Amirzan Menjaga Hutan Adat
Oleh : Neli Triana
Tidak sulit menemui tokoh pelestari hutan ini. Amirzan (42), satu dari 10 anggota ninik mamak Desa Rumbio, Kabupaten Kampar, Riau, mudah ditemui di kantornya di Balai Desa Rumbio. Atau, di sore ataupun pagi hari, saat ia tengah memantau sekaligus menikmati hijaunya hutan adat Cempedak Mengkarak.
Namanya juga disebut penuh rasa hormat oleh masyarakat Desa Rumbio dengan nama Datuk Rajo Mangkuto—nama yang dianugerahkan padanya setelah diangkat menjadi ninik mamak satu tahun lalu. Gelar kehormatan tersebut menunjukkan kedudukannya sekaligus pengakuan masyarakat terhadap pengabdian Amirzan yang menjaga sedikitnya tiga kawasan hutan adat, atau hutan ulayat di desanya itu.
Laki-laki lulusan Sarjana Pendidikan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim tahun 1991, yang semula berprofesi sebagai guru matematika ini, mengungkapkan, ia banting setir dari guru menjadi kepala desa karena prihatin terhadap kondisi hutan di tanah kelahirannya. Ia bertekad akan mendekatkan dirinya pada hutan yang dia akrabi semasa kanak dahulu, namun kini ia saksikan hutan itu makin lama makin terkikis.
Saat menjadi kepala desa, memang terasa betapa jabatan dan kekuasaan dapat membuat terlena. Selama delapan tahun terakhir, ia resmi menjabat sebagai Kepala Desa Rumbio. Setiap hari, hilir mudik para calo, cukong, ataupun orang-orang berkedok calon investor membujuknya agar membangun jalan untuk membuka hutan, diambil kayunya, dan dijadikan kebun sawit. Namun, iming-iming jutaan hingga miliaran rupiah tak pernah dia hiraukan.
Selama sewindu itu, ia justru memfokuskan program desa pada upaya menjaga hutan adat di daerahnya. Ia banyak berinteraksi langsung dengan warganya yang berjumlah lebih dari 4.000 jiwa tentang pentingnya menjaga hutan adat. Dari 500 hektar hutan yang masih alami dan terjaga kelestariannya itu nyata amat bermanfaat bagi seluruh warga desa.
Mata air di pedalaman hutan Cempedak Mengkarak mengalirkan air jernih yang aman dan sehat dikonsumsi bagi seluruh warga desa. Dan berkat prakarsa Amirzan, dari anak sungai kecil yang mengalir di desa itu, beberapa waktu lalu, mulai dimanfaatkan sebagai perikanan darat dengan membuat petak-petak tambak di pinggiran hutan. Usaha ini ternyata berhasil dan bisa menjadi sumber pendapatan tambahan yang menjanjikan bagi warga, di samping mata pencarian pokok sebagai petani karet dan padi.
Keteladanan Amirzan, keteguhan, serta kegigihannya melawan segala rayuan "investor" itu membuatnya dinobatkan sebagai anggota ninik mamak. Ia menjadi salah satu ninik mamak termuda dibanding rata-rata ninik mamak lainnya yang rata-rata berumur sekitar 70-an tahun.
Manisnya cempedak
Kecintaan suami Jaismiar ini pada hutan sudah muncul sejak masa kanak-kanak. Dengan bersemangat ia mengungkapkan, hutan Cempedak Mengkarak, Tanjung Kulim, dan Kotonagaro adalah kawasan hutan-hutan adat yang menjadi tempat bermainnya sejak balita. Di hutan, ia merasakan manisnya buah cempedak yang langsung dipetik dari pohon. Di hutan pula, ia mengenal kayu-kayu yang berkualitas tinggi, seperti kempas, meranti, juga gaharu dan cendana.
"Tahun 2003 lalu, seorang warga tertangkap tangan menebang pohon dan menjualnya ke penggergajian kayu. Ia langsung dihadapkan pada sidang para ninik mamak. Setelah dinyatakan salah, lengkap dengan bukti- buktinya, ia diharuskan membayar denda dua kali harga kayu dan mengembalikan kayu kepada masyarakat," tuturnya.
Menurut Amirzan, sanksi denda seberapa pun besarnya umumnya tidak memberikan efek jera kepada masyarakat. Namun, dengan menghadapkan pelaku pencuri pohon kepada para ninik mamak dan kejahatannya dipaparkan kepada masyarakat, niscaya membuahkan sanksi moral yang membuat si pencuri tak mau lagi mengulangi perbuatannya.
Penegakan hukum adat oleh para ninik mamak, hasil kerja sama dengan masyarakat dalam membekuk para pencuri kayu, terbukti mampu terus melestarikan hutan sejak ratusan tahun lampau.
Akan tetapi, kini rongrongan terhadap hutan adat tak hanya dari pencuri-pencuri skala kecil. Hutan-hutan adat atau hutan ulayat di Riau kini menjadi target baru para perambah liar dan pembakar lahan. Hutan adat yang relatif lebih sempit luasannya dan berada tak jauh dari permukiman menjadi incaran para perambah, semenjak penjagaan terhadap kawasan lindung makin ketat.
Amirzan alias Datuk Rajo Mangkuto menjelaskan, kini masyarakat adat seperti di Desa Rumbio semakin sulit menjaga hutan ulayat karena belum ada satu dasar hukum resmi yang melindunginya. Karena tidak memiliki dasar hukum, pembatasan secara resmi atas cakupan luas hutan adat tidak dapat dilakukan. Akibatnya, hutan adat—tidak hanya di Rumbio tetapi juga diseluruh Riau— menjadi kawasan terbuka yang sewaktu-waktu terancam.
Sejak dua tahun terakhir, upaya agar hutan Cempedak Mengkarak diresmikan menjadi kawasan lindung, melalui ketetapan resmi dari pemerintah, menjadi agenda utama yang ingin dicapai Amirzan agar hutan adatnya tidak turut musnah seperti hutan adat lain.
Namun, sejauh ini belum ada tanggapan dari Pemerintah Kabupaten Kampar maupun Pemerintah Provinsi Riau. Padahal, upaya pelestarian hutan adat dapat menjadi alternatif utama sebagai upaya penyelamatan hutan Riau yang kini hanya tersisa kurang dari satu juta hektar saja— dari semula yang mencapai luas empat juta hektar.
Sumber : Kompas, Kamis, 24 Agustus 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment