Rido dan Becak Pascakonflik
Oleh : M Zaid Wahyudi
Rido Matauseja tak pernah bermimpi menjadi juragan becak. Terlebih lagi, dalam lingkungan masyarakat yang masih menganggap becak dan pengusahanya merupakan pekerjaan kelas rendah. Tetapi, dari usaha becak itulah tercipta lapangan kerja dan rekonsiliasi alami masyarakat Ambon pascakonflik.
Usaha Rido dimulai saat konflik mendera Ambon tahun 1999. Pengusaha dan pengemudi becak di Ambon yang umumnya dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara pulang kampung dan menjual becak mereka. Sementara sebagian yang lain meninggalkan begitu saja becaknya.
Konflik menyebabkan sektor ekonomi lumpuh dan banyak warga setempat kehilangan pekerjaan. Korban konflik dari Seram, Pulau-pulau Lease, dan desa-desa di Pulau Ambon sendiri mengungsi ke pusat kota karena mengharapkan keadaan yang lebih aman dan kemudahan mendapat pekerjaan. Di antara mereka ada juga petani dan nelayan yang tentu saja sulit menggunakan keterampilan itu untuk mencari nafkah di tengah kota.
Keadaan ini menyebabkan jumlah pengangguran tidak terdidik meningkat pesat. Mereka yang rata-rata berumur 17-40 tahun sulit bersaing dengan pengangguran terdidik di Ambon. Akibatnya, kriminalitas pun meningkat.
Situasi tersebut membuat Rido Matauseja (38) trenyuh. Sebagai salah satu tokoh pemuda di Belakang Soya, Ambon, Rido pun berinisiatif membuka lapangan kerja bagi pemuda pengungsi di daerahnya. Pilihan jatuh pada usaha sewa becak.
Terbuka
Akhir tahun 2000, Rido membeli tiga becak yang harganya berkisar Rp 2,7 juta hingga Rp 3 juta per buah dari pemiliknya di sekitar Hotel Ambon Manise yang menjadi daerah perbatasan di antara dua komunitas masyarakat yang bertikai.
Rido tidak merasa takut berada di daerah tersebut karena warga telah mengenal dirinya. "Usaha ini saya rintis hanya untuk membantu mereka yang tidak punya pekerjaan," kata Rido.
Ternyata pemuda yang berniat menjadi tukang becak terus bertambah. Karena itu, Rido memberanikan diri menambah jumlah becaknya, memakai tabungan Rp 100 juta pemberian orangtua yang rencananya untuk melanjutkan studi program magister di Yogyakarta atau Jakarta.
Rido tidak melihat dari komunitas mana mereka yang ingin menjadi pengemudi becak berasal. Yang penting, mereka memiliki KTP dan alamat tempat tinggal yang jelas. Hal ini lebih untuk memastikan becak itu tidak dilarikan dan untuk memudahkan penagihan setoran.
Kini Rido memiliki 200 becak dan mempekerjakan tiga orang untuk mengurusi usaha itu karena dia sendiri sibuk sebagai Kepala Urusan Umum Kantor Imigrasi Ambon. Melalui usaha itu, artinya Rido memberi penghidupan untuk sekitar 1.000 orang bila satu pengemudi memiliki satu istri dan dua anak.
Dia menarik sewa Rp 15.000 per hari. Pengemudi bisa memiliki penghasilan Rp 20.000-Rp 100.000. Tiap tukang becak berhak atas layanan reparasi becak gratis di bengkel becak milik Rido dan dapat meminjam uang ke perusahaan dengan cicilan Rp 5.000-Rp 10.000 per hari tanpa bunga.
Selain becak, Rido juga mengembangkan usaha ojek motor yang mencapai 50 buah. Ojek itu untuk melayani daerah perbukitan di Kota Ambon.
Tenaga kerja
Dari usaha yang dia namai Bastek, singkatan dari Bersama Anak dan Keluarga Kita Tingkatkan Ekonomi Keluarga itu, Rido mampu mengumpulkan pendapatan Rp 20 juta-Rp 30 juta setiap bulan. Tetapi, bagi Rido, mendapat keuntungan bukan motivasi usahanya karena kariernya sebagai pegawai negeri cukup baik. Kepedulian terhadap sesama yang mendorong pria kelahiran 20 Juli 1968 ini menekuni usaha itu.
Usaha itu telah ikut membuka lapangan kerja, terutama tenaga kerja tak terdidik, saat kegiatan ekonomi nyaris berhenti akibat konflik.
Namun, keberhasilan usahanya itu bukan tidak menimbulkan masalah. Dia kenyang diisukan korupsi mengingat pekerjaannya adalah pegawai negeri.
"Kalau teman-teman di kantor tidak masalah karena mereka mengetahui usaha saya," tambah Rido. Maklum, Rido tidak pernah mengumpulkan becaknya dalam satu tempat sehingga orang tidak mengetahui jumlah becak yang dimiliki Rido.
Selain itu, ketika Rido memberi bukti keberhasilan, perlahan-lahan anggapan masyarakat tentang pekerjaan tukang becak mulai berubah. "Dulu orang Ambon menganggap menjadi tukang becak itu hina, tetapi setelah konflik tidak ada lagi pandangan itu," tutur Rido.
Hal yang membanggakan Rido, pengemudi becak dan motornya berasal dari dua komunitas masyarakat di Ambon yang pernah terlibat konflik tahun 1999-2004. Bahkan, para pengemudi becak dari Sulawesi yang dulu sempat pulang kampung menyelamatkan diri, kini mulai bekerja lagi dan menyewa becak miliknya.
Sebagai sesama pengemudi becak dari satu perusahaan, mereka tentu saja saling berkomunikasi. Penumpangnya pun berasal dari komunitas yang pernah bertikai yang bukan tidak mungkin diantar pengemudi becak dari komunitas berbeda.
Semakin kondusifnya keamanan di Ambon membuat pergerakan masyarakat semakin luas tanpa dibatasi sekat agama dan etnis. Melalui becak-becaknya, Rido ikut menyemai proses rekonsiliasi dan menggerakkan roda ekonomi yang besar perannya bagi perdamaian di Ambon Manise.
Sumber : Kompas, Selasa, 26 September 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment