HAM Ruslan, dari Wartawan ke Dunia Politik
Oleh : Dwi Bayu Radius
DUNIA kewartawanan dan politik dapat dikatakan merupakan dua hal yang jauh berbeda. Salah satu fungsi wartawan adalah melakukan kontrol terhadap pejabat politik. Namun, kedua profesi yang bertolak belakang itu dapat dijalani dengan baik oleh H Abdullah Muchamad Ruslan, wartawan harian Pikiran Rakyat Bandung sekaligus Ketua DPRD Jawa Barat.
HARI ketika Ruslan dilantik menjadi anggota DPRD Jabar dari Fraksi Partai Golkar yang keempat kalinya merupakan saat yang berkesan. Hari itu bertepatan dengan ulang tahun ke-56 Ruslan yang lahir di Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, tanggal 30 Agustus 1948.
"Ya, saya merasa bahwa Tuhan memberi amanat lagi kepada saya. Bersamaan dengan itu, tiba waktunya masa pensiun saya," kata Ruslan yang telah dinonaktifkan dari jabatan wakil pemimpin umum sekitar enam bulan lalu.
Proses tersebut diawali dengan terpilihnya Ruslan dalam Rapat Pleno Dewan Pimpinan Daerah Fraksi Partai Golkar Jawa Barat sebagai calon Ketua DPRD. Kemenangan akhirnya dicapai dengan perolehan 67 suara, disertai dukungan penuh dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat.
Ketika terpilih menjadi Ketua DPRD Jabar, hal yang terlintas adalah beban berat dan amanat yang harus diemban, apalagi mengingat Jawa Barat yang tanpa henti dirundung bencana alam dan wabah penyakit.
DIA mengungkapkan, prinsip yang selalu dipegangnya dalam berhubungan dengan rekan-rekan maupun narasumbernya adalah selalu bersikap rendah hati. "Saya tidak merasa pintar, tidak merasa ada kelebihan dari orang lain. Tidak perlu ada yang perlu disombongkan," katanya.
Prinsip lain adalah berkomunikasi dengan rekan sejawat di DPRD Jabar. Ini merupakan kunci penting untuk membina kebersamaan sehingga DPRD Jabar dapat menjalankan fungsinya.
Komunikasi tidak hanya dilakukan kepada yang lebih tua. Bahkan Ruslan menganggap bisa lebih banyak mendapatkan pengetahuan dan semangat dari rekan-rekannya yang lebih muda.
"Orang-orang yang membersihkan ruangan kalau disapa akan senang. Kita jangan merasa lebih tinggi dari mereka. Seribu teman masih kurang, satu musuh terlalu banyak," tutur Ruslan mengutip prinsip hidupnya.
Dalam masa kepemimpinan Ruslan, sejumlah hal sudah dikerjakan. Antara lain, mendorong Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar untuk menyediakan dana korban bencana longsor sampah di Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah.
Kemudian, mengkritik program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis tahun 2004 yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Kenyataan tersebut membuat pihak Komisi B DPRD Jabar menunda disetujuinya pengeluaran dana Rp 25 miliar untuk Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis tahun 2005.
Ruslan menyadari kinerja DPRD Jabar belum optimal. Mengingat itu, dia mengharapkan masyarakat menilai dan memberi tahu kekurangan lembaga tersebut. "Bagaimanapun juga pengawasan harus terus ditingkatkan dan bukan bermusuhan dengan sesama anggota DPRD atau Pemprov Jabar. Tetapi kritik harus terus dilancarkan," kata Ruslan.
LATAR belakang keluarga yang menggeluti bidang politik, diakui Ruslan, memengaruhi kariernya. Sang ibu, Hj Maryam, adalah anggota DPR dari Partai Nahdlatul Ulama dan ayah Ruslan, yaitu Kanta Supena, adalah pegawai Biro Hukum Pemprov Jabar.
Seusai menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bandung tahun 1968, Ruslan berkeinginan menjadi diplomat.
Dia lalu bermaksud mendaftarkan diri ke perguruan tinggi bidang diplomat. Namun, karena tidak sabar, Ruslan juga mendatangi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unpad dengan tujuan mengambil jurusan politik. Kenyataannya, tidak ada jurusan semacam itu di Fisip Unpad sehingga Ruslan mengalihkan pilihannya kepada fakultas publisistik.
Awal karier sebagai wartawan dijalani sejak tahun 1974, setelah menyelesaikan pendidikan sarjana. Di sela-sela kesibukannya Ruslan masih menyempatkan waktu bermalam Minggu bersama Hettie Dhianawaty yang dinikahinya tahun 1975.
Maksud menikah sempat terganjal ayah Hettie yang bekerja sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Madya Sukabumi. Sang mertua pada mulanya meragukan profesi Ruslan karena banyak wartawan tanpa identitas jelas mondar-mandir di Kantor Dinas PU.
"Ketika itu beliau bertanya, apa betul mau jadi wartawan. Ya, saya sudah jadi wartawan. Memang diterima, tetapi tidak seluruhnya dulu," ujar Ruslan.
PENGALAMAN sebagai wartawan memudahkan Ruslan untuk menjalin hubungan dengan anggota DPRD Jabar. Ketika terpilih dalam pemilu legislatif, dia sudah tidak canggung lagi bergaul dengan sesama anggota DPRD atau pejabat Pemprov Jabar karena sudah saling kenal.
Kegemaran berorganisasi membuat Ruslan mulai meniti karier politiknya sebagai anggota staf pada Biro Media Massa Partai Golkar tahun 1984. Dia lalu menjabat sebagai anggota DPRD dari daerah pemilihan Kabupaten Bandung sejak tahun 1992.
Ketika banyak pengurus partai meninggalkan Golkar pada awal reformasi, Ruslan tetap pada pendiriannya untuk tidak meninggalkan partai itu. Sebab, banyak masalah yang perlu dibenahi dan bukan untuk ditinggalkan.
Dari keempat anaknya, tidak ada satu pun yang tertarik untuk mengikuti perjalanan Ruslan di bidang politik maupun kewartawanan. Anak pertama, yaitu Iva Fitria, sedang menyelesaikan pendidikan kedokteran di Unpad.
Adapun anak kedua dan ketiga, yaitu Anisa Maryama dan Muchamad Heikal, masing-masing mengambil Jurusan Planologi Institut Teknologi Bandung dan Hubungan Internasional Unpad. Ruslan telah menyelesaikan tiga buku, yaitu Bunga Rampai-Catatan Seorang Wartawan, Dari Hari ke Hari, dan Perjalanan dari Manonjaya ke Haratul Lisan. (Dwi Bayu Radius)
Sumber : Kompas, Jumat, 27 Mei 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment