Jun 28, 2009

Nusjirwan Tirtaamidjaja : Iwan Tirta, Emban Seni Kriya Indonesia

Iwan Tirta, Emban Seni Kriya Indonesia
Oleh : Ninuk M Pambudy

TUJUH puluh tahun bukan usia sedikit. Banyak orang pada usia ini merasa telah selesai melakukan tugas di dunia sehingga sisa umur adalah untuk menikmati hasil kerja selama ini.

NAMUN, Iwan Tirta pada usia yang hari ini memasuki 70 tahun merasa begitu cepat waktu berlalu, sementara masih panjang deretan pekerjaan yang ingin dia lakukan. "Banyak hal yang harus dilakukan kalau ingin bertahan dan bahkan berkembang. Saya masih punya banyak ide untuk mengembangkan batik, perak, porselen, dan perhiasan, tetapi waktu kok rasanya singkat sekali," kata Iwan di rumahnya yang kental dengan suasana Indonesia.

Di teras samping rumahnya terpampang dua galaran yang padanya tersampir dua kain batik yang masih dalam proses pembuatan motif dengan menggunakan malam. "Saya masih terus membatik, tetapi malam hari. Lebih enak karena sepi. Saya akan terus membatik sampai tanganku buyutan," kata Iwan diiringi tawanya yang khas. Buyutan adalah istilah umum untuk tangan yang bergetar karena usia lanjut.

Batik memang dunia Iwan Tirta sampai kini meskipun pendidikan formalnya adalah School of Oriental and African Studies di London University dan master of laws dari Yale University, Amerika Serikat, serta mendapat fellowship dari Yayasan Adlai Stevenson di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perkenalannya dengan batik berawal dari ketika dia bersekolah di Amerika Serikat dan mendapat banyak pertanyaan tentang budaya Indonesia.

Namun, sebetulnya perkenalan Nusjirwan Tirtaamidjaja, nama asli Iwan Tirta, pada budaya Jawa berawal lebih jauh lagi, yaitu dari pendidikan masa kecilnya. Iwan sebetulnya berdarah campuran Purwakarta, Jawa Barat, dari ayahnya Mr Moh Husein Tirtaamidjaja, anggota Mahkamah Agung RI (1950-1958), dan Sumatera Barat dari ibunya yang berasal dari Lintau. Iwan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, belajar mengenai budaya Jawa ketika orangtuanya menjelma menjadi priayi Jawa saat ditugaskan di Jawa Tengah.

Ketertarikan secara khusus kepada batik lahir ketika atas dana hibah dari Dana John D Rockefeller III Iwan mendapat kesempatan mempelajari tarian keraton Kesunanan Surakarta. Di sanalah Iwan memutuskan mendalami batik dan bertekad mendokumentasi serta melestarikan batik. Kemudian lahirlah bukunya yang pertama, Batik, Patterns and Motifs pada tahun 1966.

SUMBANGAN Iwan paling nyata adalah ketika dia berhasil mentransformasi batik dari selembar kain batik yang secara tradisional digunakan dengan dililitkan di tubuh menjadi gaun indah yang tidak kalah dengan gemerlap dari Barat. Kepraktisan berbusana cara Barat perlahan tetapi pasti memang telah menggerus cara berbusana tradisional perempuan Jawa, dan Iwan berhasil memadukan keindahan batik dengan kepraktisan pakaian ala Barat.

Kepekaan seni dan pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan dari Timur dan Barat membuat Iwan mampu membawa batik menjadi busana yang diterima bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Kecenderungannya pada bidang keilmuan membuat Iwan melihat batik secara rasional dan dia melahirkan buku berikutnya, Batik, A Play of Light and Shades (1996).

Ketertarikannya kepada budaya Jawa dan sebenarnya juga budaya Nusantara lainnya serta kedekatannya dengan kalangan keraton Jawa membawa pengelanaan Iwan kepada seni kriya lain. Perak adalah penjelajahan berikut Iwan. Motif modang, misalnya, dijadikan ragam hias pada tutup tempat perhiasan, sementara seperangkat tempat sirih peraknya menghiasi lobi Hotel Dharmawangsa di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Pengetahuannya yang luas dan mendalam mengenai batik membuat Iwan tidak lagi dalam tataran teori ketika berbicara mengenai motif batik yang dapat muncul dalam bentuk apa saja. Itu dibuktikannya ketika mendesain perangkat makan porselen yang menggunakan motif batik. Energi kreatifnya juga tersalur dengan merancang perhiasan yang inspirasinya dari perhiasan keraton.

"KUNCINYA adalah pendidikan dan riset. Kita sangat kurang dalam dua hal itu," kata Iwan yang selalu berkemeja batik dalam setiap acara, tetapi siap pula mengenakan celana pendek denim dengan kaus ketat ketika di rumah dan siap membatik. Pandangan ini secara konsisten dikukuhinya sejak mulai berkenalan intens dengan batik pada tahun 1960-an.

Dalam hal riset, Iwan melakukannya sejak bertahun lalu. Dia terus mendokumentasikan motif batik tua, termasuk milik Puri Mangkunegaran, Solo, ke dalam data digital dan ke atas kertas dengan bantuan pengusaha Rachmat Gobel. Data tersebut menjadi pegangannya dalam mengembangkan motif baru yang terus dia kembangkan sesuai selera zaman dengan tetap mempertahankan ciri khasnya, yaitu antara lain warna yang cerah dan motif berukuran besar.

Pekan lalu dia diminta Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono untuk ikut menyumbangkan pemikiran dalam pengembangan batik sebagai ikon nasional. Bicara mengenai hal itu Iwan kembali prihatin pada kondisi pendidikan, riset, dan kemampuan promosi Indonesia sebagai negeri batik. "Sekarang Malaysia ke mana-mana mengaku batik sebagai milik mereka. Itu karena kita tidak punya kemampuan public relations," kata penerima Anugerah Kebudayaan 2004 kategori individu peduli tradisi ini.

Dengan fasih Iwan menjelaskan di mana kekuatan batik Jawa yang menjadi dasar batik nasional yang tidak bakal bisa ditiru negara lain. Pertama adalah adanya teknik yang pasti, yaitu penggunaan malam dan canting; kedua, adanya pakem berupa ragam hias dengan dasar geometris nongeometris; ketiga, jalinan erat dengan budaya lain; dan ketidakterikatan dengan satu agama tertentu.

"Itu semua kekuatan batik Indonesia yang tidak dipunyai bangsa lain, tetapi untuk mengeluarkan potensi ini perlu pendidikan dan riset," kata Iwan kukuh.

Keyakinan itu dan tugas baru yang disandangnya membuat Iwan bertekad akan mengabdikan hidupnya sebagai emban seni kriya Indonesia. "Tugas emban itu ya mengasuh, mendampingi, untuk semua, tidak hanya batik Iwan Tirta," tuturnya.

Senin ini Iwan akan memperingati 70 tahun usianya dan malam ini rencananya dia akan mengadakan syukuran bersama teman-temannya. "Saya tidak melahirkan batik, tetapi saya akan terus mengasuh dan memelihara yang ada. Seperti tugas emban."

Sumber : Kompas, Senin, 18 April 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks