Jun 20, 2009

Raja Malik Hafrizal, Penjaga Jembatan ke Masa Lalu

Raja Malik Hafrizal, Penjaga Jembatan ke Masa Lalu
Oleh : B Josie Susilo Hardianto

Raja Malik Hafrizal (33) mengantar tamunya menyusuri hutan menembus belukar untuk mencari tapak bekas Kesultanan Riau Lingga pertama. Tanpa keraguan ia terus menyusuri kawasan yang terletak di pinggiran hulu Sungai Riau, Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, itu.

"Dulu sisa-sisa tembok itu masih tampak dari arah sungai, tetapi sekarang sudah tidak lagi karena sudah ditumbuhi belukar. Jadi kita harus memutar sedikit,” katanya sambil menyibak akar pohon beringin yang menjuntai hingga ke tanah.

Setelah sekitar 30 menit berjalan melewati bekas-bekas kebun karet dan pemakaman tua tampaklah tembok bekas Istana Kesultanan Riau-Lingga. Tembok kokoh setebal hampir 30 sentimeter itu menghijau dibalut lumut dan dililit akar berbagai pohon besar.

Raja Malik kemudian menceritakan ihwal pendirian Kesultanan Riau-Lingga pertama itu. Istana itu, tutur Raja Malik, dibangun sekitar tahun 1720-an ketika Kesultanan Johor hancur oleh serangan Portugis. Ia bercerita bagaimana para sultan mengembangkan kesultanan baru hingga kemudian berpindah ke Lingga, dan kemudian ke Pulau Penyengat, hingga akhirnya terpaksa dibumihanguskan agar tidak jatuh ke tangan Belanda pada awal abad ke-20.

Dengan fasih ia menuturkan kisah Kesultanan Riau-Lingga dengan berbagai pernik kisah para sultan yang memimpinnya, persetujuan politik dengan para bangsawan asal Bugis yang kemudian melahirkan sistem pemerintahan baru dalam Kesultanan Riau, hingga kisah pertempuran dengan Eskader Belanda di perairan Selat Malaka hingga Penyengat.

Penerima anugerah

Itulah Raja Malik Hafrizal, ayah dari R Syahrizal Maulana (9) dan R Syahla Madina (4) yang pada 25 November lalu menerima Anugerah Kebudayaan 2005 untuk kategori tokoh peduli tradisi. Oleh Kantor Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Malik dinilai peduli dalam pelestarian naskah-naskah kuno masa Kesultanan Riau-Lingga dan dengan setia menjaga manuskrip-manuskrip kuno itu meski dalam segala bentuk keterbatasan yang dimilikinya.

Atas anugerah itu dengan rendah hati ia merasa bahwa ayahnyalah, almarhum Hamzah Yunus, yang dinilainya lebih patut menerima anugerah itu. Sebab sejak tahun 1960-an, beliaulah yang berupaya keras mengumpulkan naskah-naskah kuno itu. ”Caranya dengan merayu atau membeli naskah-naskah itu dari para pemiliknya,” tutur Raja Malik mengisahkan usaha ayahnya untuk mulai mengumpulkan naskah-naskah kuno tersebut.

Namun, peran Raja Malik pun tidaklah kecil. Bagi Malik muda yang lahir pada tanggal 8 April 1972, kegigihan sang ayah nyatanya mengusik batinnya untuk ikut terlibat dalam usaha penyelamatan naskah dan manuskrip kuno. Ia selalu ikut ke mana pun Hamzah Yunus mengantar tamunya menyusuri tapak-tapak bekas istana Kesultanan Riau-Lingga.

Ia juga mengikuti para peneliti dari berbagai belahan dunia yang datang ke Penyengat untuk mempelajari teks-teks kuno dan mengunjungi makam-makam para sultan dan punggawanya. Kegemarannya pada sejarah, khususnya sejarah Kesultanan Riau-Lingga, tetap hidup hingga saat ini. Tak jarang Malik pergi menyusuri hutan mencari tapak-tapak tua dan rangkaian sejarah yang mungkin masih samar. Berbagai bentuk publikasi dan tulisan berkaitan tentang komunitas atau suku-suku asli di Kepulauan Riau terus dikumpulkannya.

Dari usaha yang dirintis oleh ayahnya itu, setidaknya hingga saat ini telah terkumpul lebih dari 300 naskah dan manuskrip kuno. ”Naskah paling tua berasal dari tahun 1720, pengarangnya tidak diketahui namanya. Isinya tentang syair-syair dan kitab sejarah,” ungkap Malik.

Hanya saja, upaya penyelamatan naskah-naskah kuno itu saat ini tengah dihadapkan pada kendala minimnya sarana. Gedung tempat menyimpan naskah itu tampak masih baik, tetapi beberapa sarana pendukung seperti mesin foto kopi, mesin pendingin udara, dan alat pembaca mikrofilm sudah rusak.

Dalam kondisi seperti itulah, Raja Malik Hafrizal terus berupaya menjaga naskah-naskah kuno itu meskipun dari usaha itu ia tidak memperoleh apa-apa. Hanya karena didorong oleh keprihatinan dan kecintaan pada tanah leluhur dan juga dibantu oleh rekan-rekan dekatnya, seperti Abang Ibrahim, Raja Malik, ia tetaplah setia melakukannya. ”Naskah-naskah kuno itu ibaratnya adalah jembatan ke masa lalu dan tugas saya adalah menjaga agar jembatan ke masa lalu itu tetap baik,” ungkapnya.

Kalau jembatan itu dalam kondisi baik, akan banyaklah orang yang dengan mudah menjumpai berbagai kekayaan masa lampau yang mampu memperkaya khazanah pengetahuannya di masa kini. Dan kekayaan batin itulah yang tampaknya menjadi penguat Raja Malik untuk selalu teguh menjaga warisan tak ternilai itu.

Sumber : Kompas, Rabu, 7 Desember 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks