Jun 4, 2009

Chimamanda Ngozi Adichie, Jeritan Nigeria

Chimamanda Ngozi Adichie, Jeritan Nigeria
Oleh : Simon Saragih

Nigeria kaya minyak dan tergolong paling kaya di Afrika dalam konteks itu. Namun, negara ini terlilit utang, rakyat mengalami lonjakan harga bahan bakar minyak, dan terjebak konflik sektarian yang tak berujung.

Elite Nigeria memburu kesenangan sendiri, melupakan tanggung jawab sosial. Korupsi pun menjadi ciri utama di negara yang dipimpin Presiden Umaru Yar’Adua, penerus dan orang dekat mantan Presiden Olusegun Obasanjo, tokoh yang dikenal sebagai diktator militer.

Taruhannya adalah rakyat yang tetap dengan status kehidupan yang marginal. Berdasarkan peringkat Transparency Internasional 2006, Nigeria adalah negara terkorup ketiga di Afrika setelah Chad dan Guinea.

Di dunia, Nigeria ada di urutan 142 dari 163 negara terkorup. Sementara Indonesia yang juga kaya minyak tidak jauh beda, ada di urutan 130. Makin tinggi posisi angka, berarti makin korup negara tersebut.

Di sanalah Chimamanda Ngozi Adichie lahir dan tumbuh. Ia tak lagi menetap di Nsuka, Nigeria, karena kini tinggal di Amerika Serikat (AS). Namun, otak Adichie tak bisa lepas dari kampung halaman. Penulis dan akademisi Nigeria yang berbasis di London, Wale Adebanwi, berbincang dengannya sebagaimana bisa dilihat di situs The Village Square.

Adichie berontak, marah, dan sedih terhadap keadaan. Ia dan sesama warga Nigeria merasa memiliki beban dengan identitas Nigeria, walau ia tak ingin menjadi warga negara lain. Pilihannya tepat, ia kini menjadi kebanggaan setiap warga Nigeria di seluruh dunia. Ia adalah penulis kaliber dunia asal Nigeria.

Pemberontakan Adichie terhadap kemunafikan dan moral elite yang telah berada di titik nadir, mendorongnya menggoreskan tinta, berisi jeritan hati. Muncullah sebuah novel pertama berjudul The Purple Hibiscus pada 2003.

Novel ini bercerita soal Kambili (15), perempuan cantik yang rapuh di tengah galaunya keadaan negara. The Purple Hibiscus juga bercerita soal kehidupan warga yang fanatik beragama, namun korupsi tetap merajalela.

Hanya ayah Kambili, seorang religius yang takut akan Tuhan, yang diharapkan bisa jadi pelajaran bagi Nigeria. Setidaknya demikian pesan yang ingin disampaikan lewat novel itu.

Novel ini juga bercerita soal pendidikan tinggi di Nigeria yang mengalami penurunan kualitas, sehingga membuat Nigeria tak pernah maju. Bayangkan, seorang dosen senior pun tak bisa membeli susu.

Dalam novelnya, Adichie pun menggambarkan dekadensi moral di negara dengan warga yang dalam waktu lama pernah hidup di bawah rezim teror. Kambili mendambakan sebuah dunia yang lebih adil, lebih aman, ramah, dan lebih jujur.

Novel pertama Adichie itu dijuluki sebagai Buku Tahun Ini oleh San Francisco Chronicle pada tahun 2004 serta berhasil menjadi nomine pada 2004 oleh The Orange, sebuah badan di Inggris yang dibentuk tahun 1996. Badan ini setiap tahun menyaring tulisan berbahasa Inggris, termasuk novel, untuk diberi penghargaan.

Makin terkenal

"Saya sudah cukup bangga walau novel saya sekadar masuk nomine," kata Adichie. Namun, tak lama kemudian, Adichie, menorehkan buah pikiran dalam cerita fiksi di novel terbaru berjudul Half of a Yellow Sun.

Novel ini bertutur soal orang yang terjebak pada kisruh politik dengan tiga karakter, yakni seorang lelaki rumahan, seorang wanita glamor, dan seorang pria Inggris pemalu. Mereka terjebak di tengah konflik dan terpaksa mengamankan hidup masing-masing. Dalam novel ini, ia juga bercerita soal pertikaian ras, tanggung jawab moral, juga soal cinta dan pengkhianatan.

Latar belakang Half of a Yellow Sun adalah perang sipil antara Nigeria dan Biafra pada dekade 1960-an, pada waktu itu satu juta orang meninggal.

Biafra kini adalah bagian dari Nigeria. Namun, pernah ada sebuah negara bernama Republik Biafra, walau dengan usia yang sangat pendek, dari 30 Mei 1967 hingga 15 Januari 1970. Negara ini dinamakan berdasarkan Bight of Biafra, nama teluk Atlantik di tenggara Nigeria.

Pada Januari 1966, kudeta berdarah coba dilakukan etnis Igbo walau berlangsung singkat. Namun, dampaknya cukup buruk. Pada periode Mei-September 1966, etnis Igbo yang hidup di utara menjadi sasaran pembunuhan.

Adalah pemimpin etnis Igbo—dengan sekitar tujuh juta warga—yaitu Letkol Chukwuemeka Odumegwu Ojukwu, yang kemudian menyatakan kemerdekaan Biafra. Namun, etnis lain tak mendukung, demikian pula Amerika Serikat dan Inggris, sehingga membuat Biafra kalah.

Hingga kini, sentimen Biafra masih muncul, diusung oleh Gerakan untuk Aktualisasi Kedaulatan Negara Biafra (MASSOB). Komunitas di Nigeria juga masih terpecah antara Kristen (Igbo) dan Muslim (Hausa, Fulani) sejak akhir perang sipil.

Inilah latar belakang novel Half of a Yellow Sun yang membuat Adichie dianugerahi Orange Prize, Rabu (6/6). Half of a Yellow Sun pun meraih hadiah senilai 30.000 poundsterling (sekitar Rp 510 juta).

Judul bukunya menggambarkan bendera Biafra dengan tiga balok bertingkat berwarna merah, hitam, dan hijau. Di balok hitam, ada gambar separuh matahari dengan warna kuning.

"Hadiah ini datang sebagai kejutan yang menyenangkan," ungkap Adichie. "Ketika saya diberi tahu bahwa buku saya menjadi favorit, rasanya seperti mau mampus."

Menyingkirkan penulis andal

Kemenangan Adichie menjadi istimewa karena mengalahkan pemenang hadiah Pulitzer Prize asal AS, Anne Tyler. Saingan lainnya adalah novelis andal asal India, Kiran Desai, yang tahun lalu menjadi pemenang termuda Booker Prize.

Muriel Gray, yang mengetuai penjurian, memuji novel Adichie. "Ini adalah sebuah buku penting yang menggetarkan karya seorang penulis istimewa," kata Gray.

Pada usia 19 tahun, ia meninggalkan Nigeria menuju AS serta meninggalkan kuliah kedokteran sebelum hijrah ke AS.

Kemenangan Adichie sekaligus menjelaskan kentalnya bakat-bakat penulis asal Nigeria. Keluarganya pernah tinggal di sebuah rumah yang pernah ditempati salah seorang penulis terbaik Nigeria, Chinua Achebe.

Adichie mengaku terpengaruh pola Prof Chinua Achebe, yang dia akui memberi inspirasi dengan karya yang menggambarkan dinamika sosial politik Nigeria.

Adichie tak optimistis karyanya memberi pengaruh, namun ia berharap suatu saat sastra bisa berdampak pada cara berpikir seseorang. Ia pun tak memilih cara hidup lain, tetapi terus menulis dan menulis.

Sumber : Kompas, Kamis, 14 Juni 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks