Jun 15, 2009

Solichin, Sang "Dokter" Karet

Solichin, Sang "Dokter" Karet
Oleh : BM Lukita Grahadyarini

Hatinya sedih ketika bau busuk karet, mulai dari kebun hingga pabrik, menjadi penyakit menahun di negeri kaya karet ini. Kecintaannya terhadap karet membuat Solichin, pria kelahiran Solo, 25 Desember 1952, itu berbuah pada "penyembuhan" bau busuk karet.

Bau karet adalah momok yang meresahkan masyarakat di lokasi sekitar kebun hingga pabrik karet. Di rumahnya, di Kompleks Bukit Sejahtera, Palembang, yang berdekatan dengan dua pabrik karet, bau busuk tercium hampir sepanjang hari. Saat mulai menempati rumah itu, tahun 1989, bau menyengat karet sampai membuatnya mual-mual.

Setelah dia teliti, bau busuk itu muncul karena petani, dalam proses pembekuan karet, menggunakan cairan asam semut (asam format), cuka para (asam sulfat) atau tawas. Hal itu memicu pertumbuhan bakteri pada gumpalan karet menjadi amonia dan sulfida. Sampai di pabrik pengolahan, bau itu terus menyebar dari tempat penyimpanan bahan olah karet (bokar), kamar gantung, hingga ke mesin pengering di pabrik.

Teringatlah Solichin ketika menjadi staf peneliti dan pengembangan karet di negeri jiran Malaysia tahun 1980-1988. Di sana bau karet tetap ada, tetapi tidak separah di Indonesia, karena karet alam petani di Malaysia tidak direndam, melainkan dijual kering.

"Kita tidak bisa menyalahkan petani karet di Indonesia karena pembelian karet petani selama ini didasarkan berat karet basah. Akibatnya, petani merendam karet supaya bobotnya terlihat berat," kata Solichin.

Sepulang dari Malaysia, ia menjadi staf peneliti karet di Pusat Penelitian Karet Balai Penelitian Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Maka, mulai tahun 1999 hingga 2002, ia membuat formula pembasmi bau busuk karet. Pilihannya jatuh pada tempurung kelapa sawit. Limbah yang banyak dibuang oleh pabrik kelapa sawit itu bisa bermanfaat untuk menghilangkan bau busuk karet.

Dengan menggunakan tungku reaktor kecil, ia mengolah cangkang kelapa sawit menjadi asap cair. Cangkang dimasukkan ke dalam tungku dengan pemanasan suhu tinggi, yaitu 300-400 derajat Celsius. Asap yang dihasilkan kemudian disaring dan dikondensasi menjadi cairan.

Asap cair itu dapat membekukan getah karet (lateks) dengan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan zat pembeku asam format. Penyemprotan asap cair di atas bokar juga menghilangkan bau busuk karet karena mengandung 67 jenis senyawa yang berfungsi mencegah dan mematikan pertumbuhan bakteri.

Dari hasil penelitian itu, ia mengembangkan asap cair dalam skala besar, bekerja sama dengan pabrik karet PT Badja Baru, Palembang. Penghilang bau karet itu akhirnya dipatenkan pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penemuan itu mengilhami pembangunan pabrik asap cair PT Global Deorub Industry dengan merek dagang deorub atau deodorant rub. Kini, produk itu telah diekspor ke Thailand, Malaysia, dan Brasil.

Mutu karet

Persoalan mutu karet juga menjadi keprihatinannya. Sebagai negara produsen karet terbesar kedua di dunia setelah Vietnam, mutu karet Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan mutu karet Malaysia yang merupakan produsen karet terbesar ketiga di dunia.

Mutu yang rendah itu disebabkan program peremajaan tanaman karet selama ini tidak optimal. Ia termasuk orang yang sangat menyayangkan penghapusan CESS, yaitu pemotongan keuntungan eksportir hasil perkebunan. Ia membandingkan dengan Malaysia, yang mengelola CESS dengan baik, di antaranya untuk peremajaan karet rakyat.

"Di Malaysia, dana CESS dikembalikan ke petani untuk peremajaan secara gratis. Padahal, Malaysia dulu mengikuti program CESS kita. Saat kita meninggalkannya, mereka terus menerapkannya dan berhasil," tutur Solichin.

Ia berharap pemerintah memiliki komitmen untuk menghidupkan kembali program CESS. Dengan dana itu, petani tidak perlu kesulitan lagi mendapatkan bibit unggul, karena hasil temuan bibit unggul dapat segera digunakan untuk peremajaan karet rakyat.

Penghargaan

Kecintaan Solichin terhadap karet dimulai sejak ia mengenyam pendidikan di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1972. Ketika melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2, tahun 1992 sampai 1995, ia juga menekuni karet pada fakultas yang sama.

Di sela kesibukannya sebagai peneliti karet, Solichin juga mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah, Palembang, dan Politeknik Jurusan Gizi di Dinas Kesehatan Sumsel.

Dedikasinya "mengobati" bau karet membuahkan hasil. Dari pembuatan asap cair, Solichin menyabet tiga penghargaan. September 2004 lalu, ia mendapat penghargaan dari Lembaga Riset Perkebunan Indonesia sebagai peneliti berprestasi.

Bulan berikutnya, Oktober 2004, ia meraih penghargaan di bidang teknologi industri kreasi Indonesia dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan atas keberhasilan produk deorub sebagai pembeku lateks dan penghilang bau busuk.

Lalu, pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 10 Agustus 2006, ia menerima Anugerah Riset Industri dari Kementerian Riset dan Teknologi atas penggunaan asap cair dalam pengolahan karet alam.

Meski demikian, jejak Solichin sebagai "dokter" karet tidak diikuti oleh ketiga anak hasil pernikahannya dengan Nikmatul Barokah. Anak pertamanya menjadi staf pengajar pada jurusan teknik sipil di Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Sedangkan dua anak lainnya menjadi dokter.

Sumber : Kompas, Rabu, 23 Agustus 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks