Ocky, "Jembatan" Laut dan Darat
Oleh : Subur Tjahjono
Tidak banyak orang Indonesia yang menekuni mikrobiologi laut. Salah satu dari yang jarang itu adalah Dr Ocky Karna Radjasa (41), ahli mikrobiologi laut dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
Berkat ketekunannya meneliti zat bioaktif yang dihasilkan mikroba yang berasosiasi dengan terumbu karang, Ocky memperoleh Kehati Award V tahun 2006 untuk kategori Cipta Lestari Kehati pada 16 November lalu.
Salah satu kriteria kategori Cipta Lestari Kehati itu adalah kegiatan berupa penemuan atau hasil-hasil studi dan penelitian di tingkat laboratorium atau lapangan. Kegiatan itu antara lain berupa pengembangan metode dan atau sistem yang dapat diaplikasikan, baik untuk penyelamatan keanekaragaman hayati maupun pencegahan dan pengurangan ancaman terhadap kelestariannya.
Oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Ocky dianggap memenuhi kriteria itu. Sejak tahun 2002 hingga sekarang, Ocky melakukan penelitian tentang "Pendekatan Eko-bioteknologis dalam Pengembangan Potensi Mikroba yang Berasosiasi dengan Invertebrata Terumbu Karang sebagai Sumber Senyawa Bioaktif yang Berkelanjutan".
Menurut Ocky, invertebrata atau hewan laut tak bertulang belakang itu merupakan sumber utama berbagai keperluan, termasuk industri dan farmasi. Namun, kalau terus-menerus dimanfaatkan, keberlanjutan terumbu karang ini akan terancam. Ia menawarkan alternatif manajemen kelautan menggunakan aspek eko-bioteknologis yang selama ini diabaikan. "Mikroba pun bisa menjadi alternatif bagian dari manajemen kelautan," ujar Ocky.
Ketua Pusat Studi Kelautan dan Pesisir Tropis Undip itu menggabungkan ekologi dan bioteknologi yang berbasis biologi molekuler untuk meneliti potensi mikroba. Dari hasil penelitiannya, Ocky berkesimpulan bioprospecting atau upaya mengoleksi dan mengembangkan potensi mikroba yang berasosiasi dengan terumbu karang itu bermanfaat untuk pengembangan obat-obatan di masa depan. Terlebih saat ini 70 persen antibiotika berasal Actinomycetes daratan, tetapi yang dari laut belum digali.
"Dari terumbu karang itu kita bisa belajar bagaimana mempertahankan diri," ujar Ocky, dalam perbincangannya dengan Kompas, Sabtu (18/11/2006) malam di rumahnya di Perumahan Kekancan Mukti, Semarang Timur. Layaknya seminar ilmiah, Ocky memaparkan penelitiannya itu secara panjang lebar melalui laptopnya.
Area pengambilan sampel penelitiannya tersebar di perairan seputar Kepulauan Karimunjawa (Jawa Tengah) hingga ke Ujung Kulon (Jawa Barat), Bali, Bunaken (Sulawesi Utara), Flores, Pulau Komodo (Nusa Tenggara Timur), dan Raja Ampat (Papua).
Terumbu karang adalah invertebrata yang selalu diam di tempatnya dan tidak punya pertahanan fisik. Padahal, di air laut itu terdapat berbagai macam organisme. Tiap mililiter air laut itu mengandung 10 juta virus, 1 juta bakteri, 1.000 jamur, dan 1.000 mikro-alga.
Senyawa bioaktif di laut sebagian besar dihasilkan Porifera dan Cnidaria. Kedua phyla ini, terutama Porifera, diketahui juga menghasilkan senyawa antikanker. Salah satu antikanker jenis ET 743, misalnya, dihasilkan oleh Ecteinascidia turbinata. Namun, untuk mendapatkan 1 gram ET 743 dibutuhkan 1 ton terumbu karang untuk diekstrak. Demikian pula antikanker halicondrin yang dihasilkan Lissodendroryx membutuhkan 1 ton terumbu karang untuk mendapatkan 0,3 gram halicondrin.
Salah satu antikanker bryostatin A dihasilkan mikroba yang berasosiasi dengan Bugula neritina. Apabila diberi antibiotik, Bugula neritina itu tidak menghasilkan bryostatin A. Namun, persoalannya mikroba yang bisa dibiakkan dalam media kultur di laboratorium hanya 1 persen, sebanyak 99 persen tidak bisa dikultur. Ia memberi contoh Theonella swinhoei yang ada di Indonesia, 40 persen massa tubuhnya adalah bakteri. Namun, 200 spesies bakteri tersebut tidak bisa dibiakkan dalam media kultur. Padahal, bakteri-bakteri ini berpotensi menghasilkan senyawa bioaktif.
"Ini yang menyebabkan saya akhirnya memutuskan menekuni mikrobiologi laut," ujar Ocky.
Dari hasil penelitian Ocky, karang keras sekalipun, seperti jenis Akropora di Teluk Awur, Jepara, ternyata memiliki mikroba Pseudoalteromonas luteoviolace. Mikroba itu dapat menghambat laju pertumbuhan bakteri Escherichia coli yang menyebabkan diare pada manusia. Selain itu dapat menghambat Staphyllococcus aureus yang menyebabkan penyakit infeksi pada manusia dan Vibrio sp yang menyebabkan penyakit vibriosis pada udang.
Akan tetapi, yang paling penting dari metodenya adalah dampaknya yang minimal terhadap sumber daya terumbu karang untuk obat-obatan. "Orang mengambil 1 ton terumbu karang, saya hanya butuh 5 gram untuk isolasi," katanya.
Selain antibakteri, zat bioaktif mikroba yang berasosiasi dengan terumbu karang ini juga antitumor dan menghasilkan enzim amilase. Selain itu, mikroba tersebut sangat berwarna. Dengan hasil penelitian ini, Ocky mengajak rekan-rekan peneliti lainnya di "daratan" untuk mengembangkan temuannya di laut. "Saya sudah berhasil mengonfirmasi potensi mikroba ini. Mari kita keroyok bersama-sama," ujarnya.
Untuk mengembangkannya, Ocky, misalnya, sudah bekerja sama dengan ahli pigmen dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Dr Leenawaty Limantara, untuk meneliti pigmen. Untuk meneliti enzim tersebut, Ocky bekerja sama dengan ahli farmasi dari Institut Teknologi Bandung, Dr Dessy Natalia. Belum lagi kerja sama dan bantuan pendanaan dengan berbagai lembaga di luar negeri, seperti Italia, Kanada, Jerman, dan Swedia.
Setamat dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto tahun 1989, suami Endang Sudaryati (41) itu melanjutkan pendidikan S2 di Departemen Biologi Universitas McMaster Hamilton, Kanada, tahun 1994. Pendidikan S3 ditempuhnya di Departemen Aquatic Biosciences Universitas Tokyo tahun 2001.
"Saya selalu bilang sama anak saya, Papa itu bukan orang yang pintar. Saya percaya, untuk mencapai puncak kesuksesan harus mendakinya, bukan melompatinya," ujar ayah dua putri, Septhy Kusuma Radjasa (14) dan Muthia Radjasa (11), itu.
Ke depan, Ocky masih menyimpan obsesi untuk mengembangkan mikrobiologi laut ini agar diketahui masyarakat luas di Indonesia. "Misi saya adalah menjembatani laut dan darat. Banyak fenomena di laut yang orang darat belum tahu," ujar Ocky yang sebetulnya adalah orang lereng Gunung Slamet, lahir di Purwokerto, 29 Oktober 1965.
Sumber : Kompas, Rabu, 22 November 2006
Jun 10, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment