Jun 28, 2009

Rafael "Rafa" Benitez, Sepak Bola adalah Hidupnya

Rafael "Rafa" Benitez, Sepak Bola adalah Hidupnya
Oleh : Yesayas Oktavianus

DIA pernah sangat dibenci, tetapi kemudian amat disanjung. Dua warna kehidupan berbeda yang sempat mewarnai perjalanan hidup dan kariernya membuat Rafael "Rafa" Benitez, pria kelahiran Madrid (Spanyol), 4 April 1960 itu, akhirnya muncul sebagai salah satu sosok pelatih sepak bola tersukses di percaturan sepak bola Eropa.

DI Inggris, musim ini, orang boleh memilih David Moyes sebagai pelatih/manajer terbaik karena prestasinya mengangkat Everton menembus Liga Champions. Atau banyak orang menganggukkan kepala sebagai tanda pujian kepada Jose Mourinho yang menghadirkan dua gelar bagi Chelsea-Piala Liga dan Divisi Utama Liga Inggris.

Akan tetapi, Benitez terlalu pantas untuk melebihi Moyes dan Mourinho. Keberhasilan Liverpool merebut gelar Liga Champions bukan saja menambah perbendaharaan gelarnya menjadi lima kali, tetapi lebih dari itu mengangkat derajat sepak bola Inggris kembali persaingan dengan seteru beratnya dari Italia, Jerman, dan Spanyol.

Kerja setahun di Anfield dengan imbalan gelar Liga Champions tentu merupakan harga sangat mahal dari seorang pelatih. Orang mungkin pula dapat menyebut sukses Liverpool sedikit tertolong faktor keberuntungan. Namun, anggapan itu dengan mudah ditepis dan menjadi tawar jika menengok ke perjalanan seorang Benitez dalam menekuni sepak bola.

SEBAGAI pemain, Benitez jauh dari cemerlang. Bahkan, dia tidak pernah memainkan satu pertandingan penuh-selama 90 menit- ketika menjadi anggota tim Real Madrid selama tujuh tahun.

Keluar dari Real Madrid, Benitez bergabung dengan tim Seri B Liga Spanyol, Linares. Di sini, Benitez juga tidak dianggap dan tetap berada di bangku cadangan.

Keputusan meninggalkan lapangan hijau sebagai pemain diambilnya tahun 1986. Real Madrid, mantan klubnya, kemudian yang dipilih sebagai tempat pertama belajar ilmu melatih.

Keberhasilannya membawa Real Madrid B menempati peringkat ketujuh di Seri B Liga Spanyol menggugah Pelatih Real Madrid Vicente Del Bosque saat itu untuk menggaetnya sebagai asisten. Dari sinilah Benitez sadar bahwa kariernya sebagai pelatih mulai memberikan harapan.

Hanya saja, sebagai seorang yang rendah hati dan selalu merasa belum cukup, Benitez yang timbul tenggelam menangani Real Valladollid, Osasuna, Extremadura, dan Tenerife akhirnya memutuskan untuk berhenti sebentar dari tugasnya di pinggir lapangan. Dia lalu memperkaya dirinya dengan menyeberang ke Inggris dan Italia untuk belajar ilmu melatih.

Sekembalinya dari Inggris dan Italia, Benitez tidak saja mendapat ilmu yang memadai, tetapi juga teman dekatnya yang setia mendampinginya, yaitu sebuah laptop. Gunanya untuk menganalisis pertandingan atau ilmu yang baru saja diterapkannya.

Tahun 2001, Valencia yang tertarik dengan aplikasinya memutuskan memilih Benitez menggantikan Hector Raul Cuper. Penunjukan Benitez ini sempat menimbulkan kemarahan pendukung Valencia yang berujung timbulnya kebencian mereka kepada Benitez. Di mata pendukung Valencia, Hector Cuper masih jauh lebih baik dari Benitez yang belum pernah menghadirkan sebuah gelar pun bagi sebuah klub yang pernah ditanganinya.

Penilaian itu ternyata keliru. Benitez yang sudah sangat terobsesi hidupnya dengan sepak bola langsung membuat lompatan besar. Hanya setahun, Benitez langsung menghadirkan gelar juara La Liga di Mestalla, markas Valencia.

Dua tahun kemudian, dengan materi pemain yang sangat diandalkan, seperti Pablo Aimar, Ruben Baraja, Roberto Ayala, dan kiper Santiago Canizarez, Benitez memberikan dua gelar sekaligus bagi Valencia, juara La Liga dan Piala UEFA.

Kebencian pendukung Valencia kemudian berganti menjadi pujian dan sanjungan. Akan tetapi, mereka tidak lama bersama Benitez.

Keinginan Benitez menambah pemain baru untuk memperkokoh kekuatan timnya tidak dipenuhi manajemen Valencia. "Saya meminta kursi sofa yang empuk, tetapi manajemen memberikan sebuah lampu standar," kata Benitez menyindir keputusan Direktur Olahraga Valencia Jesus Pitarch, yang memilih pemain yang tidak sesuai dengan kemauannya.

LIVERPOOL akhirnya memenangi persaingan dengan Valencia dalam mendapatkan Benitez. Hanya saja, kehadirannya di Anfield tidak mulus karena bertiup rumor bahwa sebagian pelatih lokal merasa terpukul. Alasannya, Alan Curbishley, pelatih Charlton Athletic, lebih pantas ke Anfield.

"Tidak perlu diributkan. Kalau memang ada pelatih asing menangani klub Inggris memiliki reputasi hebat di Eropa, maka dia memang pantas," kata Curbishley.

Pernyataan Curbishley itu bagai air pendingin bagi kerja Benitez kemudian. Kebanyakan orang yang meragukan kemampuannya mengubah gaya permainan Inggris, yang masih belum lepas dari permainan kick and rush, ternyata keliru.

Benitez memang tidak membunuh gaya kick and rush, tetapi dia menambah dengan permainan lebih ofensif, hal yang tidak terjamah oleh pelatih sebelumnya, Gerard Houllier.

Ilmu melatih yang pernah dia gali di Inggris tahun 2000 mulai diterjemahkan secara perlahan-lahan ke permainan Steven Gerrard dan kawan-kawan. Ketekunannya untuk selalu membaca dan mengevaluasi taktik dan strategi permainan lawan maupun tim sendiri membuat Benitez semakin menemukan kelemahan dan kelebihan diri sendiri ataupun lawan-lawannya.

Salah satu kunci kemenangan Liverpool atas AC Milan di final Liga Champions, 25 Mei lalu di Stadion Olimpiade Ataturk, Istanbul, adalah kejelian membaca dan menerapkan strategi. Melihat timnya tak berdaya di babak pertama, Benitez lalu mengubah formasi di babak kedua dengan menggantikan Steve Finnan dengan Dietmar Hamann.

Penggantian ini membuat Liverpool hanya menyisakan tiga pemain belakang, dan sebaliknya menempatkan lima gelandang.

Ternyata, lima gelandang ini selain menambah ketajaman serangan, sekaligus mematikan serta mengunci keandalan pengatur serangan Milan, Andrea Pirlo, yang sebelumnya begitu leluasa mengirim umpan-umpan matang ke Andriy Shevchenko dan Hernan Crespo.

Sebagian besar pendukung "The Reds" dari sekitar 70.000 penonton di stadion pun akhirnya berpesta pora menyambut kemenangan timnya lewat adu penalti, 3-2, setelah dalam 120 menit imbang 3-3.

Benitez really did not walk alone. Dan, Liverpool never walk alone. (YESAYAS OKTOVIANUS)

Sumber : Kompas, Sabtu, 28 Mei 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks