Fajar Petani dari Lombok Selatan
Oleh : Khaerul Anwar
Masa depan pertanian di Nusa Tenggara Barat ada di lahan kering yang luas arealnya satu juta hektar lebih, ketimbang lahan basah yang luasnya 200.000-300.000 hektar.
Persoalannya, bagaimana agar pemanfaatan lahan kering itu optimal. Untuk itu diperlukan sosok yang mampu membimbing petani dalam mengelola usaha tani lahan keringnya. Figur demikian agaknya ada dalam diri Mulyadi Fajar (31).
Peran warga Dusun Dasan Pae, Desa Jerowaru, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, itu sudah terbukti. Ketua kelompok tani pertanian organik di dusunnya ini mengajak anggota kelompoknya kembali ke alam, menggunakan kotoran ternak dan pupuk organik kemasan untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Melalui upaya yang gigih, Mulyadi yang belajar pertanian organik melalui sebuah lembaga swadaya masyarakat di Mataram itu membuktikan, pertanian organik membuat produksi pertanian setempat meningkat, tanah yang kurus unsur hara kian subur, bebas residu pupuk maupun pestisida kimia yang digunakan puluhan tahun.
"Saya memulai uji coba pada November 2003 pada lahan seluas 50 are (sekitar 25 hektar)," ujar suami Suryani dan ayah satu anak ini. Lahannya ia beri pupuk kotoran sapi sebanyak 1,5-2 kuintal, kemudian 75 kilogram pupuk urea, dan 1 kilogram pupuk organik.
Lahan itu dia pinjam dari pamannya dengan kompensasi bagi hasil panen; dan ia tanami beras ketan seluas 3 are, padi varietas lokal beak ganggas 10 are, cabai 15 are, dan tembakau 25 are. Dalam masa pertumbuhan vegetatifnya, batang dan daun tanaman itu sangat rimbun, gemuk, dan hijau. "Senang sekali saya melihatnya," paparnya.
Namun, ada saja kalangan yang kurang yakin akan hasil itu. "Paling-paling batangnya yang tumbuh, belum tentu berbuah. Makanya siapkan saja ganti rugi," kata mereka.
Mulyadi tidak sakit hati oleh komentar itu. Dia menganggap wajar sebab petani perlu bukti. Itulah yang kemudian dia tunjukkan melalui produksi padi yang semula 3 ton-3,5 ton naik menjadi 4,5 ton per hektar.
Dipercaya petani
Sejak keberhasilan itu, kepercayaan petani mulai tumbuh dan beberapa orang mengikuti cara Mulyadi bercocok tanam. Pada musim tanam November 2005-Maret 2006 tercatat 55 orang menyediakan lahan, masing-masing 50 are, mengikuti model bertani akrab lingkungan itu.
Hasilnya, dari produksi kedelai yang ditanam setelah panen padi, dengan 100 batang kedelai yang ditanam pada tiap pematang, seluruh batang tanaman berbuah lebat. Sekali panen, petani mengantongi Rp 40.000-Rp 50.000 sehari.
Berbeda dengan ketika menggunakan pupuk kimia, hanya bagian tengah dan atas batang kedelai yang berbuah, bagian bawahnya hampa.
"Dulunya panen kedelai hanya cukup untuk disayur dan dikonsumsi sendiri. Tetapi, setahun terakhir selain dimakan sendiri, kedelai juga bisa dijual," ungkap Mulyadi.
Begitupun kacang panjang yang ditanam pada pematang sawah. Petani dapat menjual Rp 500-Rp 1.000 per ikat berisi 10 batang dengan total hasil penjualan Rp 60.000 sehari, sedangkan panen dapat berjalan tiap hari selama 40 hari.
Produksi komoditas pertanian di dusun itu dan daerah lain di selatan Pulau Lombok umumnya memang relatif kecil di atas tanah gromosol kelabu kekuningan yang sifatnya keras, merekah, dan liat pada musim kemarau. Musim hujan di NTB umumnya relatif pendek, 90 hari setahun. Tanah hanya bisa ditanami maksimal tujuh bulan, serta tiap keluarga memiliki lahan pribadi rata-rata 30 are.
"Bila di Kota Mataram atau di daerah lain di Lombok sudah turun hujan lebat tiap hari, maka di dusun kami hujan turun terlambat sebulan," ucap ayah dua anak itu.
Pantang menyerah
Cuaca yang kurang bersahabat bagi pertanian itu tidak membuat Mulyadi patah semangat untuk meningkatkan produktivitas lahan kering. Setelah memanen padi beak ganggas, dia mencoba menanami lahan dengan padi varietas ciherang yang diberi pupuk organik kemasan.
Ternyata, padi lokal itu setelah dipotong batang atasnya untuk bahan pupuk alami, batang bawahnya masih bisa tumbuh lagi dengan hasil panen sekitar 40 persen hasil tanaman pertama. "Artinya, sekali tanam padi lokal, panennya dua kali," tutur lulusan Madrasah Aliyah swasta tahun 1993 ini.
Panen dua kali itu menjawab hasil uji coba rekan-rekannya di desa lain, termasuk efisiensi biaya produksi. Dia sudah membuktikan, menggunakan pupuk kandang mampu memelihara unsur hara tanah selama setahun dibandingkan dengan menggunakan pupuk dan pestisida anorganik yang cuma tahan selama satu kali musim tanam.
Malah dari kreativitasnya itu, Mulyadi menemukan pestisida alami untuk menghalau serangan hama dan penyakit tanaman. Bahan obat-obatan itu juga berasal dari tumbuh-tumbuhan, antara lain daun imbe dan daun kaktus untuk mengusir ulat dan serangga pada padi, tembakau, dan cabai. Daun srikaya yang diraciknya dapat dijadikan pestisida untuk mengusir walang sangit.
Mulyadi kini telah memberi jawaban konkret kepada para pengkritiknya. Cara bertaninya pun sudah diikuti petani dari luar dusunnya. Kelebihan hasil panen padi anggota kelompok kini dipasarkan di Mataram, sedangkan kelebihan panen palawija masih dipasarkan sebatas desa.
Mulyadi kini telah menjadi perintis dan "fajar" penerang bagi mata hati petani di daerah lahan kritis Pulau Lombok.
Sumber : Kompas, Selasa, 7 November 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment