Jun 28, 2009

Irene Zubaida Khan : Irene Khan, Pendekar HAM dan Mosaik Kehidupan

Irene Khan, Pendekar HAM dan Mosaik Kehidupan
Oleh : Simon Saragih

PELANGGARAN hak asasi manusia oleh tentara AS di Guantanamo, Kuba, dan penjara Abu Ghraib, Irak, menjadi salah satu kecaman dalam laporan Amnesti Internasional yang diluncurkan pada 25 Mei lalu di London. Sekjen Amnesti Internasional Irene Zubaida Khan membacakan sendiri ringkasan laporan itu.

SIAPA itu Khan? Ia adalah Sekjen Amnesti Internasional (AI) ketujuh yang mulai menjabat pada Agustus 2001. Dia adalah wanita Asia dan Muslimah pertama yang menjadi Sekjen AI. Ia lahir pada 1958 di Dhaka, ketika Banglades masih menjadi wilayah timur Pakistan.

Lahir dari keluarga relatif makmur yang tinggal di lingkungan miskin dan porak-poranda oleh perang sipil ketika Banglades berada di bawah Pemerintahan Pakistan, jalan hidupnya berperan besar membuatnya mengapresiasi keanekaragaman anutan manusia.

Khan mengatakan, ibunya melahirkan tiga putri, di lingkungan yang mendambakan anak lelaki. Ibunya ingin membuktikan tidak ada perbedaan antara wanita dan pria. Ibunya yakin, jika diberi kesempatan, wanita bisa melakukan yang terbaik sebagaimana halnya pria.

Ia keturunan dari kakek yang seorang pengacara lulusan Cambridge University di Inggris dan ayah yang seorang dokter.

"Jadi saya hidup di keluarga yang berpandangan liberal, dikombinasikan dengan nilai tradisional. Kombinasi itu begitu mengharukan," kata Khan.

Dari garis ibu, ia adalah keturunan ulama asal Irak. Khan menikah secara Islam dengan pria non-Muslim kelahiran Jerman, seorang ekonom.

Ia dididik oleh suster-suster Katolik, sebagaimana semua gadis Muslim dan Hindu yang mumpuni.

Sikap untuk memerhatikan nasib orang lain terbentuk ketika terjadi sektarianisme di Pakistan.

"Saya memiliki teman wanita Hindu yang kehilangan ayahnya karena ditembak tentara Pakistan. Ketika itu saya berusia 13 tahun, hal itu membuat saya terkejut dan terus membayangi hidup," kata Khan. "Saya tidak bisa membedakan mereka karena mereka adalah teman-teman saya dan tidak pernah bisa menganggap mereka sebagai Hindu."

Ketika terjadi konflik SARA, ayahnya menutup toko-tokonya yang disewa oleh orang Hindu agar tidak diserang tentara Pakistan dengan geng yang dibentuk untuk merusak aset-aset milik Hindu.

"Saya Muslim, itu milik saya, Anda tidak bisa menciduk mereka," ujar Khan mengenang ayahnya saat berhadapan dengan tentara Pakistan. "Hal itu sangat berkesan dan tertanam dalam di benak saya. Saya menyadari bahwa kita bisa berdiri tegak menentang kezaliman dan melakukan hal yang baik."

Tidak betah dengan perang sipil, dia pergi ke Irlandia Utara. Di sana ia juga melihat gerakan sektarian, di mana penganut Protestan dan Katolik berseteru.

Di Irlandia, selagi berwisata dari Kilkeel ke Dublin, ada seorang pria memasuki bus yang mereka tumpangi.

"Saya ditanya bersekolah di mana. Saya jawab di St Louis. Pria itu mengatakan, oh, Anda Katolik! Saya menjawab: Tidak! Pria itu mengatakan, kalau begitu Anda Protestan? saya jawab lagi, tidak! Pria itu bertanya, apa agama Anda? Saya jawab, saya Muslim! Lalu pria itu menanyakan apakah saya Muslim Protestan atau Muslim Katolik?" demikian Khan bercerita soal pengalaman hidupnya.

"Jadi Anda bisa membayangkan, kita harus ada di kubu teman atau lawan, padahal saya tidak ada di antara keduanya. Saudari saya belajar di sekolah Protestan. Saya melihat sisi lain Irlandia Utara dan dia melihat sisi lain Irlandia Utara, lalu kami membandingkan catatan. Mengharukan untuk berdiri di satu sisi dan mengamati negara indah itu (Irlandia) harus tercabik-cabik oleh gerakan sektarian," katanya.

LEPAS dari hiruk-pikuk kehidupan itu, ia belajar di University of Manchester, Inggris, dan Harvard Law School, AS, dengan spesialisasi hukum publik internasional dan HAM. Setelah itu ia tertarik bekerja langsung dengan orang untuk mengubah hidup mereka dan membentuk organisasi Concern Universal pada 1977 dan menjadi aktivis HAM dengan bekerja di International Commission of Jurists pada 1979.

Setelah itu ia bergabung dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) pada 1980, dan bekerja dengan berbagai posisi di markas UNHCR dan di lapangan untuk melindungi pengungsian internasional.

Pada 1991-1995 Khan adalah Senior Executive Officer untuk Sadako Ogata, saat itu Komisaris Ketua UNHCR. Lalu ia diangkat sebagai Kepala Misi UNHCR di India pada 1995, perwakilan termuda saat itu, dan pada 1998 mengepalai UNHCR Centre for Research and Documentation.

Dia memimpin tim UNHCR di eks negara bagian Yugoslavia, Macedonia, saat terjadi krisis Kosovo pada 1999, dan diangkat sebagai Deputi Direktur Perlindungan Internasional UNHCR pada 2000.

Setelah itu ia menjadi Sekjen AI. Pada tahun pertama jabatannya, Khan mereformasi AI sehingga bisa memberi respons krisis kemanusiaan dan memimpin misi ke Pakistan saat terjadi pengeboman AS di Afganistan. Ia juga mengunjungi Israel dan Palestina yang diduduki setelah Israel menduduki Jenin dan mengunjungi Kolombia sebelum pemilu presiden pada Mei 2003.

Dia sangat memerhatikan pelecehan atas wanita dan menyerukan perlindungan yang lebih baik terhadap wanita saat bertemu dengan Presiden Pakistan Pervez Musharraf dan Presiden Lebanon Emile Lahoud serta Perdana Menteri Banglades Khaleda Zia.

Dia memulai sebuah proses konsultasi dengan para wanita aktivis untuk merancang kampanye AI atas tindak kekerasan atas wanita.

Khan sangat memerhatikan pelanggaran HAM yang dicoba ditutup-ditutupi. Di Australia, ia meniupkan isu soal pengungsi yang sengsara. Di Burundi, ia bertemu dengan para korban pembantaian dan mendesak Presiden Pierre Buyoya dan pihak lainnya untuk mengakhiri konflik dan pelanggaran HAM. Di Bulgaria, ia memimpin kampanye untuk mengakhiri diskriminasi atas para warga yang memiliki keterbelakangan mental. Atas karyanya, Khan menerima berbagai penghargaan seperti Ford Foundation Fellowship dan Pilkington "Woman of the Year" Award 2002.

Irene Khan hampir menghabiskan seluruh hidupnya sebagai seorang aktivis HAM. AI memiliki 1,8 juta anggota dari 77 negara.

"Jadi kita memiliki warga dengan segala jenis iman, warna, kepercayaan, dan kelas," katanya. (SIMON SARAGIH)

Sumber : Kompas, Rabu, 1 Juni 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks