"Dukun" Tanaman Padi Lokal Lombok
Oleh : Khaerul Anwar
Tanaman lokal, seperti beragam jenis tanaman padi, kini nyaris tinggal jadi kenangan sejarah karena kian terdesak oleh varietas unggul. Upaya pelestarian plasma nutfah tanaman padi lokal pun agaknya bukan menjadi perhatian instansi teknis, yang umumnya sibuk dengan pekerjaan rutin dan proyek-proyek sektoral lainnya.
Padi merupakan plasma nutfah dan kekayaan alam yang sudah tahan uji melalui seleksi alam selama berabad-abad. Sungguh sayang, berkah Tuhan itu hilang tanpa ada upaya konkret untuk melestarikannya," ucap I Nyoman Kantun (58), satu dari sedikit orang yang merasa paling rugi karena plasma nutfah itu hilang.
Menurut catatan dosen/peneliti pada Fakultas Pertanian Universitas Mataram (Unram) ini, ada 200 varietas tanaman padi lokal, dan 60 jenis ketan varietas lokal, yang kini terancam hilang, bahkan sudah tidak terlihat ditanam oleh petani. Atau, meskipun ditanam, itu terbatas pada tempat-tempat tertentu untuk kepentingan rumah tangganya.
Misalnya padi (pare) beaq ganggas (bulunya kemerah-merahan, batangnya setinggi/ganggas 1,50 cm), dan padi beras merah umumnya masih dibudidayakan di daerah subur, seperti Desa Sembalun, Desa Suwela, Lombok Timur, dan beberapa desa di Kecamatan Bayan dan Narmada, Lombok Barat. Sisanya, petani memilih jenis varietas unggul IR 36 dan 64, sedangkan varietas lokal terpinggirkan.
Sebutlah tanaman ketan/reket nangka dan reket loma’, ucap ayah empat anak ini, tidak tampak lagi ditanam. Sama halnya dengan pare bebai, yang warna daun dan malainya kehitaman, serta batangnya relatif pendek. Padi bebai (sebutan untuk makhluk halus di Lombok)—per nah dilihatnya di Desa Janapria, Lombok Tengah—ditanam di pojok dan pinggiran petak sawah, sebagai "penjaga" tanaman padi lain dari "makhluk" pengganggu yang mengakibatkan padi jadi hampa bulir.
"Itu kearifan lokal. Mungkin padi bebai itu punya aroma khas yang tidak disenangi hama," tutur Kantun yang menyelesaikan studi strata dua bidang pemuliaan tanaman di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1991.
Kawin silang
Anak ketiga dari Nyoman Sedana-Nyoman Sari, warga Desa Alas Angker, Kecamatan Buleleng, Bali, itu maklum, varietas unggul digemari karena adanya perubahan orientasi petani umumnya, yang ingin cepat menuai hasil karena masa tanamnya lebih singkat sekitar tiga bulan dibandingkan dengan varietas lokal dengan masa tanam 5-7 bulan, meski secara ekonomis harga varietas lokal itu—setelah jadi beras—mungkin lebih mahal di pasaran.
Agar varietas-varietas lokal yang merupakan plasma nutfah itu tidak terdesak, Kantun pun mengawinkannya dengan varietas unggul. Padi beras merah lokal jenis piong dan sri, maupun padi ketan lokal, misalnya, dikawinkan dengan varietas unggul macam IR 36.
Dari persilangan itu diharapkan gen-gen unggul tanaman tadi akan "lahir" varietas unggul baru, seperti kandungan gizi cukup tinggi yang amat dibutuhkan anak balita kurang gizi di Nusa Tenggara Barat didapat dari padi beras merah. Selain itu, umur genjah (lebih singkat) dan batang lebih kokoh agar lebih kuat menopang bulir diperoleh dari IR 36.
Diperlukan waktu rata-rata tiga bulan untuk mendapatkan hasil tiap persilangan. Awalnya, tanaman-tanaman ditanam pada demplot, yang F1. Jumlah persilangan pertama sangat sedikit, mungkin sekitar 10 malai, kemudian ditanam lagi dan berjalan hingga F5. Pada tahap F5 hasil persilangan biasanya terjadi segregasi (pemisahan) sifat genetik masing-masing individu tanaman, lalu dipilih sesuai dengan kriteria yang diinginkan, seperti umur genjah (pendek), tinggi batang dan sifat-sifat unggul lainnya, dan hasilnya disebut galur harapan.
Galur harapan ini kemudian memasuki tahap uji daya hasil pendahuluan, uji daya hasil lanjutan, dan uji multilokasi. Jika tahapan ini selesai, dan hasilnya lolos penilaian sesuai dengan kriteria Badan Benih Nasional, penelitian dilanjutkan hingga beberapa tahapan (F6, F7, F8) hingga kriteria mantap (F9) sebagai benih unggul.
Pada tahap uji multilokasi itulah biasanya riset jadi macet karena alasan klasik: terbatasnya dana. Tidak heran, banyak hasil riset di Unram terhenti di tengah jalan, malah menumpuk dalam lemari dan mubazir, karena tidak bisa diaplikasikan, bahkan kurang publikasi.
Karena itu, tidak heran, saat ini banyak plasma nutfah di Indonesia, termasuk dari Lombok, dikoleksi di Institut Penelitian Tanaman Padi Internasional (IRRI), Filipina. Cuma lambat laun tanaman lokal itu kehilangan unsur genetiknya karena pengaruh lingkungan. Kalau bidang kesenian dan kepurbakalaan punya museum, maka "tanaman padi sebagai sebuah peradaban disediakan museum juga", sebab ketimbang dikoleksi di luar negeri, akan lebih baik jika tanaman padi dikoleksi in situ, dekat tempat asalnya.
Dengan pertimbangan itulah, beberapa hasil persilangan yang dikerjakan Kantun sendiri disimpan dalam lemari, di samping ditanam sebagai stok bibit bahan penelitian bagi mahasiswa dan dosen. Malah, risetnya (varietas padi gogo tahan kering hasil persilangan padi gogo lokal dengan IR 36) pernah ditanam oleh mahasiswa untuk bahan penelitian di daerah kritis air Lombok Timur bagian selatan. Setelah masa penelitian berakhir, padi itu diambil petani untuk dijadikan bibit, apalagi bulirnya memenuhi cita rasa dan aroma khas.
"Sebenarnya (penanaman di lahan petani tadi) menyalahi prosedur resmi. Tapi, ya saya biarkan, toh hasil penelitian ditujukan untuk orang petani. Penanaman itu sekaligus bentuk uji multilokasi," ujar suami I Wayan Subakti ini.
Lantaran komitmen, keseriusannya yang dibuktikan secara nyata, sosok Kantun dijuluki sebagai "dukun" padi. Dia tahan seharian mengamati tanaman di demplot tempat mengajar maupun di sawah yang disewanya seluas 0,50 hektar di bilangan Kota Mataram. Pengabdiannya mestinya menjadi cermin yang baik bagi sementara dosen yang keluar dari jalur keilmuan (teknokrat), dan malah ikut "intervensi" di jalur birokrasi.
Sumber : Kompas, Senin, 15 Mei 2006
Jun 18, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
padi lokal lomboknya masi tersedia kah ??
Post a Comment