Jun 21, 2009

Roman Liebling : Jatuh Bangun Perjalanan Roman Polanski

Jatuh Bangun Perjalanan Roman Polanski
Oleh : Julius Pour

Perang, kekejaman, dan kematian ikut membentuk pribadi dan sosok Roman Polanski (72) sehingga tumbuh seperti sekarang. Lihat saja jejak hidupnya.

Perjalanan nasib berikut putaran peristiwa yang seluruhnya nyaris kelabu terus mengikutinya. Ibunya, seorang Yahudi Katolik, mati dalam kamp tahanan pasukan Nazi Jerman yang menduduki Polandia selama Perang Dunia II. Kemudian Sharon Tate, bintang film molek sekaligus istri yang dia nikahi tahun 1968, bersama tiga temannya, tewas dicincang pengikut ajaran sesat Charles Manson, saat hamil delapan bulan. Peristiwa yang sampai sekarang selalu dia sesalkan, andaikan saat itu aku tidak keluar rumah, mereka pasti tidak bakal dibunuh.

Tidak hanya itu. Mantan penerima beasiswa Polish State Film School, yang dianggap sebagai perintis kelahiran kembali film Polandia itu, ternyata kemudian tidak disenangi oleh partai komunis yang berkuasa. Film Knife in the Water dikutuk sebagai mengajarkan semangat individualisme dalam sidang tahunan partai tahun 1964. Maka tidak ada jalan lain, Polanski terpaksa meninggalkan negaranya dan berkarya di pelarian. Pertama kali di Perancis, kemudian Inggris, Italia, Amerika Serikat, dan nantinya, terpaksa kembali dan harus menetap sampai sekarang ini di Paris, Perancis.

Derita tersebut bagaikan absurditas karya Samuel Beckett, Waiting for Godot, yang dia gemari. Maka jangan heran bahwa hal tersebut terasa juga dia tuangkan dalam karyanya, sejak Cul-de-sac (1965) sampai China Town (1974). Dialog merusak suasana, maka efek dramatik harus dicapai lewat kebisuan, tuturnya.

Dengan demikian, karyanya bagaikan sebuah upaya untuk ikut menunjukkan keterkaitan antara dunia masa kini yang tidak pernah stabil dan munculnya kecenderungan kekerasan berikut kekejaman manusia, dalam upaya mereka mengatasinya.

Bertemu di hotel

Nama aslinya Roman Liebling, panggilannya Romek, dan tinggi badannya sekitar 1,65 meter. Maka saya sangat kaget, ketika bulan Agustus 2005 lalu tanpa sengaja bertemu di Hotel Tugu Bali. Lelaki tua sederhana, lembut, bersarung batik dengan baju kaus hitam tersebut adalah Roman Polanski.

Film-film saya merupakan ekspresi keinginan sesaat, sekadar mengikuti insting, tetapi harus dengan disiplin. Tentu saja saya langsung teringat kisah, bagaimana caranya membikin film seusai perang, ketika semua prasarana di Polandia masih hancur. Hanya dengan tiga orang pemain dan kamera yang di tangan, sebab tidak punya peralatan lain, hasilnya sangat menakjubkan dan dipuji oleh semua kritikus.

Pengalaman tersebut jelas merupakan hasil didikan negara sosialis, yang mengajarkan jangan menyerah berkarya hanya karena kekurangan sarana. Bahwa pikiran bebas Polanski kemudian bertabrakan dengan semangat sosialis dan memaksa dirinya pergi dari Polandia memang soal waktu dan mudah dipahami. Apalagi, karena dia berpendapat, Sebagai sutradara, seandainya ingin menunjukkan sebuah kepala dipenggal, perlihatkan saja. Sebab, tanpa (adegan) itu kalian bagaikan membikin lelucon tanpa gong. Kalimat tersebut menjadikan dirinya di Hollywood era tahun 1960-an dituding sebagai tiran sekaligus sutradara bengis dengan stereotip tertentu.

Polanski sama sekali tidak peduli. Bahwa kemudian dia terpaksa meninggalkan Hollywood (1978) dan sejak itu tidak pernah mau kembali ke AS, disebabkan kasus lain, yakni setelah dituduh melakukan hubungan seks kurang wajar dengan seorang ABG.

Selama bermukim di Hollywood, meski namanya dipuji-puji, Polanski sebenarnya hanya sempat membikin dua film, Rosemarys Baby (1968) dan Chinatown (1974). Film-film berbahasa Inggris lainnya dia kerjakan di Inggris atau Eropa Tengah. Maka ketika tahun 2003 dia menerima penghargaan Oscar sebagai sutradara terbaik untuk film The Pianist, terpaksa Harisson Ford yang mengantarkannya ke Paris.

Pada sisi lain sistem pers bebas AS bulan Juli lalu baru saja membuahkan kemenangan 87.000 dollar AS bagi Roman Polanski. Kasusnya bermula dari tulisan di sebuah majalah tahun 2002, yang menceritakan ia melecehkan seorang perempuan pada saat pemakaman Sharon Tate.

Ia menuntut penerbit majalah bersangkutan dan setelah persidangan selama tiga tahun, akhirnya tuntutannya dikabulkan. Memberikan komentar seusai keputusan, Polanski mengatakan, tiga tahun kehidupanku tersiksa oleh pemberitaan tersebut. Selama tiga tahun saya terpaksa dihantui kembali peristiwa pembunuhan bulan Agustus 1969, menjelang ulang tahunku, ketika dengan sadis mereka mencincang istriku dan calon anakku.

Memang, banyak hal tak benar sering ditulis orang mengenai diriku. Semuanya selalu saya biarkan. Tetapi, berita Vanity Fair edisi bulan Juli 1969 tersebut benar-benar sangat keterlaluan. Saya tidak punya pilihan lain kecuali menuntut mereka.

Sumber : Kompas, Senin, 3 Oktober 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks