Menyibak "Gunung Es" dari Puskesmas
Oleh : Yenti Aprianti
Sejak remaja, Sonny Sondari (43) sudah akrab dengan pengguna narkotika dan obat berbahaya di Kota Bandung. Kini, Kepala Puskesmas Salam, Kota Bandung, ini juga tak kenal lelah mencari dana dan relasi untuk menyelamatkan orang yang hidup dengan HIV AIDS atau ODHA dan keluarganya.
Suatu hari di tahun 1998, saat tengah bertugas sebagai Kepala Puskesmas Pasirlayung, Kota Bandung, Sonny didatangi warga. Orang yang datang tergopoh-gopoh itu memohonnya agar segera mengobati tetangganya yang tengah sakit keras. Sonny pun berlari mengikuti tamunya menuju sebuah kampung kumuh.
Di dalam rumah yang hanya 16 meter persegi tergolek seorang remaja perempuan dengan bibir berbusa. Pelajar sekolah menengah pertama (SMP) itu, kabarnya, dipaksa teman-teman sekolahnya menenggak delapan butir pil sekaligus.
"Saya sangat sedih melihat kondisi anak itu. Saya menelepon teman dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin agar anak tersebut bisa dibawa ke unit gawat darurat tempatnya bekerja," kata Sonny mengenang.
Temannya mau membantu dan akhirnya anak itu dapat diselamatkan. Namun, Sonny selalu dibayang-bayangi peristiwa nyaris koma remaja perempuan yang miskin itu. Di saat berdekatan, seorang keponakannya diketahui kecanduan narkoba. Ia pun makin sadar bahaya narkoba sudah di depan mata. Ia bertekad "menjemput bola" kasus kasus narkoba dan HIV/AIDS.
Layanan 24 jam
Sejak itu, ia banyak berhubungan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang tersebut. Ia juga mulai bertemu dengan pengguna narkoba dan ODHA. Banyak di antara mereka yang datang berobat ke puskesmasnya karena saat itu stigma terhadap pengguna narkoba dan ODHA masih terjadi dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit.
"Saya nekat melayani mereka karena saya memandang mereka tetap berhak dilayani. Memang awalnya rada parno (paranoid). Setiap habis melayani mereka saya langsung membersihkan diri, takut tertular," tutur Sonny.
Tidak mau terbelenggu oleh ketakutan tanpa dasar, Sonny mempelajari sendiri cara merawat ODHA dan pengetahuan itu ia sebarkan kepada stafnya di puskesmas.
Tidak hanya melayani pengobatan, Sonny juga melayani konsultasi dan keinginan pasiennya untuk mencurahkan isi hatinya. Bahkan tidak hanya tatap muka, Sonny melayani mereka 24 jam melalui telepon selulernya. Tidak jarang Sonny malam-malam diminta bantuan biaya berobat.
Sonny tidak pernah lelah mencari dana bagi para ODHA. "Saya sering pergi sampai malam diantar suami untuk bertemu anggota sebuah klub guna meminta bantuan dana bagi pengobatan para ODHA," ujar Sonny. Sering kali ia tidak mendapat dana, tetapi mendapat tenaga dan teman yang bisa membantu para ODHA.
Selenggarakan meditasi
Sonny juga melayani dua pasangan ODHA yang memiliki anak. Agar kekebalan tubuh anaknya baik, ia mencarikan bantuan susu. Meski pernah beberapa kali dibohongi pasiennya yang mengambil susu sekaligus dengan berbagai alasan, Sonny tetap memaafkan dan tidak ingin berhenti membantu.
Tidak hanya itu, Sonny juga tidak kapok membantu ODHA yang kadang "ogah-ogahan" dibantu. "Saya sudah alokasikan bantuan susu kepada mereka, ternyata mereka tidak rajin mengambilnya sehingga untuk pengambilan dan penggunaan fasilitas kesehatan keluarga saja masih harus terus diawasi," ujar Sonny yang pada Maret 2006 meluncurkan cara melatih komitmen dan kepatuhan bagi ODHA melalui meditasi. Kegiatan kerja sama dengan Indonesia HIV-AIDS Prevention and Care Project (IHPCP) Ausaid Jakarta diadakan di Puskesmas Salam setiap Rabu pukul 13.00. Ia dan staf puskesmas pun ikut serta dalam meditasi tersebut.
Sonny pindah tugas dari Puskesmas Pasirlayung ke Puskesmas Salam tahun 2000. Pada tahun 2003 puskesmasnya dipercaya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menyosialisasikan bahaya narkoba dan HIV/AIDS kepada para remaja. Meskipun proyek WHO hanya berlaku satu tahun, Sonny terus menjalankan tugas sosialisasi tersebut.
Bandung rawan
Bersama keponakannya yang pernah menjadi pencandu, Sonny dan teman-teman LSM mendatangi sekolah-sekolah. Ia membantu para pelajar memiliki keterampilan hidup untuk mengatakan tidak terhadap narkoba dan HIV/AIDS.
Kadang kala Sonny membawa salah satu anaknya yang dia nilai memiliki perilaku yang menjurus pada perilaku tidak sehat. "Saya sendiri tidak sempurna. Saya mendidik anak dengan cara yang sama, tetapi hasilnya bisa berbeda," kata ibu dari Iqbal (19), Runny (17), dan Naila (4) itu. Istri Ir Santa Yusuf Nasution ini menyadari perilaku anak tak hanya dibentuk keluarga, tetapi juga lingkungan yang lain.
Kadang kala Sonny meminta bantuan anak-anak LSM yang bekerja sama dengannya untuk mengobrol dengan anaknya agar ia mengetahui apa yang diinginkan anaknya.
Ia tahu sejak tahun 1970-an Kota Bandung menjadi sasaran empuk pengedar narkoba. "Dulu saya juga anak gaul. Beberapa teman perempuan saya di SMP sering menumpang untuk mengonsumsi pil terlarang di kamar saya. Mereka biasanya anak-anak orang kaya. Untung saya tidak tergoda untuk memakainya juga," ujar anak ketiga dari empat bersaudara yang menjadi yatim piatu sejak remaja itu. Ibunya meninggal saat ia belajar di sekolah dasar dan ayahnya meninggal saat ia duduk di sekolah menengah atas. Ia dan saudara kandungnya kemudian dirawat adik ayahnya.
Kondisi peredaran narkoba kini sudah masuk ke semua kalangan ekonomi, untuk mengungkap gunung es kasus narkoba dan ODHA, Sonny juga bekerja sama dengan para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi untuk mengadakan penelitian antara lain tentang seks bebas di kalangan remaja dan alasan penggunaan narkoba. Hasilnya ditindaklanjuti, salah satunya untuk bahan sosialisasi bahaya narkoba dan HIV/AIDS.
Dalam waktu dekat alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran tahun 1988 ini juga berencana kuliah pascasarjana bidang kesehatan reproduksi.
Sumber : Kompas, Senin, 12 Juni 2006
Jun 17, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment