Menyulap Alang-alang Jadi Kebun Kakao
Oleh : R Adhi Kusumaputra
Lebih dari 20 tahun silam, Sahabudin, nelayan Bugis asal Bone, Sulawesi Selatan, melihat perkampungan nelayan Desa Tanjungjaya, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Banten, ditumbuhi banyak alang-alang. Dia berpikir, mengapa hanya alang-alang? Mengapa tak disulap saja jadi kebun kakao yang dapat menghasilkan uang?
Nelayan Bugis yang menikah dengan perempuan Pandeglang itu mengacu pengalamannya saat melaut hingga ke Tawao, Malaysia. Waktu itu ia melihat tanaman kakao memberi pendapatan relatif baik di negeri jiran itu. Ia pun sudah mencoba menanam kakao di kampung kelahirannya di Bone, dan ternyata usaha kakao sukses.
Mengapa tidak mencoba menanam kakao di Panimbang? Mengapa tidak mengajak nelayan dan masyarakat setempat mencoba menanam kakao?
"Kami tidak dapat berharap terlalu banyak dari hidup melaut sebagai nelayan. Harus ada aktivitas lain yang dapat menghasilkan uang," ungkap Sahabudin dalam percakapan dengan Kompas di rumahnya di pesisir Banten, akhir Oktober lalu.
Pada musim angin timur, nelayan memperoleh banyak ikan dan itu artinya cukup banyak uang. Tetapi, pada masa panen itu, nelayan cenderung berfoya-foya. Sebaliknya, saat musim angin barat, nelayan sulit menangkap ikan, banyak yang menganggur hingga enam bulan. "Sampai piring-piring pun terpaksa dijual atau digadaikan," katanya.
Sahabudin kemudian mengajak masyarakat nelayan dan petani setempat untuk memanfaatkan tanah negara yang tidak produktif seluas 80 hektar dengan menanam kakao. Pada tahun 1986, usaha komoditas kakao dimulai di Desa Tanjungjaya, yang pada saat itu termasuk inpres desa tertinggal (IDT).
"Awalnya saya mengajak 30 warga untuk menanam kakao. Semula memang coba-coba. Tetapi, saya tahu bahwa tanaman cokelat tetap hidup meski ditanam di tanah yang jelek sekalipun," tuturnya.
Pada awalnya, memang banyak orang memandang sebelah mata usaha penanaman kakao itu. Pejabat pemerintah lokal pun tak pernah menghampirinya.
Angkat ekonomi rakyat
Tahun demi tahun berjalan, Sahabudin mulai "memetik" hasilnya. Kakao yang ditanam di lahan seluas 80 hektar itu mulai memberikan hasil. Masyarakat yang tadinya memandang sebelah mata mulai tertarik menanam. Kini, makin banyak warga yang menanam kakao. Luas arealnya mencapai 500 hektar. Sahabudin yang sebelumnya tidak dikenal kecuali oleh komunitas nelayan di kampungnya kini mulai dikenal banyak orang di Pandeglang dan Banten.
Berkat kakao, Sahabudin terbukti mampu mengangkat ekonomi rakyat desanya. Suami dari Ny Suhaeriah (40) dan ayah dari empat anak ini tidak hanya membuat keluarganya sejahtera, tetapi juga mengangkat sedikitnya 300 keluarga Desa Tanjungjaya dari kemiskinan struktural.
Betapa tidak. Dengan kakao, masyarakat desa kini bisa mendapat penghasilan signifikan mengingat harga kakao di pasaran internasional cenderung stabil, antara Rp 8.000 dan Rp 11.000 per kilogram.
Dari luas satu hektar tanaman kakao berusia 20 tahun, misalnya, petani kakao memperoleh sekitar dua ton setiap tahun. Dari 80 hektar tanaman kakao, dapat dihasilkan sekitar 160 ton per tahun, atau setara dengan Rp 1,6 miliar dengan asumsi harga kakao Rp 10.000 per kilogram.
Jika 80 hektar lahan kakao itu dimiliki 30 petani, itu berarti satu petani memperoleh rata-rata penghasilan Rp 53,3 juta per tahun, atau minimal sekitar Rp 4,4 juta per bulan.
Untuk ukuran desa di pesisir Banten, penghasilan sebesar itu sudah dianggap besar. Dari desa yang termasuk IDT, yang kebanyakan rumah hanya berlantaikan tanah dan berdinding bilik bambu, kini Desa Tanjungjaya menjadi buah bibir di Kabupaten Pandeglang. Kakao menjadi komoditas pertanian unggulan di wilayah ini.
Sahabudin, misalnya, kini memiliki dua rumah permanen dari dinding tembok. Dari lahan kakao seluas lima hektar miliknya, dia mengaku memperoleh penghasilan sedikitnya Rp 5 juta sampai Rp 10 juta per bulan. Sahabudin juga menjadi penampung kakao petani di desa itu, yang kemudian menjualnya ke pedagang di Rangkasbitung, Lebak, dan pedagang di Tangerang.
Kakao ternyata telah menjadi berkah bagi masyarakat Desa Tanjungjaya. Warga yang sebelumnya menganggur kini memiliki penghasilan tetap dari kakao. Keluarga nelayan yang sebelumnya hanya mengandalkan pendapatan dari melaut kini memperoleh penghasilan lumayan.
Sahabudin tidak hanya menyejahterakan keluarga, tetapi juga secara nyata mengangkat ekonomi masyarakat sekitar.
Atas usaha dan kerja kerasnya, pada Hari Lingkungan Hidup tahun 2004, Sahabudin, selaku Ketua Kelompok Tani Bahari, memperoleh penghargaan sebagai Perintis Lingkungan dari Pemerintah Kabupaten Pandeglang.
Sahabudin, yang sehari-hari biasa melaut dan berkebun kakao, diundang ke Istana Presiden pada 9 Desember 2005 untuk menerima penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas upayanya mengembangkan ketahanan pangan melalui agrobisnis pangan.
Sumber : Kompas, Selasa, 21 November 2006
Jun 10, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment