Jun 25, 2009

Herman Ferdinand Marie Munninghoff : Mgr Munninghoff Menabur Nilai HAM di Papua

Mgr Munninghoff Menabur Nilai HAM di Papua
Oleh : Kornelis Kewa Ama

Sejak pengungkapan kasus pelanggaran hak asasi manusia di sekitar PT Freeport Indonesia tahun 1994 menjadi sorotan banyak pihak, keberanian seperti meluncur tak terbendung. Sejak itu, orang Papua mulai bicara tentang pelanggaran HAM di daerah mereka.

Tokoh utama di balik pengungkapan kasus itu adalah Uskup Jayapura Mgr Herman Ferdinand Marie Munninghoff OFM. Warga Indonesia kelahiran Belanda itu, setelah 51 tahun mengabdi, pekan lalu kembali ke Belanda.

Uskup Munninghoff memulai karier sebagai pastor di Arso, Jayapura, tahun 1954. Arso, daerah di perbatasan RI-PNG, terkenal dengan kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Daerah itu juga dijadikan basis pertahanan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Puluhan tahun ia berjalan kaki dari kampung ke kampung. Menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni tebing, dan menyusuri lembah membawa pesan kemanusiaan. Dia seakan tak peduli ketika malaria menyergapnya atau saat digigit lintah. Munninghoff seakan tak hirau dengan pekerjaan berat walau tenaga terbatas.

Perubahan pun terjadi. Masyarakat mulai memahami ajaran moral, etika bermasyarakat, dan mengalami kehidupan modern. Masyarakat tidak lagi saling bunuh, perang suku, tidak melakukan hubungan seks bebas, dan tidak merampas harta orang. Sampai hari ini tidak pernah terjadi kekerasan berlatar belakang agama atau suku. Penduduk asli sangat santun menerima sesama masyarakat beragama lain, seperti Muslim, Hindu, dan Buddha.

Secara bersamaan, terjadi kekerasan sebagai ekses operasi militer sejak tahun 1970-an untuk memberantas kelompok OPM. Operasi itu cenderung di luar prosedur hukum dan nilai-nilai kemanusiaan.

Sebagai kepala gereja di Keuskupan Jayapura, Munninghoff terus bergulat dengan situasi penuh kekerasan. Semasa Orde Baru, pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Setiap hari selalu ada laporan kekerasan, pembunuhan, teror, intimidasi, dan perusakan rumah penduduk di beberapa tempat.

Tahun 1994 Munninghoff angkat bicara. Ia mulai mengungkap kasus kekerasan militer di sekitar perusahaan PT Freeport Indonesia. Ia mengumpulkan data dari korban kekerasan militer di Timika, seperti dari ”Mama” Yosepha Alomang dan rekan-rekannya. Munninghoff merupakan orang pertama yang mendorong gereja di Papua agar melawan kekerasan itu dengan suara ”kenabian”. Begitu juga dalam kasus penyanderaan aktivis lingkungan di Taman Nasional Laurentz, 1996. Munninghoff tidak percaya kasus penyanderaan itu murni oleh OPM.

Tahun 1997 Munninghoff bersama Uskup Pembantu Mgr Leo Laba Ladjar OFM—kini menjadi uskup definitif—mendirikan lembaga advokasi kemanusiaan, yakni Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) di Keuskupan Jayapura.

Meski begitu, ia tidak pernah membenci TNI. Sebaliknya, dia sangat akrab dengan anggota dan pejabat TNI di Papua, seperti Panglima Kodam XVII/Trikora—saat itu—Mayjen TNI Amir Sembiring dan pejabat lainnya.

”Kami selalu berkomunikasi bila ada kejadian antara TNI dan OPM di lapangan, seperti kasus penculikan, pembunuhan, dan seterusnya. Ternyata, pimpinan TNI sangat menghormati hukum dan kebenaran. Mereka terus melakukan koordinasi dan kerja sama dengan semua pihak. Hanya kasus-kasus sering terjadi di lapangan karena kesalahan anak buah,” katanya.

Berkat dorongan Uskup Munninghoff, orang asli Papua pun mulai berani bicara mengenai tindak pelanggaran HAM dan kekerasan oleh oknum TNI/Polri. Mereka berani mengadukan sejumlah kasus kekerasan terhadap warga sipil ke lembaga HAM dan pengadilan umum.

Pemberdayaan warga asli

Semboyan ”menjadi tuan di negeri sendiri” dalam membangun masyarakat, yang dikumandangkan Pemerintah Provinsi Papua, sebetulnya telah lama disuarakan Munninghoff. Menurut dia, warga asli Papua harus diberdayakan menjadi pemilik tanah di tempat kelahiran sendiri.

Memang pendiri Sekolah Teologi Filsafat Katolik Fajar Timur Abepura, Jayapura, ini sejak tahun 1960-an khawatir akan nasib warga asli Papua. Ketika ribuan warga pendatang dengan modal besar menguasai Kota Jayapura dan membangun perekonomian yang kuat, penduduk asli mulai tergeser ke hutan dan tidak memiliki apa pun.

”Menanamkan nilai-nilai dasar untuk melindungi harkat dan martabat, hak-hak dasar, dan perlindungan terhadap hukum di kalangan orang Papua seperti itu tidak mudah. Butuh waktu dan proses panjang melalui berbagai kegiatan, termasuk pendidikan formal,” tutur Munninghoff.

Munninghoff juga mensponsori kerja sama antaratokoh agama se-Papua guna menciptakan suasana aman dan tertib di masyarakat yang melahirkan komunike bersama tentang ”Papua sebagai tanah damai”. Semestinya jejak-jejak warisan Munninghoff menjadi pengetahuan abadi di Papua meski dia telah kembali ke Belanda.

Sumber : Kompas, Senin, 29 Agustus 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks