"Akhir yang Bahagia" Perjalanan Henin
Oleh : Yulia Sapthiani
Catatan perjalanan Justine Henin tahun ini diawali cerita kelam ketika ia bercerai dengan suaminya, Pierre Yves-Hardenne, hingga harus absen di Australia Terbuka. Tetapi kisah sedih itu berbuah kebahagiaan pada akhir tahun, ketika Henin mengukuhkan diri sebagai petenis terbaik dengan menjuarai Sony Ericsson Championships.
Pada partai final yang berlangsung selama tiga jam 25 menit, Minggu (11/11), Henin mengalahkan Maria Sharapova, 5-7, 7-5, 6-3. Pertandingan ini bahkan tercatat sebagai partai final terlama dalam turnamen berhadiah total 3 juta dollar AS tersebut.
Dengan hasil itu, untuk kedua kalinya Henin menjuarai turnamen yang hanya diikuti delapan petenis dengan peringkat terbaik. Tahun lalu, petenis Belgia itu sukses pada turnamen yang sama setelah mengalahkan Amelie Mauresmo di final.
Sejumlah catatan rekor pun ditorehkan Henin. Ia menyamai prestasi rekan senegaranya Kim Clijsters, yang berhasil mempertahankan gelar juara pada tahun 2003, setelah ia pertama kali juara pada 2002. Selain itu, Henin juga menyamai prestasi Martina Hingis yang meraih 10 gelar dalam satu tahun, yaitu pada 1997.
Daftar itu masih bertambah dengan rekor tak terkalahkan dalam 25 pertandingan berturut-turut sejak Wimbledon, seperti yang dilakukan Steffi Graf tahun 1998. Henin juga menjadi petenis putri pertama yang mengumpulkan hadiah lebih dari 5 juta dollar AS dalam setahun.
"Tahun ini menjadi tahun penuh emosi," kata Henin menggambarkan perjalanan kariernya pada tahun ini.
Tatkala petenis lain telah memulai petualangannya sejak Januari, Henin harus berkutat dengan masalah perceraian setelah menikah selama lima tahun.
Dia baru memulai perjalanan kompetisinya tahun ini pada pertengahan Februari. Namun masalah pribadi yang dialaminya itu seperti tak menjadi kendala. Pada penampilan perdana di Paris, Henin memang belum bisa tampil maksimal ketika tersingkir pada semifinal.
Setelah itu, barulah petenis mungil ini mulai menunjukkan ketangguhannya dengan meraih gelar pada dua turnamen berturut-turut, yaitu di Dubai dan Doha.
Di arena grand slam, sukses Henin dimulai di Perancis Terbuka ketika untuk keempat kalinya dia menjadi yang terbaik di lapangan tanah liat yang menjadi favoritnya itu. Meraih gelar di hadapan keluarga yang menyaksikan langsung penampilannya, dinilai Henin menjadi salah satu momen indah.
Tersingkir
Tetapi setelah itu, Henin tersingkir di semifinal Wimbledon. "Kekalahan di sana adalah yang paling menyakitkan. Namun, peristiwa itu menjadi momen kebangkitan saya untuk juara di AS Terbuka," cerita Henin mengenai kejadian-kejadian emosional yang dilaluinya.
Perjalanan yang tidak mudah bagi Henin berlanjut hingga ke Madrid. Tak pernah kalah satu set pun di pertandingan babak penyisihan grup dan semifinal, Henin justru langsung kehilangan set pertama dari Sharapova.
Tetapi setelah itu, untuk kesekian kalinya ia membuktikan diri sebagai petenis tangguh, tak hanya dari fisik dan teknik, tetapi juga mental. Sempat putus asa saat kalah di set pertama, Henin bangkit pada dua set berikutnya.
Pada set terakhir, mental juaranya semakin nampak. Berbeda dengan Sharapova yang justru semakin banyak membuat kesalahan di saat genting. Henin pun tak terlihat lelah meski menjalani pertarungan panjang.
Kekuatan fisik menjadi salah satu faktor sukses Henin. Dia pernah mengatakan, tahun ini dia berhasil terhindar dari cedera hingga bisa tampil maksimal dalam setiap turnamen.
Lihat saja hasil yang diperoleh petenis yang mulai berlatih di klub sejak berusia enam tahun ini. Dari 14 turnamen, 10 gelar juara diraihnya. Sisanya, sekali menjadi finalis dan tiga kali "hanya" lolos ke semifinal.
Dengan prestasi itu pulalah Henin menjadi petenis pertama yang dinyatakan lolos ke arena Sony Ericsson Championships yang hanya boleh diikuti delapan petenis terbaik. Perolehan nilainya dari 13 turnamen sebelum lolos ke Madrid adalah 5.405 angka, jauh melebihi 4.097 angka milik Jelena Jankovic yang mendapatkannya dari 27 turnamen.
Berbeda dengan Jankovic yang lebih senang bertanding di banyak turnamen, Henin termasuk petenis yang jeli memilih kejuaraan yang akan diikuti.
Faktor keluarga
Selain kekuatan diri pribadi, keberadaan orang-orang dekatnya menjadi faktor penting. Jadi, tak heran jika Henin langsung berlari menuju tribun penonton untuk memeluk orang-orang yang selama ini selalu mendukungnya, setelah ia mengalahkan Sharapova.
Sebelum tampil di Madrid, Henin sempat berkumpul dengan keluarga. Hal yang selama ini jarang dilakukannya.
Usai memenangkan gelar pada turnamen di Zurich, ia berisitrahat selama empat hari di rumahnya, di Monte Carlo. Henin pun mendapat kunjungan saudara laki-lakinya, David. Setelah itu, Henin berangkat ke tanah kelahiran, Belgia. Usai mengikuti pertandingan eksebisi bersama Stefi Graff, Andre Agassi, dan Goran Ivanisevic, ia kembali bersama keluarga.
Berkumpulnya Henin dengan keluarga saat itu berlangsung setelah yang pertama Mei lalu. Itu pun terjadi secara tak sengaja saat David mengalami kecelakaan mobil.
"Menyenangkan sekali bisa berkumpul keluarga. Saya sangat membutuhkan momen itu. Apalagi, setelah lelah fisik dan mental karena mengikuti banyak turnamen," ujarnya.
"Terapi" berkumpul keluarga ternyata memberikan hasil. Sepekan kemudian, ia menutup perjalanan akhir tahun dengan menjuarai turnamen elite Sony Ericsson Championships.
Selain keluarga, Carlos Rodriguez juga menjadi orang dekatnya. Ia adalah pelatih yang mendampingi Henin sejak anak didiknya itu berusia 14 tahun.
Setelah hubungan dengan sang ayah memburuk karena konflik, ditambah perceraian dengan Hardenne, Rodriguez kini tak sekadar berperan sebagai pelatih. Pria asal Argentina itu seperti ayah kedua buat Henin.
Rodriguez pula yang menjadikan Henin petenis dengan kemampuan teknis cukup lengkap, termasuk backhand satu tangan yang menjadi senjatanya. Dengan kemampuannya itu, Henin dijuluki sebagai Federer-nya petenis putri.
Sumber : Kompas, Selasa, 13 November 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment