Merintis Jalan Setapak
Oleh : Maria Hartiningsih
Selama puluhan tahun kesehatan jiwa dikonstruksikan ke dalam teori-teori sempit dalam kerangka klinis. Akibatnya, rumah sakit jiwa menjadi semacam "suaka" bagi penderita gangguan kejiwaan, dan tidak menyelesaikan persoalan besar di baliknya.
Situasi itu menyebabkan Dr Pandu Setiawan SpKj (61) terlibat dalam perenungan panjang setelah mengalami berbagai benturan sejak awal bekerja sebagai psikiater.
"Banyak variabel pada masyarakat yang tidak dikuasai, tetapi sangat memengaruhi perbaikan orang yang terganggu kesehatan jiwanya," ujarnya. "Diperlukan outreach ke masyarakat, dan ini tak cukup dengan disiplin psikiatri saja."
Meski belum ada studi komprehensif yang menunjukkan keterkaitan langsung antara gangguan kejiwaan dan masalah ekonomi-sosial-politik, berbagai fakta sudah menunjukkan pengaruh tersebut. Jadi, tak mengada-ada kalau Konvensi Kesehatan Jiwa Nasional II tahun 2003 bertema "Our Nation at Risk".
Beberapa tahun terakhir, keterkaitan itu semakin tampak. Bagian Pelayanan Gangguan Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas, misalnya, menerima lonjakan pasien gangguan jiwa sampai 65 persen pasca-Lebaran. Kebanyakan pasien baru itu bekerja sebagai perantau, buruh migran, atau bekerja di luar daerah. Fakta seperti ini bisa dirunut ke belakang, terkait dengan masalah politik.
"Terlalu jemawa kalau menganggap seluruh spektrum pelayanan dapat dilakukan rumah sakit jiwa," lanjut Pandu.
Rumah sakit jiwa (RSJ) di Indonesia hanya memiliki sekitar 8.000 tempat tidur. "Kalau RSJ ditempatkan pada puncak piramida pelayanan, jumlah itu sangat tidak memadai," katanya. "Apalagi 40 persennya diisi pasien yang layak pulang, tetapi tidak bisa karena keluarga dan masyarakat tak siap."
Alokasi anggaran kesehatan jiwa saat ini di bawah 1 persen dari seluruh anggaran kesehatan. Di banyak negara, investasi untuk RSJ masih berkisar 60-90 persen, sedangkan di Indonesia sampai 90 persen.
De-institusionalisasi
Bersama Jaringan Komunikasi Kesehatan Jiwa (Jejak Jiwa)—gerakan lintas disiplin untuk kesehatan jiwa masyarakat sejak tahun 2003—Pandu dan kawan-kawan berusaha membuka lebih banyak ruang, agar soal kesehatan jiwa dipahami secara lebih utuh. Tak bisa lain, sekat-sekat yang mengurung soal itu dalam pemahaman sempit, klinis-medis, harus diterobos.
Pada saat bersamaan sebenarnya juga tengah berlangsung gerakan global yang mendorong de-institusionalisasi dalam psikiatri. "De-institusionalisasi bukan de-hospitalisasi, atau mengeluarkan pasien begitu saja dari RSJ. Masyarakat harus disiapkan dulu," tutur Pandu.
Persiapan itu meliputi spektrum yang luas, tak terbatas teknis "kedaruratan" pelayanan. Namun, harapan tinggi pada keterlibatan komunitas itu berhadapan dengan proses sosial yang lumayan rumit. "Harus dipikirkan satu opsi, seperti menyediakan rumah singgah, di mana peran keluarga dan komunitas lebih besar dari peran rumah sakit," sambungnya.
De-institusionalisasi berangkat dari kritik terhadap pemecahan masalah yang rasionalistik dalam ’paradigma’ psikiatri, dan mengembangkan suatu proses sosial yang kompleks. Ini melibatkan seluruh subyek dalam kesehatan jiwa, termasuk pasien sebagai peserta aktif.
Hal itu mensyaratkan perubahan relasi kuasa antara pasien, warga, dan lembaga RSJ, yang mereduksi peran dan kemampuan komunitas. Harus diciptakan bentuk pelayanan yang mengubah peran RSJ sebagai satu-satunya agen pelayanan kesehatan jiwa. Inilah yang membuat tempat itu menjadi "suaka" bagi penderita gangguan kejiwaan.
Pandangan tentang pasien harus didekonstruksi. Bukan lagi dilihat sebagai obyek arfisial yang sakit karena penderitaan pasien pada saat tertentu memiliki hubungan dengan masyarakat secara keseluruhan.
Reformasi tingkat pelayanan dengan merealokasikan sumber-sumber daya di dalamnya secara proporsional berada dalam konteks itu. Dengan pengertian ini, de-institusionalisasi dalam kesehatan jiwa bukan sekadar dampak dari keterbatasan anggaran.
Gerakan yang dimotori Pandu bersama teman-teman itu adalah jalan setapak untuk mendorong perhatian publik pada soal kesehatan jiwa. Tak hiruk-pikuk, tetapi sangat krusial. Itulah samudra luas yang diarunginya, "tamasya panjang" tanpa ujung pada masa pensiun.
"Ataraxis"
Diluncurkan pada 24 Oktober 2007, seusai pertemuan regional Global Forum for Mental Health di Jakarta, proses penerbitan jurnal kesehatan jiwa Ataraxis—dari bahasa Yunani: ketenteraman jiwa—dimulai sejak 2001.
Lewat serangkaian Konvensi Nasional, Jejak Jiwa mengundang penelitian epidemiologi masalah derita kejiwaan, melampaui batas-batas tradisi keilmuan dan profesi psikologi dan psikiatri, termasuk kemungkinan tersangkut pautnya proses dan kejadian-kejadian sosial sebagai situs-situs penekan dan pengganggu.
Mereka juga melakukan serangkaian diskusi dengan para ahli lintas disiplin untuk membahas, memetakan persoalan kesehatan jiwa, kemudian mengembangkan kerangka analitik pluri-disipliner kesehatan jiwa.
Jejak Jiwa memperkenalkan empat kuadran intervensi kesehatan jiwa jangka panjang. Ini mencakup pengembangan pengetahuan kritis tentang kesehatan jiwa, pemetaan dan penilaian berkala dari kondisi-kondisi yang berpengaruh pada kesehatan jiwa, serta tindakan kolaboratif strategis dan pengembangan dukungan publik untuk penanganan kesehatan jiwa.
"Psikiater dan psikolog tak bisa lagi mengklaim sebagai yang paling berhak mendefinisikan kesehatan jiwa," kata Pandu mengingatkan. "Dalam implementasinya, kesehatan jiwa adalah istilah yang dapat diinterpretasikan sangat luas, kontekstual, dan memiliki kepekaan kultural."
Salah satu faktor pengubah risiko di Indonesia adalah proses-proses sosial yang jauh lebih rumit dari mekanisme dan bangunan institusi-institusi pengelolaannya. Tingginya keragaman representasi sosial di pulau-pulau di Indonesia terbukti rawan terhadap konflik sosial.
Sumber pemicu lain, lanjut Pandu, terkait dengan meluasnya wilayah distress. Ruang hidup yang menjamin ketersediaan syarat-syarat keselamatan dan keamanan tak hanya rontok, tetapi juga menciptakan pemaafan terhadap praktik-praktik sosial yang menolak solidaritas tanpa syarat pada manusia. Dalam konteks itu jurnal Ataraxis dilahirkan.*
Sumber : Kompas, Sabtu, 10 November 2007
Jun 1, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment