Jun 25, 2009

Shirley Megawati : Shirley dan Empati Permainan Tradisional

Shirley dan Empati Permainan Tradisional
Oleh : Yenti Aprianti

Oray-orayan, luar-leor mapay sawah. Entong ka sawah, parena keur seudeung beukah. Oray-orayan, luar-leor mapay leuwi. Mending ka leuwi, di leuwi loba nu mandi.

Lagu dalam permainan anak-anak tradisional Oray-orayan (Ular-ularan) dinyanyikan anak-anak dengan riang. Jerit dan tawa gembira anak-anak terdengar saat sedang berbaris berpelukan membentuk ular yang panjang. Dua ular berkejaran untuk saling menangkap anak paling belakang yang bertindak sebagai ekor.

Kegembiraan anak-anak yang mengikuti Lomba Permainan Tradisional di Spirit Camp, Bandung, akhir Agustus lalu itu menghapuskan kisah sedih Shirley Megawati (38) untuk memperkenalkan permainan tradisional kepada murid-murid sekolah dasar di Kota Bandung.

Shirley berkali-kali ditolak oleh beberapa sekolah. Dari 60 SD yang ditargetkan mendapatkan informasi tentang permainan tradisional, hanya 24 yang bersedia menerimanya. Kalimat ah, ngerepotin aja atau kami sedang sibuk adalah sambutan yang sering didengar Shirley saat mendatangi puluhan sekolah untuk memperkenalkan kembali permainan tradisional kepada murid-murid sekolah.

Namun, penolakan tidak pernah membuatnya putus asa. ”Saya sudah sering mengalami penolakan dan kekalahan sejak kecil. Itu membuat saya kuat dan terus berusaha. Semua itu saya dapatkan karena terbiasa bermain dan bersosialisasi,” tutur Shirley.

Menurut beberapa penelitian yang pernah dibaca Shirley, permainan tradisional mengajarkan banyak nilai baik. Selain melatih anak untuk bersosialisasi atau mengenal orang-orang di lingkungannya, anak-anak juga belajar kerja sama sebagai tim, mendukung teman, mengetahui kelemahan diri, siap untuk kalah atau menang, gigih untuk mencapai target, mengenal dan memanfaatkan dengan baik benda-benda di sekelilingnya, kreatif, dan lainnya.

Untuk kesehatan, permainan anak melatih fisik anak sehingga anak lebih sehat, daya tangkapnya lebih tinggi, lebih gesit, dan selalu ceria.

Berbeda dengan anak-anak di zaman dulu, arus globalisasi sangat besar pengaruhnya terhadap pilihan permainan anak. Hampir seluruh anak yang tinggal di kota tidak mengenal permainan tradisional. Mereka memainkan permainan elektronik yang minim gerakan fisik.

Pada perkembangannya kini, permainan elektronik tidak mengajarkan menang dan kalah, tetapi candu. Anak-anak tidak pernah diajarkan merespons perasaan lawan mainnya sehingga tidak terbiasa berempati dan peduli.

Maraknya kasus anak bunuh diri juga membuat Shirley prihatin. Saya kira anak-anak itu sudah tidak kuat lagi menghadapi kekalahan atau tanggapan negatif dari lingkungannya. Saya ingin anak-anak yang akan menjadi generasi berikutnya bisa tangguh, salah satunya dengan mengajak mereka bermain bersama yang mengajarkan bagaimana menghadapi dan menyikapi masalah, ujar Shirley, ibu dua anak, Maria Alexander (8) dan Benedict Rafael (4).

Membuka lahan

Shirley dibesarkan di Jember, Jawa Timur, dari keluarga sederhana. Setiap hari di masa kecilnya ia selalu menghabiskan waktu bersama teman-temannya dengan memainkan sini tempal atau kucing sembunyi, benteng-bentengan (permainan mempertahankan benteng kelompok), dan masak-masakan.

Perempuan yang menyelesaikan pendidikan di Teknik Industri Universitas Bandung Raya ini pernah bekerja sebagai pegawai di sebuah toko. Kariernya merambat terus hingga menjadi manajer untuk barang-barang bermerek.

Saat krisis moneter melanda, perusahaan tempatnya bekerja tutup. Beberapa toko milik perusahaannya dijual. Shirley mengusulkan agar atasannya tidak menjual sebuah toko mainan anak. Namun, atasannya bersikukuh dan meminta agar Shirley membeli toko tersebut dengan cara mencicil sebagian.

Karena begitu sayangnya ia pada toko mainan anak tersebut, Shirley pun membelinya dengan uang tabungan suaminya, Alexander AP Iskandar (41). Tokonya yang berada di sebuah mal di Bandung memperbolehkan anak-anak bermain dan menggunakan permainan yang ada di tokonya secara gratis.

Sayangnya, toko itu terpaksa ditutup tahun lalu karena persaingan yang sudah tidak mampu diikuti oleh Shirley. Sebagai gantinya, ia merogoh kembali tabungan keluarga sekitar Rp 600 juta untuk membuka taman bermain yang luasnya 1,8 hektar di kawasan Cihideung, Bandung.

Ia membuka lahan yang mampu menampung 1.500 orang untuk bermain itu karena menyadari salah satu penyebab tidak dimainkan lagi permainan tradisional karena tidak ada lahan yang memadai untuk anak-anak.

Taman bermainnya diberi nama Spirit Camp. Ada delapan lapangan yang bisa digunakan anak-anak untuk memainkan permainan anak.

Sumber : Kompas, Sabtu, 10 September 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks