Jun 5, 2009

Soedarpo Sastrosatomo & Minarsih Nee Wiranatakusumah : 60 Tahun Cinta Soedarpo - Mien

60 Tahun Cinta Soedarpo-Mien
Oleh : Joice Tauris Santi dan Nur Hidayati

Kamis (19/4) sore pasangan Soedarpo Sastrosatomo dan Mien Soedarpo bercakap-cakap di ruang tamu rumah mereka, sebuah rumah bergaya kolonial di Jalan Pegangsaan Barat, Jakarta. Rumah itu sudah ditinggali mendiang ibunda Mien, Syarifah Nawawi, sejak 1 November 1942.

Mien Soedarpo muncul dengan rambut ditata rapi, dengan bibir dipoles lipstik berwarna merah, dan mengenakan batik. Orang pun tak akan menyadari bahwa sang nyonya rumah sudah berusia 83 tahun. Suaminya, Soedarpo Sastrosatomo (87), mengenakan kemeja batik dengan motif sama dan duduk di kursi roda.

Pada 28 Maret 2007 pasangan ini genap menempuh kehidupan perkawinan selama 60 tahun. Suatu kebersamaan yang panjang. Perayaan syukuran atas ulang tahun pernikahan ini baru digelar di Jakarta, Sabtu (21/4) ini.

"Perkawinan kami tidak berjalan mulus," ujar Mien. Dia menceritakan, saat menyatakan niat untuk menikahi pemuda Soedarpo kepada ibunya, Syarifah Nawawi, yang berdarah Minang, tahun 1946, ibunya kurang menyetujui pilihannya karena tidak mengenal Soedarpo. Sang Ibunda berharap Mien menikahi pemuda yang lebih mapan.

Soedarpo yang berdarah Jawa saat itu bekerja sebagai staf Kementerian Penerangan Bagian Luar Negeri Departemen Penerangan. Di kantor itu pula Mien bekerja.

Akhirnya sang ibu memberi persyaratan, Soedarpo harus mendapat surat izin untuk menikahi Mien dari ayah Mien, Wiranatakoesoemah, yang saat itu menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung di Yogyakarta, dan juga dari paman Mien di Malang. Menurut adat Minang, sang paman inilah pemegang keputusan terakhir.

Mien mengenang, saat itu Soedarpo juga sibuk. Pemuda ini harus bepergian ke Yogyakarta untuk menyampaikan hasil perundingan antara delegasi Indonesia pimpinan Sutan Sjahrir dan delegasi Belanda pimpinan van Mook kepada Soekarno dan Hatta, yang ketika itu memimpin Indonesia dari Yogyakarta.

Rangkaian perundingan ini kelak dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai Perjanjian Linggarjati. Setelah mendapatkan lampu hijau dari ayah dan paman Mien, mereka pun bertunangan.

"Kami berharap Perjanjian Linggarjati akan ditandatangani pada pertengahan Maret 1947 sehingga Darpo bisa bebas tugas sekitar dua minggu sebelum perkawinan," demikan tulis Mien dalam bukunya, Kenangan Masa Lampau.

Perjanjian Linggarjati akhirnya ditandatangani pada 25 Maret 1947. Mereka lalu memilih 28 Maret 1947 sebagai hari pernikahan.

"Tanggal itu sangat berarti bagi saya. Pada tanggal yang sama tahun 1924, ketika saya berusia dua bulan, Ibu meninggalkan Bandung untuk kembali ke Bukittinggi. Begitu tiba di sana, datanglah surat ayah yang menceraikan ibu saya," kata Mien.

Di rumah Jalan Pegangsaan Barat, Jakarta Pusat, pada tanggal yang "keramat" itulah, Soedarpo dan Mien menikah.

Meninggalkan putrinya

Tidak lama setelah menikah, Darpo masih saja sibuk dengan urusan politik, bahkan sempat dipenjara oleh Belanda. Soedarpo juga harus meninggalkan putri pertama mereka, Shanti, yang baru berusia 40 hari ke Amerika Serikat. Ketika itu ia menjadi anggota delegasi Indonesia dalam pembicaraan mengenai pengakuan kedaulatan Republik Indonesia.

Saat Shanti berusia enam bulan, Mien membawa bayinya itu menempuh perjalanan panjang ke Amerika Serikat menyusul Soedarpo, dengan kebaya dan rambut bersanggul.

"Zaman itu belum ada popok bayi sekali pakai dan perjalanan ke Amerika tahun 1948 jelas tidak semudah sekarang," tutur Mien.

Begitulah, kehidupan awal perkawinan mereka disibukkan dengan pasang surut kehidupan politik republik baru ini.

Ketika ditanya bagaimana mereka dapat bertahan dalam mengarungi hidup bersama selama 60 tahun, Mien berucap, "Saya adalah anak dari keluarga bercerai dan itu bukan hal mudah. Jangan sampai hal itu terjadi pada anak-anak kami walaupun tidak selalu mulus," tuturnya.

Mien menambahkan, ibunya baru berusia 27 tahun ketika diceraikan oleh ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai Bupati Cianjur, Jawa Barat. Janda muda tersebut kemudian menghidupi sendiri ketiga anaknya yang baru berumur tujuh dan empat tahun, serta Mien yang baru berumur dua bulan, dengan menjadi guru.

"Demikian pula dengan keluarga Darpo. Ayahnya meninggal ketika dia berumur sembilan tahun dan ibunya seorang diri membesarkan sembilan anak. Ia bisa mendidik mereka dengan baik. Inilah yang saya pegang teguh," tambah Mien sambil sesekali menatap dan tersenyum kepada suaminya.

Soedarpo yang duduk di atas kursi roda memerhatikan perbincangan istrinya dengan kami tanpa banyak berkata-kata. Sekali-kali dia tersenyum atau mengernyitkan dahinya. Bersamaan dengan penyempitan pembuluh darah di otak yang dialami dua tahun lalu, Soedarpo juga mengalami kesulitan pendengaran.

Walaupun sakit, Soedarpo yang kini dikenal sebagai pembangun perusahaan raksasa pelayaran Samudera Group masih menerima jajaran direksi dan komisaris di rumahnya. Hingga dua tahun lalu, ketika orang seusianya sudah lebih banyak beristirahat di rumah, Soedarpo masih aktif mengurusi kerajaan bisnis yang dibangun pada November 1952 itu.

Kemerdekaan administratif

Tentang hasrat yang masih tersimpan di benaknya saat ini, Soedarpo berucap, "Kalaupun masih ada cita-cita, sekarang ini sudah harus saya lepaskan. Karena sekarang saya sakit dan sakit ini, menurut saya, suatu peringatan, sudah harus cukup semuanya ini bagi saya."

Meski demikian, satu harapan tetap menyala dalam diri Soedarpo. Kuat semangat nasionalisme yang berakar pada diri Soedarpo melandasi harapan yang ia simpan bagi anak-cucunya.

"Saya ingin mereka dapat mengisi kekosongan di negeri ini yang tidak diisi oleh bangsa kita sendiri," ujarnya.

Dengan suara yang lantang dan bersemangat, ia melanjutkan, "Kemerdekaan di negeri ini masih kemerdekaan administratif. Banyak urusan di negeri ini masih dikerjakan orang asing. Makanya, jangan gampang saja jadi pegawai negeri, kerjakan yang di luar itu. Isi kekosongan di masyarakat."

Soedarpo terlihat lelah karena duduk terlalu lama sepanjang percakapan. Meski begitu, semangatnya tampak masih menyala. Walaupun harus duduk di kursi roda, kekuatan tekad seakan mengalahkan kondisi fisiknya.

Tak setiap orang bisa mengecap kebahagiaan cinta seperti yang dialami pasangan ini. Usia lanjut pun tidak melemahkan semangat dan gairah hidup mereka. Sampai sekarang mereka masih suka bermain bridge dan mengisi teka teki silang.

***
BIODATA

Nama: Soedarpo Sastrosatomo
TTL: Langkat, Sumatera Utara, 30 Juni 1920

Nama istri: Minarsih Nee Wiranatakoesoemah/Mien Soedarpo
TTL: Bandung, 25 Januari 1924

Menikah: 28 Maret 1947

Anak:
1. Shanti Lasminingsih Poesposoetji
2. Ratna Djuwita Tunggul Hatma
3. Chandraleika Mulia

Lima cucu laki-laki dan satu cucu perempuan, dua cicit

Pencapaian:
Soedarpo terpilih sebagai penerima penghargaan The Maritime Asia Hall of Fame pada 28 September 2000 di Singapura. Penghargaan itu menunjukkan masyarakat industri maritim Asia mengakui pemimpin Samudera Group ini sebagai salah satu pengusaha maritim paling sukses di kawasan ini.

Sementara itu, Mien Soedarpo pernah menjadi Ketua Women's International Club pada 1978-1980 dan tahun 1988-1990. Dari catatan dokumentasi pribadi yang dibuat Mien sejak tahun 1937, dia bisa menulis buku "Kenangan Masa Lampau I" dan "Kenangan Masa Lampau II" lengkap dengan foto-foto keluarga Soedarpo dari masa ke masa.

Sumber : Kompas, Sabtu, 21 April 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks