Pengembaraan Oele Pattiselanno
Oleh : Frans Sartono
Empat puluh tahun hidup sebagai gitaris jazz dan baru kali ini mempunyai album atas namanya sendiri. Itulah Oele Pattiselanno (60) yang pada 18 Januari 2007 merilis album Oele Pattiselanno Plays Standards.
Album terbitan Musikita Records itu menjadi maklumat bahwa khazanah jazz negeri ini mempunyai seorang gitaris jazz dengan rasa swing tulen. Dengan atmosfer yang sangat nyaman, relaks, dan membuai, pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 22 April 1946, ini memainkan komposisi jazz standar seperti My One and Only Love, My Romance, atau juga Yesterdays. Oele bermain bersama musisi jazz Belanda Peter Ypma pada drum, Ab Schaap (saksofon tenor), Marius Beets (bas akustik), dan Erick van De Lutj (piano).
Kuartet jazz itu kebetulan sedang berada di Jakarta untuk bermain di Erasmus Huis. Dwiki Darmawan sebagai produser mengajak mereka untuk rekaman bersama Oele. Mereka bersedia meski hanya mempunyai waktu tiga jam untuk proses merekam tujuh komposisi bersama Oele.
"Saya tertantang. Saya akal-akalin dengan aransemen yang tidak ruwet. Akhirnya selesai tiga jam. Itu termasuk 30 menit istirahat makan," cerita Oele. Waktu tiga jam itu hanyalah masalah teknis produksi. Di studio rekaman, Oele tinggal mengeluarkan sepotong pengalaman dari empat puluh tahun berpenghidupan sebagai gitaris jazz.
"Gitar menjadi bagian dari hidup saya. Jadi waktu rekaman, saya main apa adanya, nyaman-nyaman saja dan tanpa beban," kata Oele.
Pengembara
Julius Sjoerd Pattiselanno alias Oele lahir dari keluarga penyuka musik. Piet Pattiselanno, ayah Oele, yang pernah menjadi pejabat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, adalah pemain pada kelompok musik Hawaiian.
Di rumah, sang ayah sering memutar piringan hitam jazz seperti Stan Kenton, Oscar Peterson, sampai gitaris Joe Pass dan Kenny Burrell. Lima anak keluarga Pattiselanno akrab dengan jazz sejak dini. Adik-adik Oele, yaitu Jacky dan almarhum Perry Pattiselanno (yang meninggal terkena ledakan bom di Jordania pada November 2005), adalah seniman jazz.
Oele belajar gitar secara otodidak. Ia bermain band sejak remaja. Ia mulai mencari duit dengan bermain gitar sejak tahun 1966. Pada awal 1960-an, lulusan SMA Petra, Surabaya, itu membentuk band yang memainkan lagu Beatles di acara pesta. Tahun 1968 Oele mengadu nasib ke Bandung dengan bermain jazz di Hotel Savoy Homman.
"Sejak itu saya yakin bisa hidup dengan gitar meski saya harus fight, berjuang," kata Oele.
Tahun 1970, Oele hijrah ke Jakarta. Ia ikut membentuk kelompok Jazz Riders bersama Didi Chia dan Sutrisno. Sejak itu dalam rentang 40-an tahun Oele seperti pengembara bergitar yang hidup dari satu kelompok musik ke kumpulan lain. Intinya adalah untuk menunjang dan menikmati hidup.
Ia juga menjadi pemain lepas dalam berbagai hajatan jazz, termasuk pada acara Jazz on Sunday bersama tokoh jazz Jack Lesmana. Oele juga mendukung sesi rekaman, antara lain beberapa rekaman yang dibuat Jack Lesmana pada era 1970-an hingga Indra Lesmana pada era 2000-an.
Dengan gitar dan beragam kelompok, Oele bermain di Hotel Indonesia, Borobudur, Mandarin, sampai klab seperti Jamz. Pernah pula ia bermain di kafe Lamoda, di kompleks Plaza Indonesia. Dalam urusan menyambung hidup, Oele yang berumah tangga pada tahun 1974 itu sempat bermain musik apa saja.
"Saya pernah main musik untuk mengiringi orang berdansa. Boleh dibilang waktu itu saya hanya 40 persen main jazz dan 60 persen musik lain, he-he-he...," kenang Oele yang kini bapak empat anak dan kakek empat cucu.
Untuk menambah penghasilan, ia pernah mencoba bekerja di biro iklan, tetapi cuma tahan empat bulan. Jalan hidupnya memang di jalur gitar. Di luar urusan bermain jazz, Oele dalam sepuluh tahun terakhir ini mengajar tetap di Farabi, sekolah musik yang dikelola Dwiki Darmawan, selain juga mengajar secara privat. Di antara muridnya terdapat nama Nikita Dompas dan Robert yang telah meramaikan khazanah jazz Indonesia sampai pengusaha Soegeng Sarjadi yang telah punya album jazz.
"Swing"
Pengembaraan 40 tahun Oele membekaskan apa yang dikenal sebagai swing feeling, rasa swing, efek nyaman dan membuai yang merupakan "roh" jazz. Pada setiap petikan gitar Oele, rasa swing keluar seperti napas.
"Rasa swing itu muncul dari bawah sadar karena kita banyak mendengar dan menghayati jazz. Ini seperti anak yang belajar bicara dari banyak mendengar," katanya.
Rasa swing, kata Oele, bisa diajarkan secara teknis, tetapi eksekusinya akan ditentukan oleh rasa, naluri, dan intuisi pemain.
"Ini seperti buku resep. Orang bisa memasak sesuai petunjuk, tetapi rasa belum tentu enak," kata Oele yang oleh Indra Lesmana dijuluki sebagai gitaris jazz paling nge-swing di negeri ini.
Ketika membuat musik film Rumah ke Tujuh, Indra memerlukan kehadiran Oele untuk menuntun musisi muda dalam big band Indra. Kalau tidak diberi rasa swing dari Oele, kata Indra, seksi tiup logam (horn section) bisa lari ke mana-mana alias tidak nge-swing.
Kini rasa swing Oele telah terdokumentasikan dalam album. Itu hanya bagian dari pengembaraan seniman jazz yang tak kenal pensiun.
Sumber : Kompas, Sabtu, 27 Januari 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment