Lebih Jauh Dengan Susanto Megaranto
Pewawancara : Jimmy S Harianto
KALAU dulu ia hanya pecatur kampung-jadi "ayam aduan" bapaknya di Desa Tempel, Kecamatan Lelea di Indramayu, Jawa Barat-kini Grand Master (GM) Susanto Megaranto boleh dibilang sudah menjadi pecatur kelas dunia. Setidaknya, saat ini Susanto adalah GM termuda Indonesia, yang mencapai prestasinya tersebut pada usia 17 tahun pada tahun 2004 lalu. Sebelumnya, GM termuda Indonesia adalah Utut Adianto yang mencapai prestasi tersebut pada usia 21 tahun.
Kalau awalnya Susanto dulu pecatur "tarkam" (antarkampung), pelan-pelan Susanto (kini 18) memecahkan rekor demi rekor di kancah percaturan Indonesia. Ia pecahkan rekor Master Nasional (MN) termuda pada usia 14 tahun, kemudian Master Internasional (MI) termuda saat ia berusia 16 tahun. Semula MI termuda adalah Ardiansyah, yang mencapai gelar tersebut pada usia 18 tahun. Anak kampung Indramayu ini akhirnya jadi GM termuda Indonesia, walau peringkat elo-nya (elo rating), sementara ini masih urutan ketiga di Indonesia di bawah GM Utut Adianto (2.588) ataupun MI Danny Juswanto (2.508). GM Susanto Megaranto kini baru 2.489. Peringkat elo, adalah indikator angka yang menunjukkan tingkat kemampuan mutakhir sang pecatur di kancah percaturan internasional di bawah Federasi Catur Internasional (FIDE).
Di kampungnya ia memang tidak sepopuler bintang pop lokal, penyanyi dangdut pesisiran semacam Nunung Alvi, A’as Rolani, atau bahkan yang sudah merambah nasional macam Iis Dahlia yang asal Bongas, Indramayu. Setidaknya, tukang-tukang ojek di pinggir Desa Larangan di pantura (pantai utara) Jawa Barat, sudah tahu ada jago catur di Desa Tempel. Untuk mencapai Desa Tempel yang masuk wilayah Kecamatan Lelea, Indramayu, orang harus bersusah-susah naik ojek sejauh 7 kilometer dari Larangan. Jalan menuju Tempel buruk, aspal rusak, berbatu, dan berlubang di tengah persawahan terbuka.
Dari semula pecatur aduan kelas Rp 5.000, sampai Rp 10.000-an di kampungnya saat usia 7-8 tahun, kini GM Susanto Megaranto sudah bisa membelikan kedua orangtuanya, Wasdirah dan Darsinah, sebuah rumah dua kapling jadi satu di Desa Rawa Lumbu, Bekasi, tak jauh dari kota Jakarta seharga Rp 110 juta. Bupati Indramayu menghadiahinya sebuah rumah di kota Indramayu, yang kini disewakan.
Ketika pertama kali ikut kejuaraan catur di luar negeri, kejuaraan dunia catur kelompok umur 10 tahun di Cannes, Perancis, tahun 1997, Susanto masih benar-benar "kampungan". Susanto-menurut Kristianus Liem, Direktur Sekolah Catur Utut Adianto di Bekasi tempat Susanto dibesarkan-waktu itu suka terheran-heran bila melihat pintu kaca bisa terbuka sendiri berkat peralatan sensor. Maka, setiap kali mau masuk pintu otomatis, Susanto pasang kuda-kuda jurus silat, seolah-olah ia bisa membuka pintu kaca dengan daya gaib silatnya.
Menurut kakeknya, Karminah, yang ditemui di Desa Tempel, sampai berusia 14 tahun Susanto yang lahir di Desa Tempel 8 Oktober 1987 ini masih suka disuapi oleh ibunya. Bahkan mandi pun, waktu itu masih suka dimandikan oleh sang ibu. (Susanto hanya punya satu saudara perempuan, kakaknya, Titin Supriati yang tinggal di desanya).
Proses kelahirannya sebagai pecatur hebat Indonesia saat ini tak lepas dari proses tumbuhnya sebuah Sekolah Catur Enerpac di pertokoan Roxy Mas, Jakarta Barat, dan kini berkembang jadi Sekolah Catur Utut Adianto di Bekasi, milik pengusaha peralatan berat untuk pembangunan yang dikenal "gila catur", Eka Putra Wirya. Kehebatan Susanto juga tidak lepas dari sepak terjang pecatur seusianya, Taufik Halay, yang lebih dulu dibesarkan oleh Sekolah Catur Enerpac (Sekolah Catur Utut Adianto/SCUA). Gaya bercatur dua anak hebat Indonesia ini pun seperti layaknya gaya pecatur dunia, Karpov dan Kasparov. Kalau Susanto lebih suka bercatur ala Karpov, catur positioning yang seperti menjaring lawan dengan posisi-posisi buah caturnya, maka Taufik Halay adalah pecatur bergaya menyerang seperti Kasparov.
Sekolah Catur Enerpac menurut direkturnya, Kristianus Liem, yang juga wartawan, berdiri tahun 1993. Ketika itu tempatnya masih menyewa di pertokoan Roxy Mas, Jakarta Barat. Tahun 1994, Enerpac mulai cari bibit dengan cara bikin turnamen catur antarpelajar SD se-Jabotabek. Dapatlah juaranya, Taufik Halay yang berumur 7 tahun. Ada 13 orang waktu itu yang terjaring dan dibina lebih serius. Tahun 1997, setelah sekitar tiga tahun digembleng di sekolah catur, anak-anak ini dipersiapkan untuk bertanding di kejuaraan dunia. Waktu itu, Taufik Halay dipersiapkan untuk ikut kejuaraan dunia kelompok umur 10 tahun di Cannes, Perancis. Hanya saja, ketika itu yang juara nasional adalah Susanto Megaranto. Dialah juara nasional di kelompok umur 10 tahun di kejuaraan nasional di Banda Aceh. Susanto mewakili Jawa Barat karena di Kejuaraan Daerah (Kejurda) Jabar ia mengalahkan jagoan tahun sebelumnya, Taufik Halay, yang berdomisili di Tangerang.
Siapa yang mau dikirim ke Cannes? Sekolah catur Enerpac lalu membikin pertandingan, dwitarung seribu babak namanya bekerja sama dengan Bali Jeff. Pertarungan Susanto vs Taufik Halay sangat sengit, kalah-menang, kalah-menang. Skor akhirnya seri 2-2. Permainan kedua pecatur cilik ini, menurut Kristianus Liem, bagus sekali, berbobot, seperti layaknya pertarungan Grand Master. Eka Putra Wirya, pemilik sekolah catur, dan juga pimpinan sekolah Utut Adianto, memutuskan mengirim keduanya.
Di Cannes Taufik Halay lebih baik dari Susanto, peringkat 8 dunia di kelompok umur 10 tahun, sementara Susanto di urutan ke-11. Namun, dilihat dari intensitas latihan, Susanto yang hanya berlatih dan tanding "tarkam" di kampung dinilai cukup hebat.
Sepulang dari Cannes, Eka Putra Wirya berencana membangun gedung sekolah catur sendiri di Bekasi dan tidak akan numpang lagi di pertokoan Roxy Mas. Lantai keempat, lantai teratas bangunan bertingkat sekolah itu diperuntukkan asrama bagi para pecatur berbakat. Semacam padepokan catur.
Gedung sekolah belum selesai dibangun, ayah Susanto, Wasdirah, yang bangkrut-bisnis gabah gagal, rumah disita bank-minta ikut ditarik ke Jakarta dan bersedia kerja apa saja demi mendampingi anaknya. Karena gedung sekolah di Bekasi belum jadi dan sekolah masih berada di Roxy Mas Jakarta Barat, maka Susanto dan keluarganya disewakan rumah tiga lantai di daerah Grogol, Jakarta Barat, tak begitu jauh dari Roxy Mas yang cukup bagus seharga Rp 20 juta per tahun. Susanto hampir setiap hari berlatih dan Sabtu serta Minggu dipertandingkan. Ada juga pelatih asing dari Rusia, Nikolay Andrianov. Pecatur-pecatur putri, seperti Upi Damayanti Tamin, juga dilatih pelatih catur Rusia ini.
Tahun berikutnya, 1998, di kejuaraan dunia masih juga Taufik Halay yang terbaik dari Indonesia, di peringkat 4-10 dunia. Susanto turun ke-18 dunia. Tahun 1999 Susanto mengambil alih, ia peringkat 3 dunia di kejuaraan dunia kelompok 12 tahun. Tahun 2000, ganti Andrian Susilodinata peringkat ke-7. Tahun 2001, Susanto ambil alih lagi nomor 5 dunia, dan Andrian nomor 6.
Sejak tahun 1999 Susanto menggebrak percaturan nasional. Ia memecahkan beberapa rekor "termuda". Ia jadi MN termuda, MI termuda, dan tahun 2004 GM termuda di Indonesia.
Hidup Susanto berubah. Dari semula tinggal di rumah yang sederhana di desanya, Susanto kini sudah bisa membeli rumah lumayan bagus, dua kapling jadi satu, di Desa Rawa Lumbu, Bekasi, Jawa Barat. Telepon seluler pun sudah beberapa kali ganti, sudah punya laptop segala. Diam-diam, pecatur kampung ini sudah main internet pula.
Susanto selain kurang "budaya baca" serta analisisnya, menurut para pengamat catur, perlu didampingi seorang sekondan yang selalu menganalisis langkah-langkah, maupun strateginya di dalam maupun di luar catur. Susanto saat ini masih kelewat lugu dan mudah tertinggal lawan apabila tidak terus memperbaiki dirinya setiap kali bertanding. Ini terlihat belum lama lalu, ketika ia tampil di dwitarung melawan GM terbaik di Asia Tenggara saat ini, GM Dao Thien Hay dari Vietnam. Semula ia unggul, 2-0. GM Dao lama-lama bisa membacanya, serta membingungkan Susanto, sampai akhirnya Dao unggul akhir 5-4 dalam dwitarung berhadiah di Jakarta. Walau begitu, tanpa pendekatan ilmiah, Susanto sudah bisa mengimbangi Dao dengan baik. Kalau saja lebih ilmiah, Susanto bakal jago.
Bayar sekondan? Wah, kalau sekondan dari luar negeri semacam Nikolay Andrianov, setidaknya harus bayar 1.500 dollar AS sebulannya. Tidak hanya bayar gaji sekondan, pecatur hebat semacam GM Anand dari India, atau bahkan pecatur top dunia semacam Karpov ataupun Kasparov, juga harus bayar sebagian dari hadiah yang ia dapat di pertandingan internasional. Tidak banyak pecatur yang mampu menyewa sekondan. Bahkan GM hebat Indonesia, seperti Utut Adianto, yang pernah menjadi GM Super (yang peringkat elo-nya di atas 2.600-an) hanya mampu "menyewa" sekondan secara musiman, setiap akan bertanding di event tertentu saja. Sekondan tidak harus lebih hebat prestasinya. Nyatanya, Karpov yang GM pun sampai saat ini sekondannya hanya seorang MI, Mikhail Podgaet. Yang penting, menurut pendapat Karpov, seorang sekondan diperlukan ide-ide gilanya. Perlu ide langkah-langkah baru yang tidak hanya sekadar baru atau gila, tetapi ada dasar filosofinya, reasoning-nya, tujuannya. Demikian pula GM Kasparov yang sekondannya "cuma" seorang GM Yuri Dokoyan yang prestasi caturnya biasa-biasa saja. Utut Adianto juga pernah "menyewa" GM Eugene Torre dari Filipina, menjelang kejuaraan dunia di Groningen, Belanda, tahun 1998. Utut menyewa semusim saja, sekitar 4-6 bulan. Menjelang kejuaraan di Tripoli tahun lalu, Utut juga "menyewa" Tigor Karolyi yang hanya seorang MI, namun hebat teori pembukaan caturnya. Pecatur seperti Tigor sering melakukan survei tentang langkah-langkah pembukaan yang dilakukan pecatur-pecatur dunia dalam majalahnya. Ia rajin mempelajari perkembangan. Tentu tak ada waktu cukup banyak bagi para pecatur petanding, seperti halnya Susanto, untuk mempelajari perkembangan sendirian.
Berikut ini, sekelumit wawancara Kompas dengan Susanto Megaranto dan juga ayah Susanto, Wasdirah (WD), yang dilakukan di Bandung pekan lalu, saat Susanto tengah mengikuti sebuah turnamen yang diselenggarakan oleh PT Telkom, sebuah turnamen berhadiah total sekitar Rp 70 juta.
Bagaimana awal mula ceritanya, sampai tertarik bermain catur?
Saya melihat ada anak yang lebih kecil dari saya bisa bermain catur. Saya lalu minta diajari main catur (oleh bapaknya). Bapak main catur, juara kecamatan. Setelah bisa main, sering diajak main bapak ke kampung-kampung. Ada kalah ada menang. Waktu itu saya sekitar tujuh tahun.
Suka pakai taruhan?
Paling besar Rp 5.000. Di sana (di Indramayu), kalau main tidak ada taruhannya, orang tidak mau main. Mau kalah, mau menang, yang penting saya main saja. Taruhan, hanya untuk spirit (menambah semangat) saja....
Mulai tanding beneran di kejuaraan-kejuaraan?
Mulai umur 7,5 tahun, di Kejurda Jawa Barat di kelompok umur 12 tahun. Saya juara II, kalah lawan Taufik Halay. Itu tahun 1995. Lalu Kejurnas di Palangkaraya (1995). Saya ikut di kejuaraan kelompok umur 12 tahun, dapat juara III. Taufik Halay waktu itu urutan ke-11. Sebenarnya saya masih bisa main di kelompok umur 10 tahun karena umur masih 7,5 tahun. Tetapi saya ikut yang 12 tahun. Juaranya dari Jawa Tengah, Aswin, dia sudah SMP, sudah 12 tahun.
Tahun 1997 kejurda lagi di Bandung. Saya juara I di kelompok umur 12 tahun. Saya mengalahkan Taufik Halay. Lalu kejurnas di Banda Aceh (1997), saya juara I di kelompok 12 tahun, lalu masuk ke sekolah catur.
Sekolah catur waktu itu sudah menyiapkan Taufik Halay untuk kejuaraan dunia di Cannes (1997). Kenapa akhirnya Santo dikirim ke kejuaraan tersebut?
Kami ditandingkan dulu, dwitarung, di kejuaraan catur seribu babak. Hasilnya 2-2 (dengan Taufik Halay). Waktu itu pertandingan di KONI DKI Tanah Abang. Empat orang akhirnya dikirim ke Perancis, termasuk saya dan Taufik Halay. Saya ikut kelompok umur 10 tahun, meski saya belum 10 tahun. Saya dapat urutan ke-11 dan Taufik Halay ke-9. Sebelum ke Perancis, bulan November, saya ditarik Pak Eka Putra Wirya ke sekolah catur (Enerpac di Roxy Mas), sebulan sebelum ke Perancis.
Andai saja tidak jadi pecatur, apa keinginanmu?
Pengin masuk ABRI (Tentara Nasional Indonesia-Red). Sekarang pun masih pengin, tetapi enggak bisa. Karena saya harus main catur. Saya sering baca-baca sejarah, maka tertarik jadi ABRI.
Dalam dwitarung dengan GM Dao Thien Hay kamu sudah unggul dulu 2-0, tapi kemudian kalah 4-5. Kenapa?
Saya harus banyak belajar lagi teori pembukaan, opening. Saya perlu baca-baca buku lagi, sama main catur komputer.
Perlu sekondan yang bisa menganalisis permainanmu?
Ya. Perlu orang yang bisa menganalisis. Dan kalau jadi, saya akan ke Eropa, tinggal di Belanda dua bulan atas sponsor Japfa. Di Eropa banyak turnamen, tinggal milih ikut turnamen yang bagus untuk saya. Mungkin sekitar bulan Juni nanti. Targetnya menambah rating saya, sekarang rating saya 2.489 setelah Olimpiade Spanyol kemarin. Sebelum Spanyol, 2.437. Saya ingin menambah permainan saya, dan meningkatkan rating.
Pecatur idolamu?
Karpov. Dia main posisi. Lebih suka dia dari Kasparov. Main terlalu menyerang risikonya banyak. Main posisi lebih tenang. Cara penempatan buah-buah Karpov, menempati posisi, saya suka. Kalau Kasparov kan tidak mengenal posisi, dia asal main korban-korban. Saya pelajari partai-partai Karpov. Rata-rata permainan dia bagus.
Kakek mengatakan di kampung kamu sering "ngebosi" (membelikan) kaus sepak bola untuk anak-anak kampung? Memang suka main bola?
Ya, saya suka main bola. Saya suka AC Milan. Saya suka (Francisco) Totti.
(WD) Kalau malam ia suka nonton bola, dan koran (yang ada beritanya bola) juga dia beli. Saya suka bilang sama dia. Catur sudah di depan mata. Kalau suka bola jangan hanya jadi penonton bola, tetapi pemain bola. Dia dulu juga main bola, tetapi ya bola kelas kampung saja."
Dulu ia sering dibawa keliling kampung untuk main catur...?
(WD) Kalau dengar di kampung lain ada yang pintar main catur, saya kejar. Saya mainkan lawan Santo. Diadu. Memang, mereka mainnya tanpa teori. Tetapi karena lawan orang dewasa, saya harapkan Santo mentalnya kuat menghadapi orang-orang yang sudah lebih dewasa dari dia. Dia sudah saya tandingkan sejak umur tujuh (7) tahun, sejak kelas II SD. Tidak sampai puluhan ribu. Kan Santo tidak punya duit, kalau taruhan sampai puluhan ribu. Sering ada orang dari kabupaten datang, menantang catur. Ada malah yang dari Jakarta mengajak taruhan. Kadang mereka maksa. Pernah, ketika ia masih delapan tahun, orang Jakarta datang menantang. Santo belum mandi, menang tiga kali. Setelah Santo lagi mandi, saya yang hadapi, kalah tiga kali. Uang hasil menang Santo kembali lagi sama yang menantang...
Ada orang dari kabupaten yang kabarnya mengatakan, kalau saja Santo tidak jadi pecatur seperti sekarang ini, dia bakal angon (menggembala) bebek...
(WD) Bisa jadi juga. Tetapi, yah, sebenarnya sedikit-sedikit saya di kampung masih punya tanah. Masih adalah. Kalau tinggal di kampung mah, asal makan cukup. Setelah di Jakarta? Wah terkejut juga. Selain mahal, di Jakarta banyak penjegal-penjegal. Di kampung tidak ada akal jahat. Jakarta kejam, hak orang lain bisa-bisa diambil.
Terpaksa ke Jakarta karena usaha jual beli gabah, bangkrut. Kalah saingan. Saya enggak punya pabrik, sementara penjual lain punya pabrik. Pinjam bank Rp 10 juta enggak bisa mengembalikan. Karena tidak punya modal, ya rumah disita. Setelah bangkrut, kemudian menjadikan Santo. Kalau saja bisnis saya jadi, belum tentu Santo jadi seperti sekarang ini....
Sumber : Kompas, Minggu, 29 Mei 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment