Cheah, Angkat Pamor Film Asia
Oleh : Agung Setyahadi
Saat pertama kali digelar Singapore Film Festival tahun 1987, hati Philip Cheah belum merasa pas lantaran nuansa Asia belum muncul. Atmosfer gaya Amerika masih mendominasi. Kalau ini dibiarkan, film-film Asia tidak akan maju.
Semangat yang diusung Philip bukanlah antidunia Barat, tetapi menyadarkan masyarakat Asia bahwa mereka memiliki potensi yang besar dan bisa dikembangkan.
"Kita harus mencari sendiri akar kita sebagai bangsa Asia," ungkap Direktur Singapore International Film Festival ini.
Film-film Asia selama ini jadi pemanis dalam berbagai festival internasional. Lebih parah lagi, para pembuat film dari Asia justru mematut-matutkan diri supaya diakui dunia Barat. Keterpurukan film Asia harus diakhiri dengan menumbuhkan budaya film di masyarakat Asia.
Pada festival tahun kedua, Philip mulai membuka jendela untuk film-film Asia. Festival ini fokus pada film-film China dan generasi baru film pendek dari Filipina. Festival tahun ketiga, komposisi film Asia yang ikut festival meningkat menjadi 50 persen. Pada festival keempat, Philip baru menggelar kompetisi untuk film Asia terbaik. Festival ini menjadi festival pertama yang memberi penghargaan untuk film-film Asia.
Pencapaian ini belum juga memuaskan Philip karena masih ada masalah pelik yang sebenarnya hingga kini belum terurai sepenuhnya.
"Kita, antarmasyarakat Asia, tidak saling mengenal budaya masing-masing. Film di negara-negara Asia tidak saling dikenal. Karena itu, pada tahun 1994 kami mengundang tokoh-tokoh film Asia untuk bergabung," papar Philip.
Waktu itu, tokoh film Indonesia yang diundang antara lain Usmar Ismail dan Arifin C Noor. Prince Chatri dari Thailand yang sukses dengan film The Legend of Suriyothai pun datang dan sejumlah produser film dari Filipina. Para produser film ini diundang supaya saling mengenal dan membuat jaringan untuk mempromosikan film dari negara masing-masing seiring dengan berdirinya Netpac (Network for the Promotion of Asian Cinema).
"Kami kemudian mulai menggarap film-film dari Timur Tengah. Iran, Irak, Mesir, dan Lebanon banyak membuat film. Dua negara yang belum membuat film hanya Yaman dan Arab Saudi. Dua negara ini baru membuat film tahun 2005 dan akan dikeluarkan tahun ini," tutur Philip yang dikenal ramah.
Perjuangan Philip dan sejumlah koleganya, seperti Presiden Netpac Aruna Vasudev, mulai menumbuhkan kesadaran masyarakat Asia akan potensi yang ada di sekitarnya. Animo orang untuk datang ke setiap festival cukup besar. Artinya, potensi penonton di Asia sangat besar, dan ini belum digarap oleh sutradara dan produser film Asia.
Setelah era 1980-an, film Asia semakin diperhatikan oleh negara-negara Barat. Kemajuan ini tak lepas dari kemunculan berbagai festival film seperti Bangkok International Film Festival, Bangkok World Film Festival, Cinemanila International Film Festival, Jakarta Internasional Film Festival, dan Jogja Netpac Asian Film Festival (JAFF) yang baru saja berlangsung di Yogyakarta.
"Saat ini festival film makin menyebar ke negara-negara di Asia. Ini sebuah indikasi bahwa budaya film mulai bangkit, khususnya di Asia Tenggara. Netpac memang selalu kami bawa ke kota yang memiliki komunitas film tetapi tidak memiliki festival, termasuk Yogyakarta," ucapnya.
Kehadiran Philip ke Yogyakarta bukan sekadar menjadi kurator film pada JAFF 2006, 7-12 Agustus 2006. Sosok rendah hati ini menjadi guru bagi komunitas film di Yogyakarta untuk menggelar festival film bertaraf internasional. Philip, yang menjadi board member di banyak festival, mengarahkan panitia yang rata-rata mahasiswa tentang seluk-beluk menggelar festival film.
"Saya sangat terkesan pada festival di sini (Yogyakarta) karena mengingatkanku pada awal mula Pusan (Pusan International Film Festival). Keduanya sama-sama didukung dan dimeriahkan oleh para pelajar. Di Yogya, berbagai komunitas film dari luar Yogya datang ke sini untuk mengapresiasi film. Ini masa depan yang cerah bagi JAFF," ungkap Philip.
Ia menilai tantangan bagi perkembangan film di Yogyakarta dan kota-kota lain di Indonesia adalah harus terus meluaskan perspektif. Komunitas film harus banyak bertemu dengan komunitas film dari negara-negara lain. Interaksi dengan komunitas film dari luar Indonesia akan membuka perspektif terhadap perkembangan dunia film.
Tantangan lain adalah kemampuan menjaga idealisme sekaligus membaca pasar. Budaya film dan pasar harus seimbang, jangan sampai film terus-terusan dikuasai oleh pasar. Di Indonesia, kecenderungan yang terjadi adalah kooptasi pasar sangat kuat. Kondisi ini harus dihadapi dengan kreativitas dan kejelian untuk menyikapi pasar. Para pembuat film harus memiliki posisi tawar yang dibangun melalui nilai lebih dalam film garapannya.
Perhatian serius Philip terhadap perkembangan budaya pop dimulai sejak ia berkarier sebagai wartawan selama enam tahun sejak 1982. Budaya pop, khususnya film dan musik, selalu menarik baginya dan terus diikutinya hingga sekarang. Philip lalu menjadi editor majalah BigO yang mengupas perkembangan budaya pop. Perhatiannya pada film dan musik telah ia tulis dalam enam buku.
Kesibukan Philip mengangkat pamor film Asia kadang sangat menyita waktunya. Meski demikian, keseharian Philip sangat dekat dengan istri dan kedua anaknya. Ia mengaku terbiasa melakukan pekerjaannya, yaitu menonton film di ruang keluarga di rumahnya.
Mempromosikan film Asia, ujar Philip, masih sangat panjang dan membutuhkan kerja keras. Setiap hari tantangan untuk mengangkat pamor film Asia semakin berat. Karena itu, budaya film di masyarakat Asia harus terus ditumbuhkan. Semakin banyak festival film Asia diselenggarakan, semakin dekat film Asia pada masyarakat Asia.
Sumber : Kompas, Selasa, 22 Agustus 2006
Jun 15, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment