Jun 25, 2009

Lalu Lukman : Sang "Perpustakaan Berjalan"

Sang "Perpustakaan Berjalan"
Oleh : Khaerul Anwar

Masyarakat etnis Sasak, Lombok, secara sosial budaya kini dalam kurun peralihan. ”Kita ini, termasuk saya, cuma menonton saja, sambil coba memahami dinamika zaman yang cepat berubah,” kata Haji Lalu Lukman, penulis beberapa buku sejarah dan budaya Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Kurun peralihan yang dimaksud Lukman (85 tahun) alias Mamiq Djaja adalah berbagai adat tradisi lama, bahasa, aksara, dan budaya masyarakat Sasak yang terus digusur oleh peradaban yang lebih praktis. Misalnya, aksara Jejawan (turunan Hanacaraka–aksara Jawa-Bali) kurang diminati, bahkan umumnya tidak dikenal oleh kalangan generasi mudanya. Tahun 1940-1950 para sedahan (petugas pemungut pajak bumi dan bangunan di tingkat kecamatan dan desa) masih menggunakan aksara jejawan untuk keperluan administrasinya.

Nyaris sama nasibnya dengan penggunaan bahasa Sasak yang memiliki tiga tingkatan: aok-ape (ya-apa) atau bahasa jamak/biasa), tiang-enggih (saya-ya) atau bahasa halus, dan kaji-meran (saya-iya) atau bahasa raden (umumnya dipakai kalangan perwangsa/ningrat). Yang lebih banyak dipakai kini adalah bahasa jamak dan halus. Hanya saja dalam pemakaian bahasa halus terkesan rancu, seperti penggunaan kata mangan, bekelor, dan medaran (ketiganya berarti makan). Bekelor diutarakan kepada orang yang lebih tua atau yang dihormati.

Begitu pun budaya mendongeng dikatakannya kini sudah punah oleh berbagai cerita sinetron yang ditayangkan televisi. Upacara Nyongkol (keluarga pengantin putra bertandang ke rumah keluarga pengantin perempuan), sebagai bagian acara sorong serah ajikrama atau perkawinan adat Sasak, pun tidak berjalan seperti tata cara yang sebenarnya. Pesertanya kebanyakan anak muda, memakai blue jeans, sepatu, dan sarung, bukan busana adat.

”Saya sedih, terkadang tertawa melihat itu. Karenanya, saya mencoba untuk berbuat sesuatu, menulis apa yang saya ketahui. Apa yang saya lakukan itu paling tidak sebagai bukti sejarah yang dapat dibaca oleh generasi kemudian agar mereka tidak kehilangan jejak,” ucap Lukman.

Dia tahan duduk menulis dari pagi hari hingga larut malam, terkadang lupa makan. Bahkan buku Sejarah, Masyarakat, Budaya Lombok yang sebanyak 500 eksemplar tadi ditulis ketika sakit dan menjalani rawat inap di rumah sakit.

Beberapa karyanya yang sudah dicetak dan dalam proses penyelesaian adalah Sejarah, Masyarakat, Budaya Lombok (edisi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), Upacara Adat Sorong Serah, Lepas dari Mulut Buaya Masuk ke Mulut Singa, Reramputan Tembang Sasak, di samping kumpulan dongeng atau cerita rakyat Lombok. Pencetakan buku-buku dibiayai dari dana pribadinya itu bahannya dikumpulkan saat aktif sebagai pegawai negeri sipil.

Karena pemahamannya yang bagus tentang budaya Sasak Lombok, memiliki referensi lengkap berupa koleksi foto abad ke-18-19, sekaligus pelaku sejarah di zaman penjajahan Belanda dan Jepang, dan pernah memegang jabatan strategis, Mamiq Djaja kini menjadi tempat bertanya maupun narasumber kalangan pemerhati budaya dan peneliti dari dalam dan luar negeri. Tidak heran banyak kalangan menyebutnya sebagai ”perpustakaan hidup”.

Pelopor pariwisata

Lahir di Kampung Pedaleman, Desa Kopang, Lombok Tengah, 21 Februari 1920, suami Baiq Gita ini menamatkan sekolah desa di desanya (1927-1930). Dia melanjutkan ke HIS (Hoogere Inlands School) di Mataram tahun 1932-1939. Ayah 12 anak dan kakek 30 cucu itu meneruskan sekolah ke CIBA (Candidat Inlands Bestuur Ambtenar–Sekolah Calon Pamong Praja) di Makassar pada 1939-1940, namun tidak selesai karena terjadi pendudukan Jepang atas wilayah Indonesia. Bahkan, saat itu ia sempat jadi tawanan Jepang di Makassar.

Pulang ke Lombok, Lukman bekerja sebagai relawan pada Kantor Kepala Pemerintahan di Praya dan menjadi Grifir (Penitera) berstatus pegawai yang diperbantukan pada Kantor Pengadilan Sasak di Selong tahun 1942-1943, kemudian jadi Asisten Pamong Praja di Desa Gerung, Lombok Barat, tahun 1945 dan menjabat Asisten Distrik Gerung tahun 1946, dan beberapa tahun setelahnya menjabat Kepala Distrik Kopang, Kepala Distrik Narmada, Lombok Barat. Pada saat aktif itulah Lukman aktif merintis dan membangun lembaga pendidikan di tempat-tempat tugasnya, bahkan mengundang lulusan pendidikan guru dari Pulau Jawa untuk mengajar di sejumlah sekolah di Pulau Lombok.

Dia juga termasuk pelopor bidang pariwisata Lombok dan ikut berperan membangun Hotel Sasaka Beach yang sudah ”almarhum”. Sampai kini Lukman menjadi Penasihat Perhimpunan Hotel dan Restoran NTB, dan Persatuan Wredatama Republik Indonesia NTB, di samping Kerama (Lembaga) Adat Sasak Lombok.

Sumber : Kompas, Senin, 12 September 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks