Adrianus Meliala, Profesor Kriminologi
Oleh : R Adhi Kusumaputra
Nama Adrianus Meliala identik dengan persoalan kejahatan. Kriminolog dari Universitas Indonesia itu acap kali dimintai komentarnya oleh pers tentang berbagai masalah terkait dengan masalah kejahatan, mulai dari kejahatan jalanan hingga kejahatan yang dilakukan negara.
Pergaulannya sebagai salah satu pengajar pada Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (UI) membuatnya makin menggeluti studi kepolisian. Ketajamannya menganalisis institusi kepolisian bahkan acap kali membuat kuping merah.
Dia pernah menjadi dosen favorit Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) selama lima tahun berturut-turut. "Menjadi pengajar polisi-polisi muda di PTIK sungguh membawa kenikmatan tersendiri," ungkap Adrianus.
Selama enam tahun (2000-2006), ia menjadi salah satu penasihat ahli Kepala Kepolisian Negara RI (Polri) di bidang kriminologi sejak Jenderal (Pol) S Bimantoro, Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar, dan Jenderal (Pol) Sutanto. Tidak heran jika banyak polisi mengenalnya, mulai dari jenderal sampai bintara.
Adrianus juga pernah menjadi anggota Tim Pakar Jaksa Agung untuk Penyidikan Pelanggaran HAM Berat (2000), anggota Tim Ahli Badan Pekerja MPR untuk Penyiapan Ketetapan MPR tentang Rekomendasi Pemberantasan KKN (2001), konsultan Komnas HAM untuk Penyidikan Dugaan Pelanggaran HAM Berat (2004), serta Penasihat Senior pada Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia (2001-2006).
Berbagai pengalaman itu membuat Adrianus makin matang sebagai akademisi sekaligus praktisi. Dia menekuni bidang yang memang jarang ditekuni kebanyakan orang. Dia telah menulis 12 buku, 4 jurnal internasional, serta ratusan jurnal nasional dan artikel di berbagai media massa.
Kerja keras
Rabu (15/11/2006) lalu, putra Batak Karo yang lahir di Sungailiat, Bangka, pada 28 September 1966, ini dikukuhkan sebagai guru besar di bidang kriminologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI. Dalam pidato pengukuhannya, Adrianus membuat kajian "Kejahatan Negara: Beberapa Pelajaran dari Indonesia".
Ketika masih menjadi mahasiswa FISIP UI (1985-1990), dia mengambil dua kegiatan ekstrakurikuler, yaitu paduan suara dan di surat kabar Warta UI. Pengalaman dalam media kampus membuat ia tertarik magang di majalah berita Editor selama 2,5 tahun.
Adrianus yang pernah mendapat beasiswa dari Kompas, British Chevening Award, dan USAID itu kemudian mendalami psikologi sosial di Fakultas Psikologi UI (1991-1994), mendalami Legal and Criminological Psychology di The Manchester Metropolitan University, Inggris (1994-1995), dan meraih gelar PhD di bidang kriminologi dari University of Queensland, Brisbane, Australia (1998-2004).
Pergaulannya di Fakultas Psikologi UI membuatnya betah. Cara berpikir dan minatnya banyak berubah selama menjadi bagian dari komunitas ini. Juga ketika menjadi salah satu pengajar di Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian UI, Adrianus makin menggeluti studi kepolisian. "Saya sekarang makin cinta polisi," ujarnya.
Sebagai orang yang berasal dari etnis Batak Karo, Adrianus mendapat dukungan dari keluarga besarnya. Tak ada masa sedih dan masa senang dilewatkan sendiri. Dia ingat masa kecilnya, ketika sang ibu menenteng dagangan yang berat, berjualan ke sana kemari tanpa kenal lelah, mencari uang siang malam dengan tujuan agar anak-anaknya dapat menikmati pendidikan.
Mengingat tetes keringat dan air mata orangtuanya, Adrianus dan dua saudaranya dipacu melanjutkan pendidikan setinggi- tingginya. "Mamalah yang paling pantas menerima kemegahan dan penghormatan ini," ungkapnya.
Ayah dari empat anak (satu di antaranya meninggal) dan suami dari Rosari br Ginting ini menyebut istrinya sebagai teman hidup di kala susah dan senang, sekaligus penyeimbang hidupnya. Berbagi dengan sang istri membuat hidup Adrianus selalu ringan dan tak ada masalah yang dianggap benar-benar berat.
Kepada tiga anaknya, Pascalis, Cecilia, dan Brigitta, ia berpesan agar mereka bekerja keras. "Hanya dengan ilmu, dan bukan dengan memo, jabatan, atau kekayaan, kalian bisa tenang menapak hari esok," ujarnya.
Dalam uraiannya tentang kejahatan negara, Adrianus berpendapat negara yang gagal adalah negara yang alih-alih memberikan kemaslahatan kepada warga negaranya, tetapi malah membawa problema. Negara yang tidak mampu menjalankan fungsi utamanya, memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, dan malah menghadirkan berbagai persoalan, dapat diwacanakan sebagai kejahatan negara.
"Situasi ini membawa sebagian dari kita bertanya, apa gunanya negara dan mengapa negara perlu ada? Bahkan berkembang pada keinginan membentuk negara lain. Dari suatu dugaan terdapat kejahatan negara, dapat berkembang menjadi gugatan kepada negara," paparnya.
Terkait dengan situasi ini, wacana pengembangan masyarakat sipil menjadi relevan dalam menghadapi kemungkinan kejahatan dan penyimpangan oleh negara. Menyadari posisi negara yang rentan, maka konsolidasi antarelemen masyarakat sipil harus dilakukan agar tidak mudah terombang-ambing mengingat negara tidak melakukan tugasnya dan agar tidak mudah dibohongi negara.
Sumber : Kompas, Kamis, 23 November 2006
Jun 10, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment