk meneliti hingga tahun 1999, ketika konflik Aceh meledak. Akibat konflik itu jumlah orangutan sumatera merosot drastis. Sebagian dibawa sebagai suvenir untuk para pejabat dan jenderal di Jakarta.

Dari Ketambe itu pula Suci menyelesaikan disertasi doktornya di Faculteit Biologie Universiteit Utrecht tentang Bimaturisme Pejantan Orangutan, Strategi Reproduksi dan Ekologi (1996-1998). Bila dalam skripsinya ia hanya mengamati perilaku reproduksi, dalam disertasinya Suci memperdalam fisiologi reproduksi.

Ia, misalnya, mengambil sampel untuk uji materi genetik DNA secara tidak lazim, yaitu dari tinja, yang akhirnya menarik minat peneliti lain memperdalam teknik ini. Dalam disertasinya ia menemukan bahwa orangutan jantan yang tidak memiliki tanda sekunder seksual, seperti bantalan pipi, bisa menghamili betina.

Kebudayaan

Suci berharap kepedulian terhadap orangutan tidak hanya dilakukan para peneliti, tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Terlebih secara genetik 97 persen DNA mereka sama dengan DNA manusia.

Karena alasan itu, Suci yakin orangutan bermanfaat bagi manusia. Pertama, untuk pengembangan obat-obatan berdasarkan buah-buahan yang dimakan orangutan jika mereka sakit. Kedua, orangutan adalah penyebar biji yang baik karena daya jelajahnya mencapai 5.000-an hektar sehingga baik untuk regenerasi hutan. Ketiga, penting untuk penelitian evolusi karena orangutan memiliki kebudayaan, yakni menggunakan daun untuk mengambil benda tajam atau selalu tidur dengan alas.

Tiga itu yang baru ketahuan. Saya yakin akan lebih. Meneliti orangutan adalah pekerjaan seumur hidup, sepanjang umur orangutan itu sendiri yang mencapai 55-60 tahun, kata Suci menjelaskan. Data orangutan sumatera dari Ketambe adalah yang terlengkap mungkin di dunia sehingga bisa dibuat sejarah kehidupan orangutan di situ.

Oleh karena itu, Suci berharap segera bisa kembali ke hutan Ketambe setelah konflik Aceh berakhir pascapenandatanganan nota kesepahaman Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka 15 Agustus lalu. Saya harus ke sana karena saya satu-satunya yang bisa mengenali mereka, katanya, mantap.

Sumber : Kompas, Kamis, 17 November 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks