Jun 25, 2009

Sarbini Sumawinata : Revolusi Prof Sarbini Sumawinata

Revolusi Prof Sarbini Sumawinata
Oleh : Elly Roosita

Seperti pengakuannya, dia bukan budayawan, tetapi di refleksi 87 tahun usianya, Profesor Sarbini Sumawinata menyerukan revolusi kebudayaan. Merombak pemahaman terhadap ideologi, agama, dan sikap hidup, jika negeri ini ingin maju.

Bukan tanpa alasan jika guru besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia meneriakkan ajakan itu. ”Budaya kita terpuruk. Ini yang membuat kemerosotan sebagai bangsa. Lakukan revolusi kebudayaan, tinggalkan yang usang,” katanya di ruang kerjanya di kantor buletin Business News di Jl Abdul Muis, Jakarta.

Dalam ideologi, turun-temurun muncul sikap antikapitalisme tanpa merenungkan benar tidaknya sikap itu sekarang. Dunia tidak lagi seperti tahun 1848, saat Karl Marx menulis kerangka pemikiran dan analisis untuk menilai kapitalisme. Pergolakan besar terjadi. Revolusi industri, listrik, transportasi, dan komunikasi mengubah dunia dan kemanusiaan. Marx tidak mengalaminya. Teorinya bahwa dunia kelak dihuni orang-orang miskin (proletar) yang tidak memiliki kekuatan apa pun kecuali badannya, oleh karenanya berontak, menghancurleburkan masyarakat kapitalis, tidak terbukti. Kapitalisme tidak runtuh, seperti prediksi Marx.

”Bukan kapitalisme berubah menjadi baik. Dunia yang berubah. Kapitalisme tidak mampu lagi melakukan eksploitasi karena monopoli tidak mungkin lagi, kompetisi begitu hebat,” ujar Sarbini yang pada Senin (22/8/2005) memperingati 87 tahun usianya dengan orasi ”Revolusi Kebudayaan untuk Pembangunan” di Jakarta. Sarbini lahir di Madiun, 20 Agustus 1918.

Sayangnya, elite politik tidak paham. Sikap antikapitalisme yang wujudnya anti-AS, anti-Barat, anti-orang kaya masih menjadi ”jualan” elite politik. ”Perjuangan ideologinya masih pemikiran orang miskin,” kata Sarbini yang awal bergulir reformasi (1998), dalam tulisannya Perjoangan Kerakyatan mengingatkan, menggulingkan Soeharto tanpa ”mengubur” rezim dan sistem yang dibangun Orde Baru tidak membawa perubahan ke arah kemajuan bangsa. Reformasi saja tidak cukup, harus revolusi.

Pandangan dalam beragama pun sama. Seolah ada musuh yang harus dihadapi bersama, diidentikkan dengan Barat, AS dan Yahudi. Selain sikap permisif terhadap pelanggaran, penyelewengan, dan ketidakdisiplinan bangsa sendiri. Membuat Amerika dan Barat enggan meneruskan investasinya ke Indonesia, ujar Sarbini yang turut mendirikan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan menjadi ketuanya (1958).

Bersikap rasional

Apakah Sarbini yang sosialis berubah jadi kapitalis? Bekerja sama tidak perlu setuju atau jadi antek kapitalisme. Kita harus rasional. Ekonomi Indonesia tetap sosialis, bukan kapitalis. Tetapi perlu mereka untuk bangkit. Mereka yang punya teknologi, modal, dan peranti untuk maju. China yang komunis saja mau kerja sama dan luwes terhadap kapitalisme, tegas putra Soelaiman Soemawinata, pekerja Kantor Pekerjaan Umum di Madiun.

Sebagai ekonom, dia tidak setenar Soemitro Djojohadikusumo atau Widjojo Nitisastro yang pernah jadi menteri. Sarbini memilih di luar. Padahal, dia yang pertama menyampaikan konsep pembangunan ekonomi kepada Soeharto sebagai Panglima Kostrad pada Oktober 1965. Ingatan publik terhadap Sarbini adalah ketika dipenjarakan Orde Baru karena dianggap terlibat peristiwa Malari (1974).

Belajar di Technische Hogeschool, lalu Sekolah Teknik Tinggi di Universitas Gadjah Mada, sambil bekerja di Bagian Perencanaan Kementerian Kemakmuran Yogyakarta. Menjadi staf KBRI di Belanda dia belajar di Centraal Plan Bureau. Pindah ke Washington, Sarbini belajar di Bank Dunia, IMF, Kementerian Pertanian AS, American University, dan program master di Departemen Ekonomi Universitas Harvard. Belajar statistik di Badan Pusat Statistik Kanada, sebelum menjadi Kepala BPS.

Meski ekonom, Sarbini sangat tahu politik. Dia yang pertama mengingatkan bahaya militerisme, pentingnya kerja sama sederajat sipil-militer, dan kebebasan pers, dalam Seminar Angkatan Darat II (1966). Sarbini menjadi Ketua Tim Politik, meski kemudian mantan Presiden Soeharto membubarkannya. Seminggu kemudian dia ditawari posisi Dubes RI di Washington. Dia menolak dan malah mengusulkan Soedjatmoko. Sarbini memilih di luar.

Aktivis muda silih berganti datang dan pergi menyerap kekayaan pengetahuan dan pengalamannya. Tanpa lelah, Sarbini mendorong perubahan menuju ke arah yang lebih baik bagi negeri ini. Kita bisa jadi bangsa maju. Asal, pemimpin dan intelektualnya tidak mengingkari akal sehatnya, hanya untuk populer. Tinggalkan pandangan, falsafah, dan sikap usang, yang menghambat daya kreatif. Buat keputusan yang betul, meski tidak populer, pesannya.

Sumber : Kompas, Senin, 24 Agustus 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks