Andreas Sol dan Literatur Maluku
Oleh : MZ Wahyudi
Kesulitan mencari buku-buku tentang Maluku membuat Andreas Petrus Cornelius Sol MSC (91) gusar. Selama lebih dari 40 tahun dia mengumpulkan buku-buku mengenai Maluku hingga mencapai 3.000 judul.
Ke-3.000 judul itu meliputi berbagai literatur tentang Maluku, mulai dari geologi, agama, arsitektur, kesenian, sejarah, hingga etnologi dan antropologi.
Literatur tentang geografi dan budaya Maluku terkumpul lengkap, mulai dari kehidupan masyarakat Pulau Morotai di ujung utara Kepulauan Maluku yang berbatasan dengan Samudra Pasifik hingga Pulau Wetar di ujung barat daya yang berbatasan dengan Timor Leste. Bahkan, data tentang sejumlah suku terasing yang hingga kini masih ada di Maluku juga tersedia. Hanya literatur tentang Pulau Buru yang jumlahnya tidak terlalu banyak.
Buku-buku tersebut mulai dikoleksi saat pria, yang akrab dipanggil Uskup Sol, ini ditahbiskan sebagai Uskup Diosis Amboina pada tahun 1964. Buku- buku tentang Maluku dia kumpulkan dari sumbangan para kolektor buku atau beli saat berlibur ke kampung halamannya di Belanda.
Koleksi tertua
Koleksi tertua yang dia miliki adalah buku cetakan tahun 1724 yang berjudul Beschryving van Amboina (Tulisan tentang Ambon) ditulis oleh Francois Valentyne. Buku delapan jilid itu menceritakan juga tempat-tempat lain yang menjadi daerah operasi perusahaan kongsi dagang Belanda Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), seperti Sri Lanka, Jawa, Jepang, dan daerah-daerah lain di Maluku selain Ambon.
Koleksi lain yang cukup tua adalah karya naturalis Jerman yang bekerja untuk VOC di Ambon, Georg Everhard Rumphius (1627-1702). Salah satu koleksi buku Rumphius adalah tentang gempa bumi dan tsunami dahsyat yang terjadi di Maluku pada 17 Februari 1674, yang mengakibatkan ribuan orang tewas dan kerusakan parah desa-desa di pesisir utara Pulau Ambon dan bagian selatan Pulau Seram.
Buku berjudul Waerachtigh Verhael Van de Schrickelijcke Aerdbevinge itu dicetak di Batavia (Jakarta) pada tahun 1675. "Buku tentang gempa dan tsunami di Maluku ini merupakan satu-satunya karya Rumphius yang dicetak semasa ia hidup," ungkap Sol.
Studi Rumphius tentang Maluku mulai dari kondisi sosial masyarakat hingga aneka flora dan fauna di daerah itu hingga menghasilkan dokumentasi luar biasa, di antaranya 12 jilid buku tentang herbarium. Meskipun kemudian Rumphius buta, tetapi kepekaannya terhadap kondisi alam dan lingkungan sekitarnya masih terus dia tulis dengan bantuan orang lain.
Sol mengelola aneka koleksi buku tentang Maluku itu dalam perpustakaan kecil yang dia namai Perpustakaan Rumphius sebagai penghargaan atas jasa Rumphius. Perpustakaan di kompleks Pastoran Paroki Santo Franciscus Xaverius, Ambon, itu banyak dijadikan rujukan masyarakat, mulai dari akademisi, pelajar, hingga wisatawan.
"Awalnya, hanya orang dari luar negeri yang mengunjungi perpustakaan ini. Kini masyarakat Indonesia dan Maluku sendiri banyak yang datang," tutur pria kelahiran Amsterdam, 19 Oktober 1915, itu.
Sedikitnya minat orang Indonesia, khususnya Maluku, mempelajari literatur tentang Maluku sangat dimaklumi sebab sebagian besar buku itu berbahasa asing, seperti Belanda, Inggris, dan Portugis.
Kini, Sol mengusahakan penerjemahan sejumlah buku ke dalam bahasa Indonesia dengan bantuan dana dari para donatur, antara lain para ilmuwan dan orang-orang yang membutuhkan literatur Maluku.
Keterbatasan dana menyebabkan penerjemahan yang dilakukan mereka yang peduli dengan literatur Maluku di Ambon berjalan lambat. Sol berharap orang Maluku mengetahui sejarah dan kebudayaan mereka sendiri.
Menurut Sol, gereja bukan hanya berkewajiban mengurusi urusan surga semata, tetapi juga mengelola kehidupan duniawi. Mengetahui kehidupan dan kebudayaan masyarakat, antara lain melalui buku, akan memberi banyak kontribusi positif bagi gereja.
"Bagaimana agama berfungsi kalau tidak tahu kondisi masyarakat," kata Sol.
Sebagian buku di Perpustakaan Rumphius merupakan hibah dari biolog berkebangsaan Jerman, Wagner, yang tinggal di Waai, Salahutu, Maluku Tengah. Biolog tersebut ditugaskan ke Ambon untuk membangun kebun binatang. Saat hendak kembali ke negara asalnya, biolog itu menghibahkan buku-buku di perpustakaan pribadinya kepada Keuskupan Amboina.
Sol mempertahankan buku-buku tentang Maluku itu agar tetap berada di Ambon, sedangkan buku-buku lain dia kirim ke sebuah perpustakaan di Yogyakarta. Ketika Universitas Leiden di Belanda pernah meminta mengelola buku-buku tentang Maluku peninggalan Wagner, Sol juga menolak.
Masih aktif
Berkunjung ke Perpustakaan Rumphius akan menemukan Sol yang masih aktif serta sangat kuat penglihatan dan daya ingatnya. Cukup sebutkan kata kunci dan Sol akan langsung mengambilkan buku tersebut tanpa melihat katalog. Hanya tingkat pendengaran Sol mulai berkurang. Karena itu, Sol meminta orang bersuara agak keras saat berbicara kepadanya.
Perawatan buku di Perpustakaan Rumphius hanya sederhana, yaitu mengandalkan kamper. Perpustakaan memang pernah difumigasi untuk mencegah jamur, tetapi karena keterbatasan dana fumigasi tidak dilakukan rutin.
"Kini sudah ada kerja sama dengan Perpustakaan Nasional. Bila kami membutuhkan perawatan buku, mereka siap membantu," kata Sol yang masih kuat mengayuh sepeda kumbangnya dari rumah ke perpustakaannya yang berjarak sekitar lima kilometer itu.
Sumber : Kompas, Rabu, 8 November 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment