Jun 4, 2009

Nasirun, Menyadap Energi dari Mitologi

Nasirun, Menyadap Energi dari Mitologi
Oleh : Putu Fajar Arcana

Rumah perupa Nasirun (42) di kawasan Kalibayem, Bantul, Yogyakarta, terbilang besar. Banyak pohon dan nyaman. Jangan kaget kalau tiba-tiba di bawah pohon pandan "raksasa" di halaman samping kanan tergeletak lukisan dalam ukuran besar.

Tak jauh dari situ, di atas aliran sungai yang diberi semacam geladak, bersandar pula lukisan lain. Keduanya baru setengah jadi. Agak ke dalam, tapi masih di halaman samping, terdapat studio. Di situ lagi-lagi terpampang lukisan setengah jadi. Pada rak di atasnya, tertata ribuan kanvas kosong….

Bagian luar dari kediaman dan studio perupa kelahiran Cilacap ini saja sudah mengisyaratkan "kerumitan" pada ruang dalamnya. Di ruangan yang biasanya Nasirun berbincang dengan para tamunya, lukisan pun bertumpuk-tumpuk, tak terkecuali banyak lukisan setengah jadi.

"Coba lihat di kamar mandi," ujar Nasirun. Rupanya ruang untuk membersihkan badan itu pun tak luput dari "serbuan" lukisan. Saking banyaknya, Nasirun sampai harus menyewa kamar putri pertamanya, Ima Bunga Insan Sani (13), sebesar Rp 300.000 sebulan, "hanya" untuk menyimpan lukisan.

Nasirun memang dikenal sebagai perupa superproduktif. Bahkan, pada tahun 1997 ketika bom seni rupa berlanjut—setelah sebelumnya dimulai awal tahun 1990-an, ia dicap sebagai pelukis "pelayan pasar". Soal itu, Nasirun hanya berujar singkat, "Apa dosa saya pada kebudayaan?" Soal sebenarnya bukan sekadar "memanfaatkan" momentum penerimaan pasar terhadap seni rupa kontemporer Indonesia, tetapi lebih pada mencari wahana atas gelegak energi kreatif yang meledak-ledak.

Suami dari Illah (35) ini tak bisa berhenti. Ibaratnya, langit seperti terbuka lalu mengalirkan berjuta-juta partikel ide di kepala Nasirun. Dan secara fisik dia melayaninya dengan menggambar dan terus menggambar. Hebatnya, sebagaimana pula diakui oleh kolektor Oei Hong Djien, meski secara ide terkadang sama, Nasirun selalu berhasil mencari bentuk-bentuk yang tak mirip. Bahkan, berbeda sama sekali.

Ketidaksamaan itu barangkali karena Nasirun membentang wilayah kreatif yang demikian luas. Ia nyaris selalu berangkat dari tradisi dan mitologi yang ditarik ke wilayah kontemporer. Pada saat tarikan itulah Nasirun melakukan interpretasi. Begitu terus sampai ia merasa bertemu pada kedalaman nilai.

Lukisan paling gres yang ia kerjakan berjudul Nyanyian Pesisir. Tema ini barangkali sudah "dijamah" Nasirun berulang kali. Tetapi, tetap ada nuansa kontekstual dan segar, meski ia hampir selalu berangkat dari mitologi.

Pada lukisan mitologi tentang kinjeng (capung) dan bintang waluku (tenggala) menjadi dasar untuk mengungkapkan betapa manusia kontemporer tak pernah mau belajar dari alam dan tradisi. Bintang waluku akan muncul saat-saat musim tanam padi dimulai. Dan "tradisi" ini sudah hampir tak diindahkan lagi, ketika pertanian kita hanya mengejar produksi.

Tradisi pesisiran

Nasirun memang besar pada ranah tradisi pesisiran. Ayahnya, mendiang Sanrustam, dan ibunya, Supiyah, hanyalah buruh tani. Kekerasan hidup itulah yang sering kali membuat Nasirun nekat. Tahun 1983 ia berangkat ke Yogyakarta setelah menjual daun pintu rumahnya.

"Untuk menahan angin saya pasangi karung bekas gabah di kusennya yang bolong, hi-hi-hi," tutur Nasirun. Ia tertawa pahit. Sudah enam puntung rokok yang tak habis diisap tergeletak dalam asbak. Sesekali lelaki berkulit hitam ini mengibaskan rambutnya, lalu menaikkan kedua kakinya di kursi. (Itu juga kebiasaan yang dibawanya sejak di kampung dahulu).

"Saya sampai di Yogya pas saat gerhana Matahari tahun 1983 itu. Nah, di sebuah gang Jalan Malioboro ada gambar Hanoman menelan matahari…" tutur Nasirun.

Sudah pasti bukan lantaran sepotong peristiwa itu yang membuat Nasirun berulang kali menyapukan gerhana di atas kanvasnya. Gerhana bagi Nasirun semacam pralambang hidup yang senantiasa berjalan pada dua sisi: gelap dan terang. Dalam ranah mitologis, ketika Betara Kala ingin menelan rembulan, maka rakyat di pedesaan memukul kentungan dan lesung agar gelap segera berganti terang.

Getah mitologi

Keintiman pada alam inilah yang terus-menerus memberi energi Nasirun untuk bekerja. Ia seperti menyadap "getah" mitologi yang kemudian diolahnya menjadi kekayaan lokal, tetapi bernilai universal. Lukisan Nasirun hampir selalu berangkat dari masa lalu (mitologi) saat-saat ia menjalani kerasnya hidup di kampung. Masa lalu itu kemudian diinterpretasi untuk menemukan nilai universal di dalamnya.

Tahun 1997 lukisan Nasirun begitu banyak diburu kolektor dan para spekulan. Ia menuturkan, "Semua orang antre, kanvas kosong saja sudah diberi nama pemesannya." Nasirun paham, ia sedang berada di puncak pasar.

"Pokoknya prinsip saya dari dulu, jangan mendahului kersaning Gusti. Saya tak mau mendahului kehendak Tuhan," tutur penggemar tanaman hias ini. Selain itu, Nasirun mengaku selalu bekerja atas dasar kegembiraan. Ia merayakan masa lalu dalam kanvas-kanvasnya yang naratif. "Semuanya saya jadikan energi untuk bekerja," tutur dia.

Secara intuitif, tanpa harus menyakiti hati para pemburunya, ia beralih ke kanvas-kanvas besar. "Itu salah satu cara saya untuk mengerem pasar, ritme kerja menjadi lebih lambat untuk menghindar dikte pasar," katanya.

Benar saja sejak itu lukisan-lukisan Nasirun selalu dalam ukuran besar. Terakhir bahkan ia menggarap karya tujuh panel dengan ukuran tak tanggung- tanggung, 2,5 meter x 7 meter. "Istri saya sampai menyerah saat saya minta pelototkan tube cat, hua-hua-hua…," ungkap lelaki kelahiran 1 Oktober 1965 ini diiringi tawanya yang lepas.

Poligami

Belakangan Nasirun malah jarang menyelesaikan satu lukisan yang peminatnya lebih dari satu orang. Ia biarkan saja lukisan setengah jadi itu teronggok begitu saja. "Saya tak tahu kapan jadinya. Pokoknya tugas saya cuma bekerja," ucapnya.

Barangkali sikap ini yang menyelamatkannya dari kemungkinan "dilindas" keganasan pasar. Ia senantiasa berada pada wilayah kreatif. Menurut istilahnya, "Saya poligami dengan lukisan, hua-hua-hua…." Sedangkan istri dan anak-anaknya berada pada wilayah materi.

Nasirun memenuhi seluruh kebutuhan rumah tangga mereka. Bahkan, sampai kini pun Nasirun tak berusaha belajar mengemudikan mobil. Ia ke mana-mana masih menggunakan motor butut yang ia beli dari hasil penjualan lukisannya pertama kali tahun 1993.

Sikap memberi sekat antara ruang materi dan kreativitas ini sebenarnya cara Nasirun untuk menjaga agar ia tetap berada pada wilayah penciptaan. Bahwa di sisi lain ada riuh rendah pasar, memang tak bisa dimungkiri. Namun, dengan pemilahan yang tegas, ia tetap tampil sebagai kreator yang bebas intervensi.

Kalau Nasirun sejak dulu hingga kini melukis seperti "kesetanan" pastilah bukan karena mengejar kepuasan materi. Itu semata-mata karena ia harus menciptakan kanal bagi gelegak energi penciptaan yang seperti menggumpal-gumpal di dalam dada dan kepalanya.

"Kalau diam mungkin saya sakit," tutur Nasirun. Dan untuk menjaga semuanya berjalan dengan baik, setiap saat lelaki berambut panjang ini bernyanyi, "Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir…"

Sumber : Kompas, Jumat, 15 Juni 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks