Jun 21, 2009

Hendarmin Susilo : H Susilo, Patriotisme dari Seberang

H Susilo, Patriotisme dari Seberang
Oleh : Theodore KS* dan Tonny D Widiastono

Hâ luó hâ luó wàn lóng, huâ bân jiâoli de shân chéng,
Hâ luó hâ luó wàn long, qún shân huán bào duô mi rén

Ketika mendengar melodi lagu itu, orang segera tersadarkan, itu adalah lagu perjuangan yang tidak asing bagi telinga masyarakat Indonesia.

Namun, ketika dicermati, kita akan terkaget-kaget saat mencermati lirik yang dibawakan, ternyata itu adalah lagu Halo-halo Bandung karya Ismail Marzuki versi Mandarin, yang dibawakan oleh Shanghai Opera Academy Chorus, diiringi Yogyakarta Academy Orchestra.

Coba simak lagu yang lain.

Yìn dù ni xi yà xiân hóng de rè xiê, xuê bai de zhông gú, Róng hé chéng wô yi piàn ài guó de rè chén.

Itulah lagu Kebyar-kebyar ciptaan Gombloh.

”Ada dua album yang sengaja dikeluarkan memperingati HUT ke-60 RI. Yang pertama, Lagu Cinta Tanah Air Bagimu Neg’ri oleh Harry dan Iin serta Paduan Suara Paguyuban Meizhou Indonesia dan Paduan Suara Overseas Chinese Commerce High School/Panitia Pengawas Sekolah-I yang disingkat OCCHS/ PPS-1. Yang kedua Lagu Cinta Tanah Air Halo Halo Bandung oleh Shanghai Opera Academy Chorus dan Yogyakarta Academy Orchestra. Bersama Kelompok Kerja Seni Musik kami, lebih dari satu tahun, dua album itu dikerjakan,” ujar Hendarmin Susilo, pimpinan PT Gema Nada Pertiwi (GNP) kepada Kompas.

Diakui, lagu-lagu perjuangan versi Mandarin memerlukan tambahan kata di sana-sini agar pas dengan notasinya. Coba simak lagu Halo-halo Bandung yang dimandarinkan. Di sana lirik yang ada tidak bisa begitu saja diterjemahkan. Ada penambahan kata-kata sehingga bila versi Mandarin itu diterjemahkan lagi ke bahasa Indonesia, akan menjadi, ”Halo-halo Bandung, kotanya indah bagaikan bunga. Halo-halo Bandung, dikelilingi pegunungan betapa memesona”.

”Saya berharap dari lagu-lagu perjuangan versi Mandarin ini muncul rasa cinta tanah air pada etnis Tionghoa. Selain itu, ini adalah upaya memperbaiki citra baik negara di masyarakat Tionghoa di luar Indonesia. Sejauh ini, mereka menilai Indonesia sebagai negara rasialis, anti-Tionghoa. Itu kita alami bersama. Selama 32 tahun, bahasa, adat-istiadat, dan tradisi etnis Tionghoa dilarang di Indonesia,” lanjut Hendarmin Susilo.

Hendarmin mengakui, seluruh upaya itu banyak dibantu oleh Moordiana dari ISI Yogyakarta. ”Akibatnya, masyarakat Shanghai yang semula sudah tertarik dengan lagu-lagu dari Indonesia menjadi semakin mengerti makna lagu yang dibawakan. Mereka amat menyukai lagu Pak Gesang, Bengawan Solo,” lanjut Hendarmin.

Lahir di Jakarta, 3 Desember 1945, sebagai anak pertama dari lima bersaudara, Hendarmin mengenal musik klasik opera China dari piringan hitam koleksi ayahnya. Peran orangtuanya pula yang kemudian membuatnya berani memulai sebuah usaha rekam-merekam lagu di pusat hiburan Prinsen Park (kini Lokasari), Mangga Besar, Jakarta, pada awal 1970-an. Di emper restoran ayahnya, Hendarmin membawa tape-recorder Akai lengkap dengan piringan hitam koleksinya, menerima pesanan merekam lagu-lagu dari piringan hitam. Itulah awal perusahaan rekaman lagu-lagu Barat, Hins Collection.

”Ketika saya tahu bahwa itu melanggar hak cipta, saya berhenti,” lanjut Hendarmin, yang kemudian mendirikan Penerbit Karya Musik Pertiwi mengurusi royalti hak-cipta lagu-lagu keroncong di seluruh dunia dari ciptaan Gesang, Andjar Any (Yen Ing Tawang Ana Lintang), Abdul Ajib (Warung Pojok), Ucin Nurhasyim (Dewi Murni), hingga pencipta lagu lainnya yang bukan keroncong.

GNP didirikan

Tahun 1985, GNP didirikan. Nama GNP diberikan oleh Idris Sardi. Idris Sardi sendiri merekam seluruh album solo biolanya di situ. Untuk operasional GNP, Hendarmin dibantu dua dari tiga anaknya, Sufeni dan Jakawinata, yang bisa ”nyetel” dengan ayahnya dalam berbagai jenis musik yang mereka produksi.

”Sejak dulu saya memang suka keroncong. Maka, album-album yang saya produksi kebanyakan keroncong dan lagu-lagu daerah. Teman-teman sering menilai saya gila. Memang, kalau dihitung secara bisnis, jenis musik ini tidak memberi keuntungan besar,” ujarnya.

Sebagai contoh, Album Emas Gesang yang diproduksi tahun 1999 hanya terjual 7.000 kaset dan 1.000 CD. Memang untuk mencapai break-even-point penjualannya membutuhkan waktu satu hingga dua tahun. Pada tahun ketiga atau mungkin keempat, ia baru bisa menikmati hasilnya.

Melalui Penerbit Karya Musik Pertiwi, Hendarmin juga menerbitkan buku, Gesang. Belum lama ini Hendarmin mendapat penghargaan dari Perpustakaan Nasional karena selama 15 tahun terus-menerus mengirimkan contoh dua copy produksinya. ”Saya sedang menyiapkan buku tentang Koesbini. Siapa yang punya foto-fotonya ya?” tambah Hendarmin.

*Theodore KS Penulis Lepas Khusus Musik

Sumber : Kompas, Sabtu, 1 Oktober 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks