Kelinci Percobaan Regina Tandelilin
Oleh : Djoko Poernomo
Cita-cita menjadi dokter gigi tertanam di benak Regina Titi Christinawati Tandelilin sejak duduk di bangku sekolah dasar. Tetapi, berurusan dengan hewan kelinci, ia tidak pernah membayangkan sama sekali.
Nyatanya, hewan ini yang kemudian malah mengantarkan Regina (47) meraih gelar doktor dengan predikat cum laude dalam karier selaku pendidik di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada (FKG UGM), Yogyakarta.
Disertasi berjudul Ekspresi dan Aktivitas Gelatinase, Tissue Inhibitors of Metalloproteinase (TIMP-1 dan TIMP 2) pada Luka Pencabutan Gigi Setelah Augmentasi Demineralized Bone Matrix (Kajian In Vivo pada Kelinci) dia pertahankan di depan tim penguji Sekolah Pascasarjana UGM, 18 September 2006.
Promotornya adalah Prof Abdul Salam M Sofro yang sekarang menjabat Rektor Universitas Yarsi, Jakarta, dengan tiga kopromotor, yaitu Prof Al Supartinah S, Prof Marsetyawan, dan Widya Asmara PhD. Adapun salah satu pengujinya Prof Djohansjah Marzoeki.
Sebenarnya, obyek penelitian tak harus kelinci, bisa juga tikus atau marmot. Pilihan jatuh pada kelinci dengan pertimbangan gigi serinya dapat dicabut dan bukan merupakan hewan pengerat serta mudah diternakkan. "Kelinci juga menunjukkan hasil baik ketika ditransplantasi dengan allograft pada femur-nya," tutur Ketua Bagian Biologi Mulut FKG UGM yang gemar main tenis dan mengidolakan tim sepak bola AC Milan, Italia, itu.
Ia menambahkan, hewan percobaan yang lebih tepat sebenarnya primata. "Tetapi, populasi (primata) tak mendukung dan pemeliharaannya lebih rumit, apalagi obyek penelitian bakal dimatikan dengan cara ditidurkan lebih dulu," tuturnya.
Kelompok kontrol
Dalam penelitian, Regina akhirnya menggunakan 36 kelinci jantan dengan berat 900-1.100 gram berumur 2,5-3 bulan yang dibagi secara acak dalam dua kelompok kontrol dan perlakuan.
Kelompok perlakuan dicabut gigi seri bawahnya dan segera diaugmentasi (ditambahkan) dengan serbuk demineralized bone matrix (DBM) yang bersifat osteokonduktif dan osteoinduktif, dan terbukti menunjukkan sifat modulasi pada penyembuhan tulang.
Kemudian flap dijahit benang non-absorbable. Perlakuan yang sama diberikan pada kelompok kontrol tanpa diaugmentasi DBM.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan, pada luka yang segera diaugmentasi DBM pascapencabutan gigi, penyembuhan jaringan lunak dan tulang lebih cepat dibandingkan dengan yang tanpa augmentasi sehingga DBM dapat menjadi terapi pencegahan, kuratif maupun rehabilitatif.
Menurut Regina, kelainan pada tulang yang paling sering terjadi dalam bidang kedokteran gigi adalah kerusakan akibat pencabutan gigi. "Kerusakan tulang seharusnya dirawat atau dicegah, dan ini dapat diatasi dengan menggunakan cangkok (graft) tulang sebagai penutup, yaitu dengan augmentasi yang akan menginduksi tumbuhnya tulang baru pada tempat augmentasi," katanya.
Graft tulang sebaiknya berbentuk serbuk. Lalu, agar tidak menimbulkan reaksi imunitas, bahan yang digunakan adalah demineralized graft yang diproses dengan deep-freeze, yang proses pengeringannya menggunakan pembekuan.
Pernah sakit gigi
Seperti disebutkan di atas, cita-cita menjadi dokter gigi tertanam sejak kecil menyusul pengalaman "kurang menyenangkan" yang ia terima dari seorang dokter gigi. Saat duduk di bangku kelas II SD Pamardi Putri, Solo (1967), Regina mengalami sakit setelah dokter gigi mencabut giginya.
Oleh karena itulah, setamat SMP, Regina mempunyai keinginan yang bulat. Ia berkata kepada ibunya, Ny Margaretha Samilah, kelak ingin menjadi dokter gigi serta berupaya tidak membuat sakit si pasien. Keinginan ini mendapat dukungan ayahnya, Rob Soedirdjo, seorang kepala sekolah. Pasangan Ny Samilah-Soedirdjo dikaruniai delapan anak, Regina merupakan anak ketiga.
"Begitu lulus SMA Negeri I Solo, saya mendaftar masuk ke FKG UGM tahun 1978 dan diterima bersama 97 calon mahasiswa lain," tutur Regina.
Regina menyelesaikan pendidikan dokter gigi di UGM tepat waktu dan dilantik tahun 1983. Mulai Februari 1984 dia diterima sebagai pengajar di almamaternya. Tahun 1987-1988 ia mengikuti program pelatihan gigi di Pensylvania, Amerika Serikat. Selanjutnya, tahun 1998, ia menyandang gelar master of science di bidang mikrobiologi dari University of the Philippines.
Gelar mahasiswa berprestasi pernah diraih Regina sehingga Regina mendapat hak menerima partial grant. Terakhir, istri Prof Dr Eduardus Tandelilin MBA CWM (49)—ahli keuangan sekaligus pengajar di Fakultas Ekonomi UGM, dan ibu dua anak ini—meraih gelar doktor.
Regina mengaku, dia memutuskan masuk ke program doktor setelah suaminya ditetapkan sebagai guru besar dan anak pertamanya, Andreas AK Tandelilin, diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM. Saat Regina sibuk menulis disertasi, Andreas dan adiknya, Stanislaus MC Tandelilin (siswa kelas II SMAN 3 Yogyakarta), bisa memahami kesibukan ibunya.
"Suami mengizinkan masuk program doktor dengan pertimbangan utama asal atas kemauan dan motivasi sendiri, dan yang terpenting tidak boleh mengeluh," tutur Regina yang sehari-hari berbahasa Inggris, baik dengan suami maupun kedua anaknya.
Sumber : Kompas, Jumat, 29 September 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment