Serena Patahkan Keraguan
Oleh : Yulia Sapthiani
Saat kembali ke lapangan tenis, seusai didera cedera lutut, banyak yang meragukan Serena Williams akan kembali berprestasi, termasuk mantan petenis putri Chris Evert. Saat tampil di Grand Slam Australia Terbuka 2007, hanya ada dua orang yang yakin petenis Amerika Serikat ini akan juara, yaitu sang ibu Oracene dan Serena sendiri.
Keyakinan itu pun diwujudkan dengan gelar juara yang diperoleh di Rod Laver Arena, Melbourne, Australia, Sabtu (27/1/2007). Hasil ini mengulang apa yang juga diraihnya pada tahun 2003 dan 2005.
Ucapan terima kasih kepada seluruh keluarga, terutama sang ibu, terucap dari mulut Serena seusai menerima piala. Petenis kelahiran Michigan, 26 September 1981, ini, secara khusus, juga mempersembahkan gelar itu untuk saudari tirinya, Yetunde Price, yang tewas ditembak empat tahun silam di Los Angeles.
Mendapat kritik dan keraguan dari banyak pihak karena dinilai tak serius kembali ke tenis, Serena baru berkomentar setelah dia mendapat tiket final Australia Terbuka untuk melawan unggulan pertama Maria Sharapova. Meski datang ke Melbourne sebagai petenis berperingkat ke-81 dunia, Serena begitu yakin bisa mengalahkan Sharapova.
"Jika saya tampil pada permainan terbaik saya, pemain lain akan sangat sulit mengalahkan saya," kata Serena kepada wartawan, sehari sebelum final.
Keyakinan itu akhirnya diperlihatkan Serena melalui permainan gemilang di lapangan. Sharapova, yang pernah menjuarai Wimbledon 2004 dan Amerika Serikat Terbuka 2006, terlihat seperti seseorang yang baru belajar bermain tenis.
Kekuatan servis, forehand, backhand, dan volley menjadi kunci kemenangan Serena saat mengalahkan Sharapova, dengan skor telak 6-1, 6-2. Dengan menempatkan bola sejauh mungkin saat servis, untuk membuka lapangan, berkali-kali Serena dengan mudah mendapat angka melalui volley. Dengan taktik ini, Sharapova yang memiliki postur lebih tinggi, yaitu 188 cm, dibandingkan dengan Serena yang 175 cm tak mampu menutup lapangan seperti yang biasanya piawai dia lakukan.
Melihat penampilannya dalam pertandingan selama satu jam tiga menit itu, tak tergambar kalau Serena baru saja didera cedera lutut. Cedera yang membuat Serena hanya tampil pada empat turnamen tahun lalu hingga peringkatnya anjlok ke urutan 140.
Dalam majalah Tennis edisi Oktober 2006, Serena bercerita betapa seriusnya dia untuk kembali ke lapangan tenis. Seiring mengelola butik dan mendesain baju yang diberi merek Aneres (kebalikan dari nama Serena), Serena berlatih untuk mengembalikan kebugaran fisiknya.
Dibantu terapi fisik Kerrie Brooks, yang telah melatihnya selama 6,5 tahun, Serena memulai latihan dengan berlari 10-15 menit. Setelah itu, latihan aerobik, anaerobik, ketahanan, kecepatan, dan menangkap bola menjadi program setiap harinya.
Tekad Serena untuk kembali ke jajaran petenis top dunia, seperti ketika dia menjadi petenis nomor satu dunia pada tahun 2002, diilhami oleh petenis lain yang juga pernah mengalami cedera cukup lama, di antaranya petenis Swiss, Martina Hingis.
Mendominasi tenis putri dunia di era 1997-1999, Hingis absen tiga tahun karena cedera lutut tahun 2003-2005. Kembalinya Hingis ke lapangan tenis dimulai awal tahun 2006 di arena Australia Terbuka, sebagai petenis yang tak punya peringkat dunia. Prestasinya melejit ketika Hingis mengakhiri tahun 2006 dengan menjadi petenis peringkat ketujuh dunia.
"Untuk itu, saya juga siap menghadapi tantangan seperti dia (Hingis). Saya siap untuk mendaki kembali, memperbaiki ranking saya," kata Serena, yang meraih gelar juara dari lapangan tenis sejak berusia 4,5 tahun.
Perbaiki kondisi ekonomi
Ambisi sang ayah, Richard Williams, menjadikan salah satu putrinya (Serena memiliki kakak kandung yang juga petenis, Venus Williams) sebagai petenis hebat didorong karena kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Prestasi pemain yang melakukan backhand dengan dua tangan ini makin terlihat saat Serena mengikuti 49 turnamen, dengan 46 gelar juara, sebelum usianya memapak 10 tahun.
Serena bahkan harus menunda impiannya bermain di arena tenis profesional karena usianya terlalu muda. Penyuka lagu-lagu Mariah Carey dan Brandy ini memasuki dunia tenis profesional tahun 1995 saat berusia 14 tahun. Namun, karena masih tergolong yunior, dia harus memulai karier profesionalnya dalam kejuaraan di luar turnamen resmi Asosiasi Tenis Putri Profesional (WTA).
Kiprahnya di tenis profesional barulah dimulai dua tahun kemudian. Penampilannya mengejutkan ketika Serena mengalahkan dua petenis di jajaran ranking 10 dunia, Monica Seles dan Mary Pierce.
Tahun 1998, untuk pertama kalinya Serena masuk daftar 20 petenis terbaik dan gelar pertama di ajang grand slam diraih saat menjuarai Amerika Serikat Terbuka 1999. Serena pun menjadi petenis putri Afrika-Amerika pertama yang memenangi grand slam di nomor tunggal putri, setelah Althea Gibson di ajang yang sama tahun 1958.
Prestasi terbaik Serena diperoleh tahun 2002 ketika dia menjuarai tiga dari empat grand slam—Wimbledon, Perancis, dan Amerika Serikat Terbuka.
Akan tetapi, cedera lutut pada tahun 2004 membuat Serena harus mengurangi kegiatannya. Ditambah cedera engkel, kondisinya tak juga pulih pada dua tahun berikutnya. Bahkan, saat benar-benar siap berkompetisi, pada turnamen Hobart International 2007, Serena hanya bertahan hingga perempat final.
Penampilan inilah yang menjadi pertanyaan banyak pihak, apakah Serena benar-benar serius kembali ke dunia tenis? Sabtu (27/1) di tengah cerahnya cuaca di Melbourne, Serena menjawabnya. Dengan gelar juara itu, Serena mulai menapaki kembali jajaran petenis top dunia menempati ranking ke-14.
Sumber : Kompas, Senin, 29 Januari 2007
Jun 8, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment