A Simanjuntak Bangunkan Pemuda
Oleh : Frans Sartono
Bangun Pemudi Pemuda Indonesia
Tangan bajumu singsingkan untuk Negara
Masa yang akan datang kewajibanmulah
Menjadi tanggunganmu terhadap Nusa....
Itu lirik lagu Bangun Pemudi Pemuda gubahan Alfred Simanjuntak pada tahun 1943 saat ia berusia 23 tahun. Pada 8 September mendatang lelaki kelahiran Desa Parlombuan, Tapanuli, Sumatera Utara, itu akan genap berusia 86 tahun. Ia masih tampak segar, dan terus bernyanyi.
Lagu gubahannya itu masih tetap dikumandangkan. Termasuk oleh band Cokelat pada album Untukmu Indonesia-ku. Juga oleh Paduan Suara Anak-anak Surya dalam album Kumpulan Lagu Wajib Indonesia Raya.
Alfred berharap orang bisa menghayati lagu itu seperti ketika ia menulisnya lebih dari 60 tahun silam. Bangun Pemudi Pemuda digubahnya dalam suasana batin seorang anak muda yang gundah di negeri yang sedang terjajah.
"Rasa ingin merdeka kuat sekali di kalangan anak muda saat itu. Kalau ketemu kawan, kami saling berucap salam merdeka!" tutur Alfred Simanjuntak di rumahnya di kawasan Bintaro, Tangerang, Banten.
Ketika menulis lagu tersebut Alfred bekerja sebagai guru Sekolah Rakyat Sempurna Indonesia di Semarang. Sekolah dengan dasar jiwa patriotisme itu didirikan oleh sejumlah tokoh nasionalis seperti Dr Bahder Djohan, Mr Wongsonegoro, dan Parada Harahap. Obsesi akan kemerdekaan negeri itu terus memenuhi benaknya hingga suatu kali ketika sedang mandi muncullah gagasan lagu berikut kerangka melodinya. "Saya cepat-cepat mandi, lalu saya tulis segera," kisahnya.
Lagu tersebut nyaris mengancam jiwa Alfred. Gara-gara lagu itu, nama Alfred Simanjuntak masuk daftar orang yang dicari Kempetai, polisi militer Jepang.
"Saya diberi ucapan, ’Selamat, Pak Siman masih hidup.’ Dia melihat nama saya di daftar Kempetai. Suatu ketika saya akan dihabisi karena lagu itu sangat patriotik," tutur Alfred yang sering disapa Pak Siman.
Nasionalisme
Alfred lahir di antara delapan bersaudara putra pasangan Guru Lamsana Simanjuntak-Kornelia Silitonga. Di masa kecil ia hidup bersahaja tapi bahagia. "Kami makan nasi, daun singkong, dengan lauk ikan asin sebesar jari. Ikan itu masih harus dibagi tiga. Setiap anak cuma dapat segini," tutur Alfred sambil menunjukkan ujung jari.
Ia tetap mensyukuri ikan asin yang cuma seujung jari itu. Ia tetap hidup dalam sukacita. Itu terlihat dari kegemarannya bernyanyi. Alfred sering tampil bernyanyi di acara Natal sejak duduk di Hollands Inlandsche School (HIS) di Narumonda, Porsea, Tapanuli Utara.
Wawasan musik Alfred berkembang ketika ia dikirim ayahnya belajar di Hollands Inlandsche Kweek School atau semacam sekolah guru atas di Margoyudan, Solo, Jawa Tengah, pada tahun 1935-1942. Di sekolah itu pula wawasan nasionalisme Alfred menguat. Di sekolah itu tercatat siswa dari berbagai latar suku dan budaya, seperti Manado, Ambon, Batak, Jawa.
"Di Solo, kami kadang berkumpul dengan kawan-kawan dari berbagai daerah. Rasa percaya diri kami sebagai satu bangsa sudah tertanam kuat," kenang Alfred yang fasih berbahasa Jawa ketika tinggal di Solo.
Bakat musik dan jiwa patriotik Alfred kemudian melahirkan lagu Bangun Pemudi Pemuda, Indonesia Bersatulah. Sewaktu terjadi pemberontakan PRRI/Permesta dan Republik Maluku Selatan (RMS) sekitar tahun 1957-1960, lagu-lagu tersebut sering diperdengarkan oleh Radio Republik Indonesia.
Tahun 1950-1952 Alfred kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan melanjutkan studi ke Leiden, Belanda. Ia bekerja di penerbit BPK Gunung Mulia, Jakarta. Akan tetapi, ia tetap aktif di musik. Alfred ikut merintis berdirinya Yayasan Musik Gereja (Yamuger) pada tahun 1967. Ia ikut memprakarsai Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani).
Alfred juga terus menulis lagu, termasuk lagu rohani. Pada tahun 1980, ketika Pancasila dijadikan asas tunggal, Alfred menulis lagu Negara Pancasila. Belakangan seiring dengan tumbuhnya partai-partai baru Alfred diminta untuk menggubah Himne Partai Kebangkitan Bangsa. Alfred bahkan pernah menulis lagu dalam irama dangdut, Terumbu Karang. Lagu itu ditulis atas permintaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang akan disosialisasikan kepada masyarakat di kawasan pesisir Riau, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.
Alfred kini adalah ompung, kakek dari 11 cucu yang lahir dari empat anaknya, yaitu Aida, Toga, Dorothea, dan John. Putri sulungnya, Aida Swenson-Simanjuntak, dikenal sebagai penggiat kelompok Paduan Suara Anak Indonesia.
Alfred masih memikirkan negeri ini seperti di masa muda, ketika ia dan kawan-kawannya dari berbagai daerah mengimpikan berdirinya sebuah Indonesia yang merdeka, di tengah negeri yang, kata dia, sedang bingung. Ia mengingatkan bahwa dulu kaum muda mampu menyatukan perbedaan untuk mendirikan sebuah Indonesia.
"Ingat, dasar keberadaan negeri ini ada di Pancasila. Dari berbagai suku, agama, dan lainnya kita bersatu dalam Pancasila. Itu jangan ditawar-tawar lagi," ujar Alfred pula.
Sumber : Kompas, Sabtu, 19 Agustus 2006
Jun 15, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment