Rury Nostalgia, Penerus Garis Darah Penari Tradisi
Oleh : Dahono Fitrianto
Salah satu penampil yang ditunggu-tunggu penampilannya dalam ajang Indonesia Performing Arts Mart 2005 di Hotel Nusa Dua Beach, Bali, 6-10 Juni 2005, adalah penari Rury Nostalgia. Orang yang belum pernah menyaksikan penampilannya penasaran seperti apa pentas tari Kumala Bumi hasil karyanya, yang ditampilkan di hadapan delegasi Republik Rakyat China di Istana Negara saat Konferensi Asia Afrika, April 2005 lalu.
Kumala Bumi menceritakan sepenggal dongeng legenda Ménak Jayengrana yang bercerita tentang pertarungan dua putri, yakni Putri Kelaswara dari Kerajaan Kelan dan Putri Adininggar dari negeri China, untuk memperebutkan cinta Jayengrana dari Kerajaan Puser Bumi. Tarian itu dibawakan sembilan perempuan dalam formasi bedaya, dan meski hanya tampil sekitar 15 menit, malam itu menjadi salah satu bintang yang mendapat sambutan paling meriah di Indonesia Performing Arts Mart (IPAM) 2005.
Tarian Kumala Bumi adalah hasil koreografi keempat Rury setelah sebelumnya ia menyusun koreografi tarian Bedah Madiun (2000), Kelaswara Tanding (2002), dan Roro Mendut (2003). Namun, dalam tiga koreografi terdahulu itu, Rury masih berada di bawah nama Padneswara, sanggar tari milik ibundanya, Retno Maruti. "Dalam Kumala Bumi, saya pertama kali tampil dengan label Rury Nostalgia," ungkap Rury.
Selain makin menunjukkan keseriusannya untuk terus berkarya dalam dunia tari tradisional Jawa, tarian tersebut juga menunjukkan usaha Rury lepas dari bayang-bayang orangtuanya dan Padneswara, sebuah nama yang sudah prestisius di dunia seni pertunjukan Indonesia. "Padneswara sudah identik dengan mama. Dan saya merasa terlalu berat untuk menyandang nama papa-mama dalam karya saya," demikian pernyataan Rury.
Ayahnya, Sentot Sugiharto (60), adalah seorang penari dan koreografer profesional yang mengawali kariernya dengan bermain wayang orang di Perkumpulan Wayang Orang (WO) Sriwedari, Solo. Begitu juga ibunya, Retno Maruti (58), adalah maestro tari tradisional Jawa yang juga menguasai tembang, wayang, dan karawitan. Pendiri sanggar Padneswara ini adalah sebuah nama penting dalam dunia tari Indonesia.
Kakek Rury dari pihak ayah, Thohiran, adalah pemimpin WO Sriwedari pada zamannya. Demikian pula kakek dari pihak ibu, Susiloatmadja, adalah seorang dalang wayang kulit, pembuat wayang, dan seniman tari. "Bude dan om saya dari pihak mama juga penari di Sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Adik papa juga seorang penari," tuturnya.
Udara seni pun sudah ia hirup sejak dilahirkan di Solo, 27 Januari, tiga puluh empat tahun lalu. Usia tiga bulan Rury kecil bahkan sudah ditinggal orangtuanya pentas menari di Perancis. Belum genap setahun umurnya, ia sudah diajak ayahnya dalam sebuah proses pertunjukan tari Dongeng dari Dirah bersama penari Sardono W Kusumo di Tabanan, Bali.
Sebagai anak tunggal, perhatian yang dicurahkan kepada Rury oleh orangtuanya menjadi sangat besar. Termasuk di dalamnya adalah ilmu menari dan berbagai ilmu berkesenian lainnya. "Saat umur saya baru sekitar empat tahun, papa-mama sudah mulai secara khusus mengajari saya menari," kata Rury mengenang.
Tanpa paksaan dan rekayasa apa pun, atmosfer tersebut secara alami membuat Rury jatuh cinta kepada dunia seni pertunjukan, terutama seni tari tradisional Jawa. Berdasarkan cerita orang-orang tua di keluarganya, Rury mengisahkan, saat usianya empat tahun ia menyaksikan kedua orangtuanya menari dalam sebuah pentas di Teater Arena, Solo.
Begitu memasuki usia sekolah, orangtua Rury pindah ke Jakarta. Sejak saat itu ia menghabiskan masa kecil dan remajanya di Jakarta. Namun, meski hidup di suasana metropolitan, kecintaannya terhadap tari tradisional Jawa tidak pernah luntur. Waktu masih berusia 13 tahun dan duduk di kelas I SMP, ia menciptakan rangkaian koreografinya yang pertama dengan cara merekam berbagai musik tradisional dan menirukan gerakan tari dari acara Aneka Tarian Daerah di TVRI. Tari itu diberinya judul Saragimita. "Arti judulnya saja saya tidak tahu, he-he-he.... Tari itu saya bawakan sendiri saat ada acara di auditorium sekolah, di depan ibu Nugroho Notosutanto (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu-Red). Wah, bangga sekali rasanya," ungkap Rury, yang mengaku juga pernah menari breakdance pada tahun 1985.
Seiring dengan makin dewasanya Rury, ia sadar bahwa kedua orangtuanya sebenarnya tidak menginginkan ia berprofesi sebagai penari. "Meski tidak pernah terungkap secara langsung, saya tahu kalau papa-mama tidak ingin saya jadi penari profesional seperti mereka. Papa selalu bilang, saya harus menjadi lebih baik dari mereka," tutur penari yang sempat bercita-cita menjadi dokter ini.
Sejak saat itu tarilah yang kemudian membawanya melanglang jagat. Berbagai misi kebudayaan dan festival tari di luar negeri ia ikuti, mulai dari Malaysia, Thailand, Kamboja, China, Jepang, Inggris, Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, hingga Rusia. "Waktu kecil saya selalu berdoa suatu saat nanti bisa jalan-jalan keliling dunia seperti papa-mama. Dan doa itu akhirnya terkabul. Sekarang saya dan papa-mama suka berlomba banyak-banyakan visa di paspor," kisahnya.
Pernah sekali Rury berusaha mencari jalan di luar menari, yaitu dengan berkuliah di Jurusan Manajemen Informatika STMIK Gunadarma setelah lulus SMA. Rury pun sempat menjadi pegawai kantoran di beberapa perusahaan setelah ia memperoleh gelar sarjana komputer pada tahun 1995.
Bahkan, sekitar tahun 1997 Rury mengaku sempat kecewa dan hampir putus asa dengan dunia menari. Alasannya, waktu itu pemerintah hanya memilih penari yang cantik-cantik dan tinggi untuk mewakili negara dalam misi kebudayaan ke luar negeri. "Padahal, menurut saya, kemampuan menari mereka sedang-sedang saja. Saya jadi mutung. Tetapi, ibu menasihati saya untuk tidak putus asa dan harus membuktikan bahwa saya lebih baik dari mereka," katanya.
Kini Rury telah membuktikan bahwa dia tidak hanya mumpuni menjadi penari, tetapi juga mendalami ilmu manajemen seni pertunjukan. Tongkat estafet itu telah diserahkan kepada dia. Selain menjadi pengajar tari, Rury sudah dipercaya untuk memegang kendali manajemen Padneswara. Di tangan Rury saat ini terletak kelangsungan sebuah tradisi yang telah bertahan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Tradisi seni pertunjukan. (DAHONO FITRIANTO)
Sumber : Kompas, Kamis, 16 Juni 2005
Jun 27, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment