Jun 27, 2009

Handrawan Nadesul, Dokter "Spesialis Umum"

Handrawan Nadesul, Dokter "Spesialis Umum"
Oleh : FX Puniman

DOKTER Handrawan Nadesul (57) dijuluki oleh teman-teman sejawatnya sebagai dokter "spesialis umum". Olok-olok itu muncul karena dia menulis dengan topik apa saja di berbagai media massa- sampai mungkin orang tak tahu apa sebetulnya spesialisasinya selain "spesialis umum" tadi.

DIA menulis artikel atau opini menyangkut apa saja, mulai dari kesehatan, bahkan sampai cerita anak-anak dan yang juga dikenal orang, dia menulis puisi. Terhitung sejak masih mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya (FK UAJ) Jakarta tahun 1970-an sampai sekarang, lebih dari 1.000 artikelnya dimuat di berbagai harian, tabloid, majalah wanita, dan majalah keluarga. Dengan tulisan-tulisan itu pulalah dia dulu membiayai kuliahnya.

KELAHIRAN Karawang, Jawa Barat, 31 Desember 1948, dia mengenang, bagaimana dia menghidupi diri dan membiayai kuliah. Masa-masa itu dia berkuliah dengan naik sepeda, pergi pulang dari Jalan Hayam Wuruk tempat dia menumpang di rumah kerabat, ke tempat kuliah di bilangan Salemba (waktu itu FK UAJ berafiliasi dengan FK Universitas Indonesia), serta tempat kuliah yang lain, yakni Rumah Sakit St Carolus.

Untuk kuliah dan uang saku, dia mengaku mendapatkan dari FK UAJ. "Karena ongkos yang diberi Yayasan AJ tidak cukup, saya harus lebih banyak menulis apa saja," ujarnya. "Honor puisi hanya cukup buat ongkos transpor seminggu."

Menulis puisi, katanya, diawali oleh semacam "kecelakaan". Ia punya teman sebangku semasa sekolah di SMA Negeri II Bogor, Eddy Lie, yang gemar sekali membaca dan menulis. Padahal, keduanya sebetulnya di jurusan ilmu pasti dan alam. "Bersama dia, hari-hari bisa panjang berdiskusi sastra. Besok ulangan Kimia, sorenya masih membincangkan Anton Chekov, penulis Rusia yang dokter, dan Utuy Tatang Sontani," kata Handrawan mengenang masa-masa remajanya. Ia, katanya, lebih rajin menulis puisi daripada menyelesaikan pekerjaan rumah.

LULUS SMA, ia masuk ke FK UAJ Jakarta, yang tahun 1968 membuka fakultas kedokteran. Pilihan ke fakultas kedokteran pun katanya dipengaruhi Anton Chekov. "Fakultas kedokteran saya pilih karena saya terinspirasi oleh Anton Chekov, sastrawan yang juga dokter. Saya beranggapan, dengan menjadi dokter memetik inspirasi dari segala kalangan," katanya.

Studi di Jakarta berarti berpisah dengan Eddy Lie dan keluar dari Bintang Harapan, klub sepak bola flamboyan sejak di SMP Budi Mulia. Hanya saja, kegiatan menulis dan bersastra terus berlanjut. "Selama kuliah, semua rubrik sastra koran dan majalah Ibu Kota mati-matian saya singgahi. Termasuk majalah ilmiah populer Ragi Buana," cerita Handrawan. Waktu itu dia sudah nekat mengasuh rubrik kesehatan di harian dan majalah meski statusnya masih calon dokter.

Dari kerabatnya, pada awalnya dia memang mendapatkan bantuan untuk studinya. Namun, anak kedua dari pensiunan pegawai negeri ini berjuang sekuat tenaga untuk menyelesaikan studinya secara mandiri.

Bagaimana usaha untuk mandiri itu? Dengan menulis untuk media massa tadi. Dia perlu bergadang untuk menulis lebih produktif. Kadang bolos kuliah, untuk urusan tulisan, mengambil honor, atau mengirim naskah baru. Apa saja dia tulis. Tulisan ilmiah populer kesehatan honornya bisa empat kali lipat honor puisi.

Di fakultasnya, katanya, dia dianggap mahasiswa aneh. Selesai kuliah, dia hampir selalu langsung berlari ke kantor-kantor redaksi, baik untuk mengambil honor maupun mengirim naskah baru. Dia pernah diskors karena membolos. Ia terpaksa membolos kuliah karena ada proyek yang dianggapnya cukup penting, yakni menandatangani kontrak bukunya yang diterima proyek inpres.

Ia ungkapkan pula bagaimana dia merasa berutang budi pada sejumlah penerbitan di Jakarta. Dia menyebut beberapa nama majalah yang dianggapnya berjasa mengantarnya sampai lulus kuliah.

"Saya pernah mengebon sebesar Rp 250.000 untuk 10 tulisan yang saya serahkan sekaligus. Mereka semua telah berjasa mengantar saya jadi mahasiswa yang selain tercukupi ongkos hariannya, honornya pun masih berlebih kendati makan siangnya sudah memilih soto betawi, menu mewah saat itu, nyaris tiap hari," kata Handrawan.

Ia pernah merasa nelangsa ketika ditolak untuk ikut masuk kepaniteraan, jadi dokter muda di rumah sakit karena belum punya baju dokter dan stetoskop. "Dalam kondisi demikian, puji syukur, mendadak saya mendapat hadiah TTS dari Kompas. Selain mendapat hadiah selimut dan handuk, mendapat uang tunai juga. Uang itu langsung saya ambil cukup untuk bikin jas dokter dan beli stetoskop," kenang Handrawan mengungkapkan salah satu pengalamannya.

Dia mengungkapkan, beberapa naskah buku inpres saat itu terus digarap supaya mendapat uang lebih banyak lagi. Untuk itu, dia harus melupakan tidur malam. Upaya ini tidak sia-sia, akhirnya beberapa judul buku dibeli pemerintah lagi. Kenyataan ini yang menambah rasa optimisnya dalam menempuh kerasnya sekolah dokter yang tidak pendek itu.

"Sekarang saya merasa yakin, ternyata dengan menulis (apa saja) bisa juga menopang proses menjadi dokter, selain memetik kenikmatan menulis puisi,"’ kata Handrawan yang menyebutkan, menulis puisi memberi kenikmatan batin melebihi menulis apa pun lainnya kendati honornya sering bikin dia membatin, bahkan dibandingkan dengan honor puisi yang pernah diperolehnya dari Malaysia. Penderitaan juga agaknya yang menambah tajam penanya menulis puisi.

SETELAH lulus, selama tiga tahun (1981-1984) Handrawan bekerja di Dinas Kesehatan Kota (DKK) Bogor dan memegang tiga puskesmas. Lalu ia menjabat di Seksi Penyuluhan DKK sebelum pindah ke Kanwil Kesehatan DKI Jakarta.

Di Bogor dia sempat membentuk Dokter Kecil yang beranggotakan 400-an murid SD yang berprestasi di sekolah masing-masing, dan juga menggerakkan kader Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) di tingkat kelurahan. "Sayang kegiatan ini tak berlanjut," kata Handrawan yang menikah dengan Belinda Chritina, teman kuliahnya yang kini menjadi dosen FK UAJ, pada tahun 1980. Mereka kini dikaruniai dua anak, Minetta Roselani (19) dan Millardi Nadesul (17).

Dia bertekad untuk menulis terus sampai akhir hayatnya. Karena kegiatan menulis itu pula, kini dia hanya praktik dengan perjanjian. Ia juga berencana menerbitkan puisinya yang ditulis sejak tahun 1967-2004, dengan judul Sajak-sajak Pergi Berjalan Jauh: Sekolahnya Dokter, Menulisnya Puisi. (FX Puniman)

Sumber : Kompas, Jumat, 17 Juni 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks