Jun 25, 2009

Sikin, Kesetiaan Sang Penjaga Krakatau

Sikin, Kesetiaan Sang Penjaga Krakatau
Oleh : Anita Yossihara

Pria paruh baya itu duduk di bangku bambu di depan kantor Pos Pengamatan Gunung Api Anak Krakatau, Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Serang, hari Minggu pekan lalu. Kedua tangannya sibuk merajut tali jaring ikan yang putus di beberapa bagian. Sesekali, ia masuk ke dalam ruangan untuk melihat alat pencatat gempa atau seismograf.

Namanya Sikin. Putra asli Desa Pasauran yang lahir tahun 1954 itu setiap hari menunggui seismograf, tanpa berani beranjak lama dari pos pengamatan Gunung Anak Krakatau.

Seperti umumnya warga Pasauran, ia hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Namun, kemampuan dan keahlian yang dia miliki tidak kalah dengan para akademisi dan ilmuwan gunung berapi.

Sikin mampu membaca dan menganalisa goresan-goresan pada kertas seismograf. Setiap hari, ia juga membuat laporan mengenai kondisi Gunung Anak Krakatau yang masih tergolong aktif. Dari frekuensi gempa vulkanik maupun tektonik, kondisi cuaca, hingga kondisi fisik gunung berapi di Selat Sunda itu.

Ia selalu menjadi orang pertama yang tahu kondisi gunung berapi yang berjarak sekitar 48 kilometer dari tempatnya bekerja. Apakah dalam kondisi aman, waspada, siaga, atau rawan.

Perubahan sekecil apa pun tak luput dari pantauannya. Dalam sehari ia harus melaporkan kondisi Gunung Anak Krakatau dua hingga tiga kali ke kantor Vulkanologi yang berpusat di Bandung.

Selain itu, ia juga harus memenuhi permintaan pihak kepolisian untuk memberikan laporan kondisi Gunung Anak Krakatau. Demikian juga para pengelola wisata dan perhotelan di Provinsi Banten, khususnya di sekitar Kabupaten Pandeglang, Serang, dan Cilegon.

Tidak jarang, ia menjadi sasaran kemarahan para pengelola pariwisata di sepanjang Pantai Anyer, Carita, dan sekitarnya jika status Gunung Anak Krakatau dinyatakan waspada atau siaga. Pasalnya, berita tentang status itu dikhawatirkan akan menurunkan jumlah kunjungan wisatawan.

Waktu ada pendaki yang meninggal, saya juga dimarahi atasan saya. Banyak sekali pendaki yang tidak mampir ke sini (pos pengamatan Red). Padahal, seharusnya, sebelum naik ya tanya dulu keadaan gunungnya bagaimana, katanya.

Awalnya ikut-ikutan

Pekerjaan itu dijalani sejak Sikin berusia 27 tahun. Awalnya, ia hanya mengikuti petugas Vulkanologi memantau anak gunung yang pernah meletus tahun 1880 itu. Dengan honor Rp 500 sehari, ia bertugas membawakan kamera atau sekadar menjadi teman saat memantau kondisi anak Gunung Krakatau.

Awalnya ikut-ikutan saja. Diajak menemani para pengamat dari Bandung ya mau saja. Waktu itu cari pekerjaan sudah susah, katanya saat ditemui pekan lalu.

Kesetiannya terhadap Gunung Anak Krakatau teruji saat ia turut mendirikan pos pengamatan di Pasauran, tahun 1983. Ayah tiga anak ini pun memutuskan menjadi penjaga pos pemantauan dengan honor Rp 12.000 per bulan.

Dua tahun kemudian, suami dari Kusna itu diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) golongan IA. Sejak saat itu, Sikin selalu menghabiskan hari di pos pengamatan. Dia pun lebih sering bermalam di pos pengamatan daripada di rumah yang masih satu desa dengan kantor-nya.

Kalau Lebaran tetap saja jaga di sini (pos pengamatan Red). Pulang hanya untuk shalat Id, salam-salaman sebentar dengan keluarga, lalu balik lagi ke sini. Itu juga kalau pas ada petugas dari Bandung, jadi bisa gantian, tuturnya.

Tanggung jawab yang diembannya memang berat. Bukan hanya seonggok gunung, tetapi juga nyawa ribuan manusia yang harus ia jaga. Bayangkan jika Sikin terlambat membaca seismograf dan melaporkan kondisi Gunung Anak Krakatau. Bagaimana jika tiba-tiba meletus, atau minimal intensitas gempa meningkat, tanpa ada laporan dari Sikin sebelumnya.

Sayangnya, gaji yang ia terima tidak sebanding dengan tanggung jawab sebagai petugas pemantau. Setelah 20 tahun menjadi PNS, kariernya mentok hingga golongan IIA. Penghasilan yang ia terima sekitar Rp 1 juta per bulan.

Dengan itu ia harus menghidupi satu istri dan tiga anak. Satu-dua tahun lagi, Sikin pensiun. Ia bingung akan bekerja apa lagi setelah pensiun, karena apa pun yang terjadi, dapur harus tetap mengepul. Dia berharap pihak Vulkanologi masih membutuhkan tenaganya. Kalau boleh, dilanjutkan bekerja di sini. Kembali menjadi tenaga honorer juga tidak masalah, kata dia.

Lalu, sepasang mata tuanya menerawang ke luar jendela. Memandang gundukan tanah berkawah yang membelah selat di antara Pulau Jawa dan Sumatera. Memandang harapan atas kesetiaannya menjaga Gunung Anak Krakatau.

Sumber : Kompas, Sabtu, 27 Agustus 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks