Jun 25, 2009

Edy Sulistyanto : Dunia Multidimensi Edy Amigo

Dunia Multidimensi Edy Amigo
Oleh : Agnes Rita Sulistyawaty

Saat teman seusianya tampil di atas panggung ketoprak tahun 1960-an, Edy Sulistyanto yang kala itu duduk di bangku sekolah dasar hanya menjadi penonton. Waktu saya melihat ketoprak, wayang orang, atau karawitan, rasanya ingin bergabung. Tapi tidak mungkin karena saya harus bekerja, tuturnya.

Anak keempat dari delapan bersaudara ini diserahi tanggung jawab untuk meneruskan bengkel sepeda sejak usia 11 tahun, ketika anak-anak seusianya masih bebas bermain atau berkegiatan.

Ayah yang menjadi tulang punggung keluarga menjadi salah satu korban kekerasan dalam peristiwa politik di tahun 1965. Akibatnya, saya dan kakak laki-laki saya harus menggantikan posisi ayah untuk mencari nafkah bagi keluarga, ujar Edy saat ditemui di kediamannya yang asri di Jalan Pemuda, Klaten, Jawa Tengah.

Kehidupan keluarga ini sejak tahun 1965 ditopang dari bengkel sepeda yang dijalankan Edy dan toko sepatu yang dikelola Sarwanto, kakak pertama Edy.

Pengagum tokoh Bisma dalam kisah Mahabarata itu harus terjun ke dunia bisnis untuk menghidupi keluarganya yang terdiri dari ibu dan delapan anak. Dari bengkel berukuran 3 x 1,5 meter persegi yang terletak di Kampung Gambarejo, atau Jalan Pemuda, Klaten, saat ini, roda kehidupan keluarga bisa terus berputar.

Pegang janji

Terjun langsung ke dunia bisnis sejak usia dini mengasah naluri bisnis Edy yang lulusan SMA Jurusan Ilmu Pasti itu. Tahun 1976, Edy membuka toko pakaian dan sepatu bernama Bimbo di Kecamatan Delanggu, Klaten. Tiga tahun kemudian, ia juga mendirikan Toko Granada di Delanggu.

Bengkel sepeda yang sudah dijalankan Edy sekitar 15 tahun akhirnya tutup tahun 1981. Tutupnya bengkel itu bukan karena bangkrut, tetapi karena Edy merencanakan beralih usaha dengan membuka toko busana dan sepatu bernama Amigo. Saat ini toko yang menjual pakaian sesuai dengan tren tiap zaman itu mempunyai lima outlet di Klaten, Pedan, Sukoharjo, Boyolali, dan Gunung Kidul.

Tahun 1987, Edy membuka satu toko busana dan sepatu lagi di Prambanan. Toko ini dinamai Dinasti, seperti judul sebuah film layar kaca yang populer pada era itu.

Awal mendirikan Toko Bimbo, saya hanya mempekerjakan dua orang saja. Sekarang sudah ada sekitar 350 pekerja di delapan toko saya, kata pria kelahiran Klaten, 26 Agustus 1954, ini.

Dari pengalaman, Edy berpendapat bahwa jenjang pendidikan seseorang tidak sepenuhnya memengaruhi kualitas pekerjaan. ”Yang lebih penting adalah attitude dalam bekerja dan semangat mereka untuk maju,” papar suami Retno Widiastuti itu. Satu hal yang juga dipegang Edy, janji yang sudah diucapkan kepada konsumen harus ditepati.

Komitmen memegang teguh sebuah janji disadari Edy sebagai sebuah bagian dari tingkah laku seseorang. Menyadari bahwa tingkah laku seseorang bisa dibentuk, Edy merogoh sakunya untuk membiayai pelatihan bagi seluruh karyawan.

Setidaknya sekali dalam setahun, setiap karyawan mendapat pelatihan. Pelatihan yang antara lain berisi pembentukan tanggung jawab, kepemimpinan, atau keberanian itu disesuaikan dengan lamanya waktu bekerja atau jabatannya di toko.

Edy, yang menjadi salah satu anggota Komisi SD Kristen 3 Klaten, juga menerapkan model pelatihan bagi guru-guru di sekolah yang sempat hampir bangkrut di awal tahun 1990-an itu.

Ia menyimpan keinginan agar pendidikan formal tidak hanya mengembangkan sisi kognitif siswa, tetapi juga tingkah laku siswa. Sebelum memberikan pendidikan kepada siswa, Edy hendak membantu pengembangan tingkah laku dan wawasan para guru.

Memberikan pemahaman tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK, misalnya, tidak cukup hanya dengan pelatihan dua-tiga hari saja. Guru harus memahami roh kurikulum ini dan menerapkan model perlakuan yang sesuai untuk transformasi pendidikan. Untuk itu, pelatihan tentang model KBK perlu diberikan secara intensif, papar Edy.

Untuk memfasilitasi perkembangan siswa, Edy juga ikut memfasilitasi beragamnya kegiatan ekstrakurikuler di SD tersebut, termasuk gamelan, tari tradisional, dan vokal grup. Selain pengembangan kepribadian siswa, kesenian tradisional yang ditawarkan lewat kegiatan ekstrakurikuler itu merupakan salah satu bentuk penyaluran keinginan Edy untuk melestarikan kesenian tradisional.

Masih dalam rangka pengembangan kesenian tradisional, Edy duduk di Komite Tradisional Dewan Kesenian Klaten. Dialah pencetus Festival Ketoprak Klaten yang diadakan bulan Mei sampai Juni 2005.

Di samping itu, ia ikut mensponsori berbagai peristiwa seni yang diadakan di Klaten. Sebagai gantinya, spanduk bertuliskan Amigo dipasang di sisi-sisi panggung seni.

Sumber : Kompas, Jumat, 9 September 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks