Jun 20, 2009

Ahmad Yusuf, Kesetiaan Seorang Penjaga Museum

Ahmad Yusuf, Kesetiaan Seorang Penjaga Museum
Oleh : Khairina

Museum Tuanku Imam Bonjol di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, sudah hampir tutup saat Tim Lintas Timur Barat Kompas tiba Jumat (18/11/2005) petang. Meskipun demikian, Ahmad Yusuf (44), sang penjaga museum, dengan ramah mempersilakan kami masuk dan melihat-lihat koleksi museum itu.

Ayo, silakan masuk. Mau sampai jam berapa saja boleh kok. Kami ini biasa menginap di sini,” ujar Yusuf sambil tersenyum.

Yusuf tak berseloroh. Di samping meja kerja dari kayu tempat menyimpan karcis museum dan berbagai catatan lain, ada sehelai kasur busa tipis. Apabila malam datang, Yusuf membentangkan kasur itu di atas lantai museum dan beristirahat. Sambil menonton sinetron dari televisi hitam putih miliknya, Yusuf pun tertidur. Namun, jika terdengar bunyi mencurigakan—sekecil apa pun—Yusuf terpaksa bangun dan berpatroli keliling museum.

”Saya takut ada orang yang berniat jahat, seperti mencuri barang-barang koleksi museum,” ujar pria bertubuh kurus itu.

Barang-barang peninggalan Tuanku Imam Bonjol, termasuk pedang yang digunakan pahlawan nasional itu saat berperang melawan Belanda, banyak hilang dicuri orang. Yang tersisa di museum kini tinggal kumpulan naskah serta replika pedang milik Tuanku Imam Bonjol. Agar tidak terlalu tampak kosong, museum dilengkapi berbagai benda sejarah lain, seperti keramik dan beragam gerabah.

”Orang memang tidak menghargai sejarah. Barang-barang peninggalan Tuanku Imam Bonjol banyak yang dicuri dari museum. Padahal, museum itu bagian dari identitas bangsa dan negara,” kata Yusuf geram.

Kegeramannya terhadap kondisi anak bangsa yang tidak lagi menghargai jasa pahlawan membuat Yusuf rela bekerja nyaris seharian di museum itu. Jam kerja Yusuf sangat panjang, 18 jam sehari tanpa libur, bahkan pada hari Sabtu atau Minggu. Tugasnya juga cukup berat, mulai dari membersihkan seluruh ruangan museum yang terdiri dari dua lantai, termasuk koleksi yang dipajang di sana, hingga menjual karcis masuk.

Dia juga berperan sebagai pemandu alias guide bagi para pengunjung yang ingin tahu lebih banyak mengenai Tuanku Imam Bonjol. Tugas Yusuf masih ditambah dengan mengurusi berbagai urusan administrasi, seperti mengatur jadwal kerja dan melaporkan serta menyetorkan pendapatan museum kepada pemerintah.

”Tugas saya juga masih ditambah dengan mengurusi karcis bagi pengunjung Tugu Ekuator,” katanya.

Tugu Ekuator yang berbentuk bola dunia raksasa terletak persis di depan museum. Tugu penanda batas belahan utara dan selatan Bumi itu tak terawat dan sangat kotor. Karena tidak ada tenaga pegawai, Yusuf terpaksa mengambil alih pemeliharaan tugu itu.

Untunglah istrinya, Kasyulisnita, juga bekerja di museum itu sehingga tidak protes karena Yusuf lebih banyak meluangkan waktunya di museum dibandingkan dengan keluarganya. Kasyulisnita juga bisa memaklumi jika dalam sebulan pendapatan yang diterima Yusuf sangat kecil. Sebagai pegawai honorer, Yusuf hanya menerima honor Rp 300.000 per bulan.

”Jelas tidak cukup karena dalam sehari ongkos untuk anak saya saja habis lebih dari Rp 20.000,” tutur bapak lima anak ini.

Beruntung mertua Yusuf punya sebidang sawah. Hasilnya yang tak seberapa digunakan untuk membiayai sekolah anak-anak Yusuf, termasuk anak sulungnya yang kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam di Bonjol. ”Tanpa bantuan dari neneknya, anak saya tidak mungkin kuliah,” ujar Yusuf.

Untuk membantu agar dapur rumah tangganya tetap mengepul, Yusuf juga menjual baju kaus suvenir bergambarkan Tugu Ekuator. Itu pun, dengan sedikit malu-malu, Yusuf mengaku bahwa kualitasnya kurang bagus sehingga tidak terlalu diminati pengunjung.

Tetap ingin kerja di museum

Meski punya tanggung jawab besar dan digaji pas-pasan, Yusuf mengaku tidak ingin melepaskan pekerjaannya di museum karena alasan yang sentimentil. Sebagai putra Jawa Barat yang lahir di Binjai, Sumatera Utara, pada 2 Juli 1961, Yusuf lahir dari keluarga pejuang. Ayahnya ikut berjuang dalam pertempuran Bandung Lautan Api dan berpesan kepada putra-putrinya untuk tidak melupakan sejarah dan selalu mengenang jasa para pahlawan. Yusuf sendiri pernah bercita-cita menjadi anggota TNI meski kandas.

Merasa memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan sejarah bangsa, Yusuf yang kebetulan merantau ke Bonjol dan menikah dengan gadis asli Bonjol akhirnya melepaskan pekerjaannya dan memilih bekerja di museum. Padahal, dengan bekerja di kantor kontraktor bangunan, pendapatan Yusuf jelas jauh lebih besar dibandingkan dengan jika dia bekerja di museum.

Yusuf mengaku memetik banyak hikmah dari tujuh tahun menjaga dan merawat museum Tuanku Imam Bonjol. Dia, antara lain, dapat belajar banyak dari sosok Imam Bonjol yang terkenal taat beragama dan melaksanakan ajaran agama dengan sebenar-benarnya.

Dengan ketaatan kepada agama itu pula, Yusuf mengaku ikhlas kendati diperlakukan kurang baik oleh segelintir warga yang menganggapnya sebagai orang luar yang ”sok tahu”. Dia juga ikhlas meski nyaris tidak ada perhatian dari pemerintah.

”Tetapi, kalau boleh berharap, saya memohon pimpinan lebih memerhatikan anak buahnya, termasuk kesejahteraannya. Saya juga mohon diikutkan dalam seleksi jika ada lowongan PNS (pegawai negeri sipil—Red) penjaga museum. Selama ini saya masih honorer,” ujar Yusuf terbata-bata. (ZUL/ECA/BIL)

Sumber : Kompas, Selasa, 6 Desember 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks