Jun 20, 2009

Darwa Hardiya Ruhyana : Darwa, Perintis Situs Desa Tambaksari

Darwa, Perintis Situs Desa Tambaksari
Oleh : Her Suganda*

Di dunia arkeologi nasional, arkeolog mana yang tidak mengenal situs Tambaksari. Walau tak seterkenal Sangiran di Jawa Tengah dan Trinil di Jawa Timur yang kesohor karena fosil manusia purba Pithecantropus, situs Tambaksari telah ikut menyumbang kekayaan koleksi arkeologi nasional. Kandungan kekayaannya berupa fosil yang melimpah telah mengundang minat para peneliti.

Tambaksari adalah desa kecil di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Kisah tentang temuan fosil-fosil yang sudah tak terhitung jumlahnya di daerah itu diawali secara kebetulan. Bukan oleh arkeolog atau peneliti lainnya, tetapi justru ditemukan oleh sekelompok murid Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Tambaksari. Adalah Darwa Hardiya Ruhyana, guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), yang mengawali temuan benda-benda yang kemudian diketahui bernama fosil itu.

Darwa, ayah tiga anak yang mengawali kariernya sebagai guru sekolah dasar (SD), pada awalnya hanya bertujuan menghindarkan kejenuhan anak didiknya belajar di ruang kelas. Pada mulanya saya hanya menganjurkan mereka mengumpulkan tumbuhan atau benda-benda yang dianggap aneh di sekitar tempat tinggalnya, ia mengenang peristiwa sekitar seperempat abad lalu.

Tetapi siapa menduga, usaha tersebut di kemudian hari mampu mengangkat nama sekolahnya menjadi satu-satunya SMP yang memiliki koleksi fosil terbanyak? Selain fosil pertama yang ditemukan siswa bernama Yayat Suryati berupa potongan gigi besar binatang purba yang hidup satu-dua juta tahun lalu, sekolah tersebut menyimpan ratusan atau mungkin ribuan fosil vertebrata, mamalia, dan moluska.

Ada fosil Proximal tibia (pangkal tulang kering gajah purba), Astragalus (tulang tumir I), Molat (M) atau geraham, Distal humerus (ujung tulang lengan), Stegodon Sp (gajah purba), dan banyak lagi. Bahkan saking banyaknya, fosil-fosil tersebut pernah berserakan di lantai, meja laboratorium, dan sebagian lagi disimpan dalam karung.

Beruntung, benda-benda yang semula dianggap aneh itu akhirnya memperoleh tempat penyimpanan ketika Museum Geologi Bandung pada tahun 1996 menyumbang lemari kaca berukuran 2 x 0,5 meter. Seusai penelitian, sebuah lemari kaca lainnya diterima dari Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTN) Yogyakarta, Balai Arkeologi Bandung, Pusat Pengembangan Geologi, yang saat itu bekerja sama dengan Universitas Tennessee dan Universitas Alabama, Amerika Serikat.

Menumbuhkan kesadaran

Apa yang dilakukan Darwa terhadap anak didiknya itu bukan hanya merintis penelitian arkeologi secara ilmiah yang menjadi kekayaan tersembunyi perut bumi Desa Tambaksari. Sebagai seorang pendidik, ia telah menumbuhkan kesadaran semangat meneliti di lingkungan anak didiknya, karena setiap kali mereka menemukan fosil, ia memberi nilai tambah untuk mata pelajaran IPA, sesuai dengan bobot ilmiah fosil tersebut. Sehingga menurut para wali kelas, IPA yang selama ini sering kali merupakan pelajaran yang banyak dihindari para siswa, saat itu menjadi mata pelajaran paling populer.

Dalam melakukan aktivitasnya itu, para siswa dibagi dalam kelompok-kelompok sehingga tumbuh rasa kebersamaan untuk bersaing secara sehat dengan kelompok lainnya. Seusai pelajaran di sekolah, mereka berbondong-bondong mencari fosil. Tentu saja karena pengetahuannya yang sangat minim, mereka bekerja tanpa mengindahkan kaidah-kaidah penelitian ilmiah dalam melakukan penggalian benda yang dicari. Tanah digali dengan linggis, cangkul, atau peralatan lainnya yang bisa membantu usahanya.

Jika salah satu kelompok tersebut menemukan fosil yang dianggap berbobot, mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan sehingga membangkitkan semangat pencarian bagi kelompok lainnya, kata Darwa.

Wiraswasta

Guru kelahiran Desa Tambaksari, 9 Juli 1941 itu, setelah 16 tahun membimbing anak didiknya dalam dunia arkeologi, memilih pensiun pada tahun 1996 dan kemudian terjun ke dunia wiraswasta. Tetapi apa yang sudah dirintisnya tidak terhenti sampai di situ saja. Buktinya, penelitian secara ilmiah dan mendalam pada situs Tambaksari masih terus dilanjutkan secara intensif oleh para arkeolog dan geolog.

Situs Tambaksari selama ini dianggap sangat potensial, mengingat di tempat tersebut bukan hanya ditemukan fosil-fosil binatang purba dalam jumlah cukup besar, terutama di daerah yang terletak di Urugkasang. Situs Tambaksari menyimpan benda-benda prasejarah.

Untuk menyelamatkan temuan fosil-fosil di sana, pada tahun 2002 dibangun museum yang dinamakan Gedung Penyelamatan Benda Cagar Budaya Tambaksari. Tetapi dibanding temuan yang disimpan di Laboratorium IPA SMPN Tambaksari, koleksi fosil yang dirintis Darwa Hardiya Ruhyana bersama anak didiknya jauh lebih lengkap dan lebih banyak, baik jumlah maupun jenisnya.

*Her Suganda Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat (FWP-JB)

Sumber : Kompas, Jumat, 18 November 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks