Jun 18, 2009

Sri Sri Ravi Shankar : Merayakan Keheningan

Merayakan Keheningan
Oleh : Maria Hartiningsih

Pertanda pagi, kata seorang guru, adalah terang tanah yang membuat orang tidak sekadar bisa membedakan pohon ara dari pohon persik. "Tetapi, ketika engkau mampu melihat wajah sesamamu seperti bagian dirimu. Sebelum kau mampu melakukannya, tidak peduli jam berapa pun, hari masih malam."

Sri Sri Ravi Shankar (50), yang disapa "Guruji" oleh murid-muridnya, bukan guru dalam kisah itu. Namun guru spiritual, pendiri The Art of Living Foundation itu secara jelas menyampaikan pesan yang intinya sama: cinta dan kedamaian tanpa syarat pada sesama, kepada semua ciptaan-Nya.

"Di dunia yang mengglobal semua serba diglobalkan, tetapi tidak untuk tanggung jawab, kearifan, dan nilai-nilai kesejatian dalam diri manusia," ujarnya di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Hubungan-hubungan saat ini dipenuhi oleh kehendak untuk menguasai. Tidak ada ketulusan. Kecurigaan, prasangka, dan kebencian meruyak. Orang kehilangan kepercayaan dan keyakinan akan kebajikan.

Satu Bumi, yang diyakini Guruji, dihuni oleh satu "keluarga" kini dipenuhi kekerasan. Kekerasan menjadi pilihan untuk menyelesaikan persoalan dan konflik; untuk mempertahankan dan memaksakan "kebenaran" atas dasar nilai-nilai tertentu. Manusia semakin terbenam dalam kebencian dan perusakan.

Pun pembangunan, yang katanya ditujukan untuk kemajuan, tidak menghasilkan harmoni sosial, kesetaraan, dan keadilan. Sebaliknya, justru tekanan mental, pencemaran lingkungan, dan kehancuran kearifan lokal.

"Visi saya adalah sebuah dunia yang terbebas dari kekerasan, kejahatan, dan tekanan," ujar salah satu penasihat spiritual pada Perserikatan Bangsa-Bangsa itu.

Kemajuan semestinya dicapai melalui bangunan ilmu pengetahuan yang luas sebagai pusat pembangunan yang holistik, untuk mencapai keamanan hidup dalam arti luas juga.

"Termasuk pembangunan sekolah untuk suku asli, mengadvokasi pertanian organik dan memelihara lingkungan, menghidupkan kembali ilmu pengobatan lokal, menjembatani kesenjangan desa-kota, menjamin keadilan bagi semua orang, dan terus merayakan kehidupan," paparnya.

Melalui keheningan

Laki-laki kelahiran Papanasam, Tamil Nadu, India, pada 13 Mei 1956 itu memiliki pancaran mata yang jenaka, suara yang tipis dan berirama, gerakan yang ringan, dan wajah yang selalu tersenyum.

Ia melepaskan kesan "orang suci" dengan membaur di antara ratusan praktisi olah napas— yang diundang Yayasan Seni Kehidupan Indonesia—menghampiri dan menyalami setiap orang setelah bermeditasi bersama.

Menurut berbagai referensi, orangtuanya memberi nama Ravi Shankar Narayana karena desa kelahirannya terkenal dengan candi-candi Shiva dan Wishnu. Dalam suatu wawancara, pernah ia ditanya mengapa menggunakan dua "Sri" di depan namanya. Jawabannya, "Karena 108 Sri terlalu panjang."

Ravi Shankar kecil sudah tampak memiliki kelebihan secara spiritual. Pada usia empat tahun ia sudah menguasai Bhagawat Gita. Pada usia 17 tahun ia mendapatkan gelarnya di bidang sains dan Sastra Veda.

Ibunya sempat memintanya menjadi pegawai bank. Tetapi, saat wawancara, ia malah memikat pewawancaranya dengan pembicaraan mengenai meditasi. Ia sempat bekerja selama beberapa tahun pada mistik dan guru Meditasi Transendental Maharishi Mahesyogi, guru dari The Beatles, melayani orang miskin dan mengajar meditasi.

Namun, kemudian ia merasa ada tugas lebih besar menunggunya. Ia gelisah, dan lalu melakukan meditasi yang dalam selama 10 hari pada tahun 1982.

Terciptalah teknik olah napas Sudharsan Kriya yang sekarang dipraktikkan lebih dari enam juta orang di 144 negara. Teknik itu secara filosofis menghubungkan manusia dengan semua ciptaan-Nya di alam raya.

"Kita melihat hidup dalam perspektif luas, dengan visi kosmik tentang kehidupan," ujarnya dalam wawancara yang lain. Hal itu dibumikan dengan memberikan pelayanan, penghiburan, dan kasih.

Kerja kemanusiaan dilakukan di mana-mana, bahkan sampai ke Baghdad. Di situ para pengikutnya membangun lembaga yang memberikan pelatihan untuk melepaskan stres bagi para korban trauma.

Melalui itu semua, Ravi Shankar dan murid-muridnya menyusuri jalan perdamaian yang panjang dan berliku, menebarkan ajaran tentang cinta. Ini membawanya bertemu dengan para tokoh politik dan pemuka agama di dunia.

Ia merupakan satu-satunya orang non-Barat anggota badan penasihat Yale University’s School of Divinity di AS. Adapun Art of Living Foundation yang berpusat di Bangalore, India, adalah organisasi nonpemerintah yang memiliki status konsultasi khusus di PBB.

Akan tetapi, ia tidak memosisikan diri sebagai tokoh. Ia malah mengaku sebagai kanak-kanak, dan akan tinggal sebagai kanak-kanak dalam cara memandang dunia serta hubungan-hubungan dalam kehidupan.

"Kejernihan memandang hidup hilang ketika secara intelektual kita menjadi lebih pandai," ujar tokoh yang dinominasikan sebagai penerima Nobel Perdamaian tahun 2006 itu.

Penguasaan sains yang kian tinggi, demikian Ravi Shankar, seharusnya membawa orang mampu mengakui keterbatasan, dan bisa mengatakan, "Saya tidak tahu", dan mampu hening.

Begitulah. Maka ia mengajar agar orang mampu menyeimbangkan intelektualitas dan spiritualitas, dan merayakan kehidupan dengan keheningan.

Itulah perjalanan kembali kepada inti diri: perjalanan hening.

Sumber : Kompas, Rabu, 26 April 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks