Jun 5, 2009

Karen Syarief Tambayong : Kegelisahan "Floribunda" Karen

Kegelisahan "Floribunda" Karen
Oleh : Banu Astono

"Secara konsisten dalam setiap kesempatan, kepada siapa saja, selalu saya ceritakan betapa besarnya potensi florikultura Indonesia. Bagi saya, upaya itu tak akan pernah berhenti sampai mereka bisa memahami dan menyadari bahwa florikultura adalah salah satu jalan untuk keluar dari jerat kemiskinan," kata Karen Syarief Tambayong.

Tak ada kata menyerah! Tak ada kata kalah dalam kamus hidupnya. Bagi perempuan kelahiran Surabaya 24 April ini, yang penting bagaimana komoditas bunga bisa dimanfaatkan sebagai upaya perbaikan lingkungan, dan peningkatan ekonomi petani.

"Banyak data yang membuktikan itu," ungkap ibu dari Nadine Zamira Sjarief dan Nathania Tifara Sjarief ini, di pusat budidaya bunganya di Floribunda, di Kampung Dawuan, Cibodas, Jawa Barat.

Belanda, Italia, dan Denmark, misalnya, mampu menjadi produsen florikultura (bunga potong, daun potong, dan tanaman hias) dunia. Biodiversity negara-negara di Eropa itu tak sehebat Indonesia, namun mereka bisa menjadi pemain pasar bunga dunia.

Indonesia yang memiliki mega-biodiversity sedemikian hebat justru tak mampu memanfaatkannya. Kontribusi Indonesia dalam bisnis bunga dunia sangat kecil dibandingkan dengan total perdagangan bunga dunia.

Asosiasi Bunga Indonesia (Asbindo) mencatat data dari berbagai sumber, termasuk Badan Pusat Statistik, perkembangan ekspor industri florikultura dunia pada 2006 mencapai sekitar 80 miliar dollar AS. Khusus untuk Eropa dan Amerika Serikat (AS), kontribusinya 9 miliar dollar AS, dengan tingkat pertumbuhan pasar 15-20 persen per tahun. Sedangkan nilai ekspor Indonesia yang tercatat tahun 2005 hanya 15 juta dollar AS. Realitas ini menyedihkan, katanya.

"Saya resah, karena kita tak mampu membaca aset ekonomi yang ada di perut bumi ini. Kita babat habis hutan alam. Padahal, di hutan itulah sumber kehidupan aneka ragam hayati dan ekosistem," ujar Karen.

Jika pemerintah dan petani mau memanfaatkan satu kali dari masa panen yang tak maksimal, untuk tanaman bunga krisan, misalnya, hasilnya bisa jauh lebih besar. Untuk satu hektar lahan yang ditanami bunga krisan dalam satu kali masa panen (empat bulan) dapat menghasilkan pendapatan bersih lebih dari Rp 100 juta, dan tak perlu mengalami ketergantungan pupuk kimia.

Bandingkan jika masa itu hanya digunakan untuk tanaman sayur atau padi, hasilnya berkisar Rp 6 juta-Rp 10 juta. Ini cuma contoh, masih banyak jenis tanaman lain yang sangat mudah dikembangkan di Indonesia, dan disukai pasar florikultura dunia.

Turun temurun

Karen Sjarief Tambayong bukan orang baru di dunia florikultura. Dia bergelut dalam industri budidaya bunga sejak masih kanak-kanak lewat dongeng sang nenek tentang tumbuh-tumbuhan. Dongeng itu berasal dari buku coklat yang belakangan diketahuinya sebagai karya L Bruggeman, De Indisch Tuinboek. Maka, nama-nama Latin bunga pun diketahuinya sejak masih anak-anak.

Karen muda disekolahkan ayahnya, R Tambayong, di jurusan Bouwkunde, Technische, Hogeschool, Delft, Belanda. Di sana, Karen bertemu Roestam Sjarief, yang kemudian menjadi suaminya. Ketika Karen kembali ke Tanah Air, ayahnya membeli sebidang tanah di Cibodas, dan menjadikan tempat itu sebagai lokasi pembibitan bunga-bunga semusim.

Saat itu sang ayah bisa dikatakan pionir. Bunga-bunga dari kebunnya dibeli pedagang dari Bandung dan Cibodas. Untuk mengembangkan bisnis itu, dia meminta Karen mendesain greenhouse yang tepat. Tahun 1990 Karen dilibatkan pada bagian pemasaran dan mendesain produk pemasaran baru, seperti membuat parsel.

Kesempatan itu tak lama digenggamnya. Karen harus mengikuti suami ke AS, yang mendapat beasiswa dari Bappenas. Di AS, Karen berjuang untuk mendapatkan tambahan uang dapur. Dia mengusahakan katering dan menjadi guru bahasa Indonesia bagi para dosen yang akan ke Indonesia. Upah yang diterimanya 15 dollar AS per jam. Karen juga sempat kuliah di Colorado State.

Memutuskan kembali

Namun, perjalanan hidup tak selamanya mulus. Cobaan datang ketika dokter menvonis anak keduanya, Nathania, terserang meningitis (radang selaput otak) yang bisa membuatnya tunarungu.

"Saya memutuskan kembali ke Indonesia dan mengajari bahasa Indonesia pada saat yang tepat. Saat ini Nathania sedang ujian akhir SMA. Dia dapat berbicara lancar seperti remaja lain, dan sangat percaya diri," tutur Karen.

Di Indonesia, Karen bekerja pada konsultan perminyakan. Setiap Sabtu dia manfaatkan untuk bekerja di kebun ayahnya di Cibodas. Tahun 1996 Karen memulai usaha sendiri. Namun, usaha pembibitannya hancur terkena badai angin.

Didukung 20 pekerja dari penduduk setempat, Karen membangun kembali nursery dari bambu dengan greenhouse yang berbeda dari sebelumnya. Dia menanam jenis tanaman bunga potong yang ditumbuhkan dari benih. Waktu itu umumnya nursery menanam bunga potong dari stek, yang didatangkan dari Belanda.

Pilihan itu diambil karena biayanya jauh lebih rendah dibanding menanam dari stek yang harus impor. Jenis bunga yang dipilih saat itu termasuk tak populer, yaitu snapdragon (Anthirrinum majus), yang kini menjadi maskot Floribunda.

Dia juga menjadikan kebunnya sebagai tempat wisata agro. Ini membuat penduduk sekitar kebun bisa turut terlibat. Pekerja yang direkrut langsung sekitar 20 orang untuk mengelola Floribunda. Sebagian besar lainnya secara tak langsung terlibat, seperti sebagai produsen media tanam dari sekam, akar kayu, dan membuat kemasan.

"Saya berharap pemerintah daerah membangunkan jalan setapak untuk mengoptimalkan wisata gunung dan agro di belakang kebun sayur di Desa Dawuan. Dengan begitu, pemuda-pemudinya dapat menjadi tenaga pemandu. Saya sudah menyiapkan lokasi untuk melatih mereka sebagai bagian dari Community Development Program desa ini," kata Karen.

Sumber : Kompas, Senin, 23 April 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks